Pagi itu Rama masuk ke dalam kelas dengan wajah lesu, sama seperti hari-hari sebelumnya ia diserang rasa lelah dan kantuk luar biasa akibat kehidupannya yang terus padat meskipun hari sudah tengah malam. Tidak ada yang spesial dengan hari kali ini. Rama yang disambut oleh keributan anak-anak kelas yang ternyata sedang mengerjakan tugas berjamaah dengan kecepatan maksimal. Semuanya pasti selesai lebih cepat kalau kepepet, di saat seperti itu pula sepertinya diri kita memberikan usaha terbaik. Namun, tidak dengan Rama. Setelah shalat subuh tadi ia segera menyelesaikan tugasnya bermodalkan buku-buku fisika bekas kakak sulungnya dulu.
Bel sekolah berbunyi keras memenuhi setiap ruang-ruang kelas, penduduk kelas yang saat ini melakukan tindak pelanggaran berjamaah itu ricuh mengetahui guru fisika mereka sebentar lagi akan tiba di kelas.
"Selamat pagi anak-anak. Itu Feby ngapain di mejanya Joko, suka kamu sama Joko?"
"Ya ampun si ibu.." Perempuan bernama Feby itu membalas gurauan yang dilontarkan oleh guru paling muda di sekolah mereka, guru yang paling muda sekaligus guru yang paling membuat mereka menderita. Bu Ningsih namanya, ia baru pindah ke sekolah ini sembilan bulan yang lalu setelah mengusaikan pendidikan S2 nya.
Bu Ningsih mengetukkan spidol dua kali di mejanya, sebuah kode yang dulu membingungkan kami.
"Dua ketukan ini artinya saya minta kalian kumpulkan tugas kalian sekarang juga, gak pakai lama."
Kode itu kini menjadi kode kiamat yang slalu diharapkan untuk menghilang dari muka bumi oleh anak-anak kelas, karena kode itu biasanya diikuti oleh mimpi buruk lain. Kuis dadakan. Siapa juga yang menginginkan kuis fisika dadakan di pagi hari? Aku jelas akan menjawab tidak. Apalagi dengan rasa kantuk yang kini kian menghantuiku.
"Hari ini tidak ada kuis." pernyataan itu membuat helaan nafas panjang keluar dari setiap mulut di dalam kelas. Bu Ningsih menanggapi hal itu dengan tersenyum masam. Setelahnya aku mendaratkan wajahku di atas meja, hari ini seperti biasa aku duduk di bangku paling belakang. Posisi paling strategis yang dapat menutupi wajah lelahku ini.
Di kala aku sedang menikmati satu sampai dua menit waktu untuk memejamkan mata, ternyata seorang perempuan asing berjalan masuk ke dalam kelas kami.
"Ini murid baru yang akan bergabung dengan kelas kalian, perkenalkan diri kamu."
Aku mengangkat daguku menatap dirinya dari celah-celah kecil, sayang wajahnya tidak dapat terlihat jelas karena aku duduk di bangku paling belakang. Namun, suaranya yang lembut dan tegas di saat bersamaan itu jelas terdengar di telingaku. Rupanya ia datang dari kota yang cukup jauh. Kupang. Entah apa alasannya melangkah jauh ke Jakarta meninggalkan kota tempatnya bertumbuh.
"Kamu bisa duduk di bangku kosong di sebelah sana, di samping laki-laki berkacamata itu."
Dan hari itu, ia duduk di sampingku.
-
"Tugas ini adalah tugas kelompok, ibu mau setiap anggota kelompok saling membantu dan membimbing. Kelompok ini bisa disebut sebagai kelompok belajar. Ibu minta adakan lima pertemuan dengan laporan terinci untuk setiap pertemuannya. Di bulan depan kita akan adakan presentasi secara bergilir. Sekretaris harap menuliskan anggota-anggota kelompok di papan tulis.""Ram, gue satu kelompok sama lo!" Andini teman sekolahku sejak sekolah dasar itu tersenyum sumringah mendapati bahwa ia masuk ke dalam kelompok ku.
Selanjutnya Tirta menatapku senang sebelum kembali mengujar kebencian, "Males banget gue sekelompok sama si Andini gembrot. Untung ada Rama."
Aku hampir saja bangkit ingin menghajar Tirta sama seperti yang kulakukan bulan kemarin, tetapi tidak diduga sebuah tangan menahanku untuk pergi.Hana, perempuan yang kini menjadi chairmate ku itu menahanku untuk pergi. Aku melepaskan tangannya dari tanganku, tetapi perempuan itu kekeuh pada keputusannya untuk menahan ku pergi.
"Ini di dalam kelas, menonjoknya sekarang justru akan membawa dampak buruk padamu."Ia melepaskan tanganku dan kembali memfokuskan diri pada papan tulis di depan.
