***
Nyawa di tangan Tuhan. Iya, tidak ada yang salah dari kalimat itu, bukan? Tapi sungguh, kalimat seperti itu tidak berlaku untuk keluargaku. Cih, nyawa di tangan Tuhan? Nyatanya, nyawa mereka berada di tanganku. Iya, tanganku. Bukan tangan siapa pun apalagi Tuhan. Ini hanya tentang giliran selanjutnya, dan itu semua tergantung pada kehendakku.
"Surang makan cubadak, sadonyo kanai gatahnyo, saikua kabau bakubang, sakandang kanai luluaknyo."
Seperti pepatah Minang yang memiliki makna bahwa semuanya mendapat imbas dari segala sesuatu yang telah ditimbulkan oleh seseorang, maka seperti itu pula lah prinsip hidup yang aku tanam sejak bahagia tidak lagi bersahabat denganku. Semua harus mati. Di tanganku.
Mungkin kalian akan mengira bahwa aku adalah seorang psikopat. Terserah, aku tidak peduli. Aku hanya ingin mengakhiri sesuatu yang sudah membuat aku seperti manusia gila. Mengakhiri sesuatu yang entah siapa yang mengawalinya. Tapi satu yang aku tahu dengan pasti. Cakak babaleh, dalam hal ini, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Cukup sudah aku merasai, menangis, merintih menahan duka akibat berhentinya hembusan napas orang-orang terkasih dari hidupku. Aku hanya perlu menghitung hari, jatah siapa yang kini kian mengintai.
Aku tahu, dalam hidup ini manusia tidak hanya menebar rasa sayang dan cinta kasihnya. Manusia juga menebar benci, tertipu daya nafsu jahat setan tanpa ampun. Maka tidak jarang manusia memiliki dua sisi dalam dirinya, sisi bak malaikat dan sisi bak iblis. Dan untuk kali ini, sisi bak malaikat yang ada dalam diriku telah mati. Terkubur dalam bersama mereka yang mungkin saja sudah menjadi tulang belulang. Yang tersisa hanya sisi bak iblis, sisi terkelam yang selama ini aku tahan dengan susah payah, namun terpaksa keluar jua oleh manusia berhati iblis yang sialnya aku tak tahu siapa.
Di Minangkabau tanah kelahiranku, sungguh sangat tidak dapat kusangka bahwa adatnya sebagai bentuk kesialan dari takdirku yang kini menjadi bumerang untukku sendiri. Bukannya aku tak cinta Ranah Minang, bukan, sama sekali bukan. Aku sangat merasa terhormat terlahir sebagai wanita Minang, sungguh. Tapi, sekali lagi, sisi bak malaikatku sudah mati. Jadi aku tidak bisa merasakan lagi bagaimana menjadi seorang yang terhormat. Aku mati rasa, dan mungkin saja mati akal pula. Aku benci adat yang mengikat, hingga mampu menyuguhkan mudarat yang amat sekarat. Jika tidak mampu masuk ke dalam permainannya, maka aku akan tamat. Tapi sebelum mereka menamatkan aku seperti mereka menamatkan kehidupannku, maka aku yang akan menamatkan mereka terlebih dahulu.
“Baiklah, sekarang siapa lagi?” sebuah suara berat menggelegar di dalam bilik yang kini penuh dengan tumpahan darah segar. Darah segar berhati busuk kepunyaan Mandeh Jamilah, adik dari Umak, ibu kandungku. Mungkin saja Mandeh Jamilah tengah dalam perjalanan ke alam baka bersama roh gaib lainnya. Dan aku, dengan sangat puas menatap wajah terbelalaknya yang kini sudah tidak punya daya.
“Akan kupikirkan selanjutnya. Yang jelas siapapun itu, nyawanya hanya tinggal menghitung hari,” ucapku dengan suara lantang, menjawab suara tanpa wujud tadi sembari menyilangkan tangan ke dada.
“Oke. Kalau begitu, nikmati peranmu, Farrah.”
Aku hanya tersenyum miring, suara itu tidak lagi terdengar. Kini aku hanya mendengar decitan lantai kayu yang seperti mendekat ke arahku.
“Farrah … apa Jamilah tidur?” Dapat kupastikan bahwa itu adalah Umak yang memang menyuruhku memanggil Mandeh Jamilah sejak tadi. Sayang, Mandeh Jamilah sudah lebih dulu memenuhi panggilan malaikat mautnya.
“Umak!! Kemarilah! Mandeh Jamilah banyak kehabisan darah!” Walaupun aku tidak pandai berlagak seperti artis papan atas untuk bermain peran, setidaknya sudah cukup menarik perhatian Umak untuk mempercepat langkahnya ke arahku dengan begitu panik.
