Prologue

3.9K 489 10
                                    

Sejatinya manusia tak pantas menginjakkan kaki di bumi
Dimana hati dan akal budi itu?
Mereka memburu kami seperti binatang

Sejatinya manusia tak pantas menginjakkan kaki di bumi Dimana hati dan akal budi itu?Mereka memburu kami seperti binatang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jeno!! Jenoo!!"

Jeno yang sibuk berkutat dengan buku buku tebalnya menoleh. Rupanya sang kekasih sedang melakukan kegiatan favoritnya. Pemandangan itu tak pernah bosan mengulang di sepanjang hidupnya.

"Jeno sini!! Cepat!"

Perlahan ia melepas kacamata, lalu menghampiri kekasihnya yang sedang duduk di balkon mansion. "Mundur sedikit duduknya, nanti j-"

"Jeno lihat!!" pekiknya sambil menunjuk jauh pada sebuah benda langit yang sedang berpendar terang, satu satunya yang menjadi obsesi Jaemin sedari dulu.

"Bulannya cantik ya.."

"I love you too."

"Ish Jeno gak nyambung."

Respon Jaemin membuatnya terkekeh. Ternyata sang kekasih tak tahu ungkapan itu.

"Cantik sekali, Jeno.."
Sekali lagi ia memuji keindahan sang rembulan.

Sorot matanya masih sama. Selalu berbinar, terkagum dengan keindahan sang bulan. Kulit putihnya yang seakan ikut bersinar. Kaki kecilnya yang selalu bergoyang goyang semangat. Senyum simpulnya yang selalu ada disana. Tidak ada yang berbeda. Hanya saja kini rambut Jaemin berwarna blonde, begitu pula dengannya.

Di bawah sinar bulan purnama sekali lagi Jeno memandang.

"Kau bahkan lebih cantik." ucap Jeno sembari mengelus pipi kekasihnya yang membuat lelaki itu tersipu.

"Tapi kalau bulannya merah begini, agak seram ya.." Kini binar matanya memudar, digantikan sorot prihatin untuk sang bulan yang bersinar tak seperti biasanya.

Jeno menarik sudut bibirnya singkat. Senyum kecil yang memberi ribuan arti.

"Kenapa seram? Bukannya tadi cantik?"

"Iya, cantik. Tapi dia seperti menangis, Jeno." Lalu Jaemin terkikik geli menyadari perkataannya sendiri. "Aku aneh, ya?"

Dia memang menangis, Lunar. Menangisi-mu.

"Kenapa bisa ada gerhana bulan darah?" tanya Jeno ikut memandangi rembulan sembari membawa kepala Jaemin bersandar di bahunya. "Kalau Nana bisa jawab, besok kita makan es krim mochi."

"Uhh.. karena.. karena ditutupi itu.. Duh Nana lupa. Ditutupi matahari?" Dengan polosnya ia menebak.

"Waktu itu aku pernah cerita. Kau lupa?"

"Umm..." jari kecilnya mengetuk dagu, berusaha mengingat kembali cerita Jeno.

"Kau selalu tertidur begitu aku mulai bercerita. Bagaimana bisa ingat."

Setelahnya Jaemin hanya membalas dengan tawa.
"Cerita Jeno seperti dongeng sebelum tidur sih.. Ceritakan lagi, hng?"

Ya Tuhan.. Entah ini kutukan atau pemberian terindah. Lunar masih sama seperti sedia kala. Aku cinta dia, sangat.

Entah kali ke berapa Jeno kembali bercerita. Dengan kisah yang sama, untuk orang yang sama, dibawah bulan yang sama, yang menyaksikan betapa kejamnya dunia pada seorang Lunar yang kini sedang bersandar di bahunya. Tapi sedikit pun tak pernah ia merasa bosan atau lelah. Untuk bercerita, untuk mengenang kembali kisah mereka, untuk mencintai seorang Lunar yang kini telah menjadi Na Jaemin.

Jeno kembali mengusap pelan kepala Jaemin. "Dulu.. ada dua orang penyihir."

"Tapi itu kan mitos." sela Jaemin.

"Oke, kalau begitu hari ini tidak ada cerita sebelum tidur."

Mendengar itu Jaemin mulai mengeluarkan rengekan super nya.

"Dulu.. Ada dua orang penyihir. Namanya Jeno dan Jaemin."

"Kok namanya.. Sangat tidak kreatif!" Jaemin kembali protes, membuat Jeno mencubit kedua pipi gembulnya.

"Yasudah, namanya Asta dan Lunar. Dengarkan saja, jangan protes."

Jaemin balas mengangguk, siap mendengarkan kisah itu kembali. Namun kontras dengan anggukannya, kedua matanya mulai meredup.

Jeno kembali mendongengkan kisah 'Gerhana bulan darah' itu. Menit berlalu, tanpa ada sanggahan dari sang kekasih.

"Dulu Lunar itu cinta sekali pada bulan. Lucu, persis sama denganmu."

Benar saja firasat Jeno. Diamnya sang kekasih menandakan ia sudah terlelap, yang kemudian mengundang senyum tulus seorang Asta ketika memandang semestanya.

"Sama denganmu. Senyumnya.." Perlahan Jeno menatap rembulan yang kini telah memudarkan darahnya.

"Cerianya..

Tingkah kekanakannya..

Cerobohnya..

Sampai suatu hari.. Asta harus kehilangan Lunar. Dunia dan manusianya terlalu jahat pada kita. Padahal kita tak pernah mengusik mereka sedikitpun."

Senyum pahitnya kembali mengembang. Kekasihnya tak pernah tahu kelanjutan dari cerita itu hingga kini, meninggalkan Jeno yang menyimpan kisah pahit itu seorang diri. Kisah abadi yang terus berulang bersamanya, menunggu sang kekasih datang dan pergi. Bertahun tahun, berabad abad, Jeno tak peduli.

Tanpa kesulitan sedikit pun, Jeno menggendong tubuh ringan Jaemin ke ranjang dengan tangan kekarnya.

"Mantra ajaibnya dulu, Asta."

"Asta sayaaang Lunar." Tanpa perlu berbicara pun, lekuk mata Jeno mampu menyuarakan seberapa besar cintanya pada sang kekasih.

"Seberapa besar?"

"Sebesar bulan yang selalu Lunar cinta."

Jeno mengusap pelan kelopak mata Jaemin yang tertutup, lantas mengecupnya. Cukup lama hingga ia teringat akan hari itu..

"Besok besok kita akan lihat bulan di tempat yang lebih indah, ya?

Tidur yang nyenyak, Lunar."

Lunar [NOMIN] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang