II. Dalam

5 1 0
                                    

"Ram, hari ini aku join lagi ya."

"Asli ya mas-mas itu semalam dateng untuk yang ketiga kalinya."

"Ngantuk ya?"

"Ram! Udah gue bilang kemarin tidur aja."

Sejak malam itu Hana sering bergabung denganku dan bapak untuk berjualan, bahkan bisa dibilang selalu. Tiap malam ia selalu hadir menebarkan senyum hangat, menerima setiap pesanan pelanggan dengan lembut, dan terus menepuk pundakku memberikan semangat. Ah, perempuan itu sempurna. Tidak ada yang dapat menandingi pesonanya, semuanya lengkap di porsi yang pas.

"Besok gak usah ikut Rama dan Bapak lagi ya." ucap bapak membuat Hana lantas menoleh. Aku yang sedang membereskan warung juga dibuat terkejut dengan perkataan bapak.

Bapak mengambil baskom yang ada di tangan Hana, "Kamu jadi ikut kerja keras sampai dini hari, pasti istirahatmu kurang."

"Bapak tau niat kamu baik. Sangat-sangat baik sampai bapak selalu menyisipkan namamu di dalam doa bapak pada sang pencipta, tapi kesehatanmu jauh lebih penting dari apapun." lanjutnya.

Aku menyetujui perkataan bapak, meskipun sejujurnya keberadaan Hana di tengah-tengah kami jelas sangat berpengaruh pada diriku. Senyumnya membuatku buta dengan rasa lelah dan kantuk yang terus menghantui.

"Ram. Aku bahagia bisa bantu kamu." ia mengadu, tatapan matanya memelas seolah-olah memintaku membelanya di hadapan bapak. Aku mengusap kepalanya halus. Mungkin saat warung kami tutup yang kami lihat adalah Hana yang tersenyum ceria dan penuh semangat, tapi aku tau bagaimana di beberapa hari kebelakang sahabatku itu harus mengonsumsi obat-obatan dan juga vitamin.

Namun, Hana tetaplah Hana. Perempuan cantik yang keras kepala itu membuat sebuah kesepakatan akhir dengan bapak. Ia akan membantu kami setiap hari sabtu, tapi sekali lagi ku nyatakan bahwa perempuan itu keras kepala. Nyatanya hari ini ia datang ke warung dengan embel-embel membelikan sate untuk ibunya.

"Kenapa natap aku kayak gitu? Sate ayam 15 tusuk gak pake lama."

"Sate siap disantap di rumah, pulang."

Ia menghentakkan kaki kesal mendengar ucapanku, tapi sebelum ia masuk ke dalam mobil ia memasukkan satu tusuk sate ke dalam mulutku. "Tugas prakarya menggambar sudah aku buat, nanti tidur aja yang lama."

Perempuan berdarah Jawa-Medan itu terus menghiasi hariku dengan perilaku manisnya. Selalu setiap hari sampai sepertinya aku sudah diabetes.

Hari-hari berikutnya berlalu sangat cepat dan tak terasa kami sebentar lagi akan ujian kelulusan SMA. Perempuan manis yang masih mendiami hatiku itu berniat untuk masuk ke fakultas kedokteran, UI. Hana bilang ia  ingin sekali masuk ke Universitas dengan almet kuning itu. Beberapa tetangganya di Kupang berhasil masuk ke universitas bergengsi itu membuatnya ikut tertarik.

"Nanti anter aku pulang ya, Ram! Pak Arga hari ini libur." serunya masuk ke dalam kelas setelah kembali dari kantin dengan Andini.

Aku mengangguk, perempuan itu lalu duduk di sampingku dan menyenderkan kepalanya di pundakku selagi setia menghabiskan sebuah cup ice cream matcha. "Aaaa..."
Hana memang sangat suka ice cream matcha. Bahkan aku yang awalnya membenci rasa matcha kini justru ikut menjadi penggemar nomor 1 ice cream matcha. Salah maksudku penggemar nomor 2, nomor satunya kan Hana.

Sesuai dengan keinginannya yang besar, aku menjadi saksi perjuangannya dalam meraih cita. Hana tau apa kekurangannya dan ia terus berusaha lebih keras untuk hal yang kurang itu. Salah satunya adalah fisika. Beberapa kali ia kesusahan menyelesaikan tugas dan beberapa kali pula aku merangkap menjadi seorang guru yang mengajarnya lemah lembut. Siang itu aku mengantar Hana pulang dan seperti biasa ibunya memaksaku untuk ikut makan siang bersama. Hana punya satu kakak laki-laki yang kebetulan saat itu sedang pergi keluar kota.