Umak memekik histeris setelah melihat kondisi Mandeh Jamilah. Bagus. Memang seperti ini yang aku inginkan.
“A … apa yang terjadi dengannya?” Umak gemetar hebat. Aku hanya menggeleng pelan sambil mengelus pundak beliau.
“Mandeh Jamilah sudah seperti itu sejak aku memasuki biliknya, Umak.”
Tentu saja aku masa bodoh dengan peran ini.
Tubuh Umak semakin bergetar hebat. Dari lapisan terluar kulitnya keluar peluh sebesar biji jagung. Padahal cuaca tidak sedang panas, hangat pun tidak. Mata beliau memerah, seperti ingin menangis namun tertahan.
Aku pikir, Umak akan berteriak histeris lagi untuk yang kedua kalinya. Namun ternyata tidak demikian.
Tubuh Umak tumbang. Beliau terkulai lemas, pingsan. Aku dengan segera menengadahkan kedua lenganku untuk menyambut tubuh Umak sebelum terjatuh ke lantai kayu. Umak tidak sadarkan diri, terlalu shock dengan hal yang dilihatnya pada Mandeh Jamilah.
“Aku rasa si tua itu telah mengembuskan napas terakhirnya.” Lagi-lagi sebuah suara berat menggelegar di sekitarku. Suaranya terdengar begitu puas, seolah telah memenangkan lotre.
“Maksudmu Umak?” tanyaku tanpa rasa takut sedikitpun. Aku mana punya perasaan, bukan?
“Iya. Dia sudah mati! Dia tidak pingsan, tapi mati!”
“Waw, benarkah?” aku begitu terkesima mendengar bahwa Umak sudah tiada.
“Tentu saja.”
Sambia manyalam minum aia, kerja bagus.
Aku bahkan masih menghitung hari kapan waktu yang tepat untuk ketiadaan Umak. Tapi alam sepertinya sedang berpihak kepadaku. Aku bisa minum air sambil menyelam. Luar biasa.
Mengetahui Umak yang tidak lagi bernyawa, aku mengempaskan tubuh renta itu kuat-kuat ke lantai kayu.
Dasar lemah. Baru dipertontonkan seperti itu saja sudah kehilangan nyawa. Padahal, aku sendiri yang sebagai darah dagingnya sangat jauh dari kata lemah.
Tentu saja, aku kuat berkat rasa lemah yang mereka hadirkan. Dan kematian adalah satu-satunya bentuk terimakasihku yang tulus dari lubuk hati yang terdalam kepada mereka semua. Kepada mereka yang sudah merenggut bahagiaku perlahan-lahan.
Bagaimana aku tidak kuat jika setiap tahun aku harus merasakan kehilangan buah hati yang begitu aku sayangi dan suami tercintaku mati di tangan keluargaku sendiri yang entah apa penyebabnya melakukan semua itu.
Aku menjadi ibu yang kehilangan anak, menjadi janda yang ditinggal pergi selamanya oleh suamiku. Bahkan para tetangga yang mulutnya tidak pernah sekolah itu menuduhku yang melakukan hal keji itu kepada mereka.
Logika manusia sepertinya sudah semakin jelek seiring perkembangan zaman. Mana mungkin aku dengan tega menghabisi orang-orang tersayangku, bukan?
Percuma, sudah kepalang basah aku diperbincangkan seburuk itu. Maka baiklah, aku akan mengiyakan praduga mereka dengan benar-benar menghabisi sebagian manusia yang aku kasihi. Toh, bagiku ini adalah sebuah seni untukku. Seni untuk balas dendam terhadap si pelaku tidak berhati itu. Karena aku yakin, sudah lama keluargaku membenci Uda Dani, almarhum suamiku.
Mereka selama ini hanya memakai topeng belaka di tengah pernikahanku, membiarkanku membina rumah tangga bersamanya hingga memiliki anak, kemudian mereka pula yang menghancurkan semua itu. Keluarga? Masih pantaskah mereka kusebut keluarga?
Tidak. Mereka kini hanyalah mangsaku yang tengah menunggu giliran satu persatu. Umak dan Mandeh Jamilah, hanyalah dua dari beberapa mangsaku yang telah berhasil aku lenyapkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Tubo
Mystery / ThrillerDani dan Farrah harus menerima kepergian Bilqis, putri sulung kebanggaan mereka dengan kerelaan hati secara mendadak. Bilqis meregang nyawa seperti orang kesetanan di tengah senja, dan berkomat-kamit mengatakan bahwa semua akan mati. Setahun selang...