"Hana gimana bu?" tanya Eva, sekretaris kelas. Bu Ningsih mengacungkan jari telunjuknya membuat Eva otomatis mengangguk dan menuliskan nama Hana pada.. kelompok 1. Kelompokku.
-Hari-hari yang kami lalui sebagai chairmate, ditambah dengan lima pertemuan diskusi untuk tugas fisika, kami menjadi teman dekat. Sangat dekat sehingga tak jarang aku membagikan cerita dan menunjukan perasaanku padanya dengan leluasa. Dia mengetahui kehidupanku dan begitupun sebaliknya. Beberapa kali ia mengajakku pergi keliling kota, dan beberapa kali juga aku dengan berat hati harus membiarkannya mengelilingi kota sendirian.
"Ram, hari ini kerja?" Aku yang terbiasa dengan ocehan dan pertanyaannya setiap pagi hanya tersenyum seadanya. Ia asyik bercermin sambil merapihkan anak rambutnya yang berantakan.
Aku merebut cermin kecil itu dari tangannya dan mengambil alih kegiatannya saat itu, "Sebenernya kayak gini juga tetep cantik."
"Sebenernya kayak gini juga tetep cantik, kan! Udah kuduga. Kalimat itu kayak jargon khas kamu tau gak."
Hana menjauhkan kedua tanganku dari dirinya dan saat ini kedua tangannya menyusuri rambutku. "Malam ini papa mama ke luar kota, aku mau ikut kamu kerja."
"Buat apa ikut aku kerja? Lebih baik kamu istirahat nonton EXO di rumah." kataku tidak menganggap perkataannya serius.
"Akhirnya kamu gak salah nyebut EXO jadi BTS!"
Setelah melihat keadaan rambutku yang dianggapnya sudah oke, kini ia melepaskan tangannya beriring dengan perasaan aneh yang menyeruak dari diriku.
"Papa sama mama izinin aku buat pergi temenin kamu kok, aku juga ditemenin sama pak Arga."
"Buat apa sih, Han. Aku ini mau berkeringat di tengah kebulan asap. Gak usah ikut."
bantah ku."Ada mbak Sera juga."
Perempuan ini memang keras kepala. Susah sekali untuk membuatnya tunduk dan diam, terlebih lagi kini ia sudah melipat kedua tangannya. Kebiasaan yang kudapati setelah mengenalnya setahun kebelakang.
"Aku akan pergi, titik."
"Hana.. Aku bukannya,"
"Pak Arga dan mbak Sera juga kangen sama sate buatan bapak dan aku tau kita akan banjir keringat di tengah-tengah asap bakaran sate."
-Bapak menepuk pundak Hana pelan setelah ia menyalim tangannya tadi, disusul dengan mereka yang kemudian hanyut dalam pembicaraan mereka sendiri.
"Biasanya dek Rama selesai jam berapa?"
"Jam satu sampai jam dua pak, kadang ya sampe subuh kalau memang ada yang beli." jelasku pada laki-laki berumur 50 tahun yang telah menjadi supir keluarga Hana sejak Hana duduk di bangku SD.
"Ayo berangkat, Ram!"
"Kalo kamu ngantuk pulang aja loh ya."
Ingat ku sekali lagi pada perempuan berzodiak Virgo itu.Malam itu Hana menjadi anggota tim tambahan di warung sate kami, usaha yang syukurnya berjalan lancar bahkan setelah sepuluh tahun. Meskipun tidak dapat dipungkiri ada kalanya warung sate kami sepi sampai kami harus pulang dengan kantong kosong.
Inilah rutinitasku yang padat di jam 11 malam, mengipas kuat-kuat daging ayam yang mengeluarkan bau sedap yang membuat siapapun akan terpikat. Dari sudut mata kulihat Hana yang tersenyum membawakan setiap pesanan sate pada pelanggan satu persatu. Kulihat juga Bapak yang kini menyeka keringatnya lelah.
Hana berlari menempelkan sticky notes warna-warni pada badan gerobak. Perempuan itu berjalan mondar-mandir dengan semangat membara, bahkan kini ia mengambil alih pekerjaan bapak.
"Udah Hana aja pak, bapak duduk dulu."Perempuan itu terlihat sungguh mempesona sekalipun wajahnya kini dipenuhi keringat dan guratan lelah, tapi jelas hal itu tidak merubah apapun. Jatuh cinta. Saat itu hatiku akhirnya mengakui bahwa aku jatuh pada perempuan yang menjadi chairmate ku sejak tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Dalam Diam
Teen FictionSebuah cerita pendek yang mengisahkan rasa cinta yang datang untuk pertama kalinya pada seorang manusia.