"Abangnya Hana lagi gak di rumah, ibu jadi kesepian."

Semua orang akan tau kalau kedua perempuan di hadapanku ini adalah ibu dan anak, bentuk wajah dan mata Hana jelas diwarisi oleh ibunya. Di kali pertama aku mengantar Hana pulang, ibunya secara khusus memintaku untuk ikut memanggilnya dengan sebutan ibu. Mungkin Hana menceritakan kenyataan kalau aku tidak punya seseorang untuk di panggil ibu. Perempuan yang seharusnya menyandang gelar itu justru pergi dengan laki-laki lain dan meninggalkan keluarga kami saat aku baru berusia tiga tahun.

"Rama rencananya mau masuk mana?"

"Aku mau masuk teknik mesin UI bu, tapi rencananya mau coba beasiswa di telkom aja." jelasku.

"Di fakultas apapun kamu nantinya, ibu yakin kamu bisa jadi manusia sukses. Nanti kalau sudah sukses langsung bawa Hana ke pelaminan ya, Ram."

Aku tertawa selagi Hana menatap ibunya kesal, perempuan yang juga seorang dokter itu tidak jarang menanyakan status hubungan kami. Ia percaya tidak akan pernah ada hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Berulang kali ia menuduh bahwa kami menjalani hubungan backstreet, berulang kali pula Hana membantahnya tegas membuatku ingin menarik dirinya dan mengatakan bahwa aku jatuh cinta padanya.

"Hati-hati di jalan ya, aku mau mandi."

Aku meraih tasku setelah mengusap pelan kepalanya. Hampir sebelum aku hendak berjalan keluar rumah, ibunya menahan tanganku. "Rama, ibu yakin kamu sayang sekali sama Hana. Kalau keyakinan ibu ini benar adanya maka nyatakanlah perasaanmu segera. Kamu pasti jauh lebih tau apa saja yang Hana suka daripada ibu."

Dengan nasihat secara tidak langsung yang dilontarkan ibu hari itu, aku bertekad untuk menyatakan perasaanku sebelum ujian kelulusan kami dimulai. Sebagai persiapan aku membeli sebuah tanaman kecil yang sangat ingin Hana miliki beberapa bulan lalu, saat itu ternyata tanaman terakhir sudah terjual pada orang lain. Namun, dengan keajaiban yang tidak terduga pedagang itu kembali menjual tanaman yang sama. Ajaibnya lagi aku mendapatkan satu-satunya yang ada, bayangkan jika aku melewatkan beberapa jam. Jelas tanaman itu tidak akan dapat kubawa hari ini.

Hari ini aku akan mengajaknya berjalan-jalan sebelum pulang, di akhir hari aku akan menyatakan perasaan ku di tengah taman kota lalu menyerahkan tanaman kecil ini.

"Loh kenapa gak bilang dari kemarin, Ram. Hari ini aku bimbingan belajar."

Aku menghela nafas lalu mengusap kepalanya pelan, "Maaf. Lusa aku bisa kok."

Sayangnya lusa yang ia sebut juga tak kunjung datang.

"Kalau kamu sibuk kita pergi makan aja sebentar, bisa kan?" Hana menggeleng.

"Aku udah ajak kamu dari lima hari lalu. Kenapa lima hari berturut-turut selalu gak bisa?"

Hana tersenyum memelas lalu kembali mengistirahatkan kepalanya di pundakku sedang tangannya menyuapi sesuap ice cream matcha untukku.

"Maaf aku sibuk sampai lupa dengan ajakanmu waktu itu. Kamu tau aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau hasil ujianku nanti jelek. Kita undur ke lain waktu ya, Ram."

Aku mengusap kepalanya lagi berusaha memahami keadaannya. Aku salah satu orang yang mengetahui dengan jelas keinginan kuatnya untuk menjadi dokter, sama seperti ibunya. Oleh karena itu aku tidak sepantasnya marah atau kecewa karena ia melupakan janjinya untuk pergi jalan-jalan denganku. Bahkan sudah lebih dari tiga kali ia tidak lagi bergabung denganku dan bapak untuk berjualan, berkali-kali itu ia sibuk dengan usahanya meraih cita.

"Sabtu ini aku join ya, Ram!"

Lalu setelah beberapa waktu, kalimat itu kembali diucapkannya. Kalimat yang selalu kunantikan. Aku mengangguk antusias. Sabtu ini aku akan menyatakan perasaanku, harus.

Jatuh Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang