↳RO6 。 EPISODE ENAM

146 42 32
                                    

          NUCA melihat Ayah bertengkar dengan kaca hari itu hingga tak lagi ada yang tersisa utuh di dalam rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

          NUCA melihat Ayah bertengkar dengan kaca hari itu hingga tak lagi ada yang tersisa utuh di dalam rumah. Kendati tangan Damar telah terselimuti darah, raut marah masih bersarang di wajah. Sedangkan Adia duduk di ubin. Tubuhnya seolah tersihir menjadi gelatin.

"MASIH MAU NGELAK?!"

Tema pertengkaran mereka masih terlalu berkabut bagi Nuca. Karena tiap kali Damar membentak Adia, Ranggema selalu hadir untuk menangkup telinga pemudi itu dengan headphone berwarna biru tua. Kemudian tersenyum seolah tak akan terjadi apa-apa. Batavia, Gema hanya tidak mau Nuca disakiti oleh fakta.

"A-abang, tolongin Bunda," pinta Nuca dengan netra yang sudah mengembun. Jika dia berkedip sekali saja, maka air matanya akan terjun.

Gema mengangguk, bangkit untuk menjadi tameng Adia. Dia terpaksa menyela di bawah guyuran kata-kata kasar yang Damar lontar. Meminta sang Ayah bersabar dan behenti bertengkar. Tetapi, Damar menulikan teliga, dia terus melayangkan benda kaca seolah tak peduli siapa yang akan terluka.

Hingga bunyi nyaring merebak di telinga Nuca. Lagu yang terputar indah tak dapat meredam jeritan Gema. Tubuh Nuca langsung bergetar. Begitu pula dengan Adia dan Damar.

"ABANG!"

Kreet.

Nuca terengah-engah, rintik peluh sudah menggenang di dahi. Inilah yang dia dapat kala membaringkan diri di kasur, memaksa untuk segera bermimpi. Tapi mau bagaimana lagi? Dia seolah-olah sudah meneguk puluhan cangkir kopi. Rasa kantuk tak pernah sudih menghampiri jikalau belum menginjak dini hari. Kini, netra Nuca berlari ke arah jendela kayu yang terbuka. Bermaksud menyapa purnama yang tampak bahagia di atas sana. Tapi malam ini dia tak ada. Sekarang, Nuca benar-benar merasa dirinya sendirian, berbaring di tempat tidur itu menakutkan.

Ketika mimpi berulang itu pulang, dia tak bisa memeluk siapa-siapa selain bantal dingin berwarna putih yang bernoda. Berbeda dengan dulu, ada Ranggema yang akan mendekap, memberi usapan lembut di kepala, dan menyanyikan lagu kesukaan mereka.

Nuca meraih sebuah kotak di atas nakas, berniat memakai kalung berbandul cincin pernikahan Damar dan Adia yang telah Gema kemas. Netra gelapnya menyipit tatkala menangkap sepucuk surat yang terselip. Ah Batavia, abjad Ranggema selalu indah seperti bunga tulip. Hanya lima kata yang dituang di sana, tapi mampu membuat pikiran Nuca jauh berkelana.

'Kita itu pecah, tapi utuh.'

•••

Atmosfer Jagratara dibungkus rasa resah. Sebagian dari mereka sudah pasrah, sebagian masih merapal doa meminta anugerah. Dvasatra ; sebutan kelas akhir untuk siswa-siswi Jagratara, akan memetik hasil try out terakhir. Majalah dinding, di sana lah semua netra Dvasatra terparkir. Menunggu seseorang datang, menyematkan empat lembar peringkat yang siap membuat darah mereka berdesir.

Yang Kemarin Ingin Jadi DewasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang