Raja Memanggil

21 2 1
                                    


Tok tok tok!

Suara pukulan pada pintu membuat Kori membuka sebelah matanya. Lengketan belek membuatnya sulit untuk membuka satu matanya lagi. Lagi pula, ia berharap suara itu bagian dari mimpi.

Tapi kemudian,

DUG DUG DUG DUG DUG!

Suara pukulan malah makin keras dan sering. Kori bangun dari ranjang bambu berhampar tikar kamarnya. Cahaya yang masuk dari sela-sela bilik kayu menandakan hari sudah pagi.

DUG DUG DUG DUG DUG!

Kori mengumpat sambil berjalan ke arah pintu lalu membuka dengan kesal.

"Berisik bang ...!"

Kori melongo, batal melengkapi kalimatnya. Di depannya sudah ada lima tentara kerajaan lengkap dengan tameng dan tombak. Salah satunya berdiri paling depan dengan muka judes. Ia biasa kedatangan pamong praja, tapi tentara, baru kali ini.

"Kori Aksara Darsa, putra Wiraga?" tanya sang perwira sambi melotot.

Iya mendecak malas, merasa terpaksa menjawab.

"Iya." angguk Kori.

"Anda diminta ke istana oleh raja." ucap sang perwira sambil menunjukan kertas-pemanggilan-warga berstempel kerajaan.

Kori mengerutkan jidat. "Ke istana?". Ia lalu menggeleng. "Salah paham, mungkin! Ayah saya yang bekerja di istana, saya,"

"Ayah Anda ada di istana!" potong perwira menegaskan tidak ada salah paham. "Dan Anda, sebagai anaknya, diminta datang juga!"

Kori bengong sebentar, lalu tak mau ambil pusing dengan berkata, "Ya sudah, saya mandi dulu!" katanya sambil balik badan.

"Tak perlu mandi!" kata perwira itu.

Kori berhenti  melangkah lalu berbalik badan lagi. "Masa menghadap raja bau ketek begini?" katanya sambil membuka lengan, menunjukan ketiaknya. "Setidaknya biarkan saya cuci, muka, membasuh ketek, dan memakai tawas."

Setelah sempet mengendus aroma tak sedap dari ketiak Kori, perwira itu mundur selangkah lalu mengangguk. "Ya sudah, cepat sana!" katanya sambil menahan napas, tak mau lagi mengendus aroma barusan.

Kori tersenyum tipis lalu kembali memutar tubuh dan berjalan ke arah sumur. Meninggalkan perwira dan empat tentara kerajaan mengisi waktu-menunggu dengan obrolan. Sekat bilik tipis dari dinding ruang tengah dengan sumur membuat Kori bisa mendengar percakapan para tentara.

"Bau apa, Dan, keteknya?" tanya seorang tentara.

"Bau adukan palawija!" jawab sang perwira.

Kori hanya nyengir dalam basuhan air pada mukanya. Ia selalu mengira bau badannya serupa asoka, ternyata bukan. Ucapan itu membuat Kori membasuh  dan menggosok ketiaknya dengan kencang.

Suara obrolan di luar terdengar lagi sementara Kori berkumur.

"Rumah Tukang Kayu Istana masa seperti ini?" kata salah seorang tentara kerajaan.

"Ini cuma salah satunya." jawab seorang tentara lainnya. "Ini rumah dulunya. Saya dengar Tuan  Wiraga tidak akur dengan anaknya, makanya mereka tidak serumah."

"Saya juga tidak mau tinggal bersama anak remaja kalau sudah punya istri baru." ucap tentara satunya, disambut tawa singkat teman-temannya.

"Ya, ya, pasti membatasi ruang gerak, yah!" ucap yang lain disambut tawa yang lebih lepas.

"Berapa umur istri barunya?" tanya sang perwira menyurutkan tawa anak buahnya.

"Enam belas tahun, kalau tidak salah." jawab salah satu anak buahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KULI PIRAMIDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang