• Sifatnya

11 0 0
                                    

Sifatnya




"HEII!!"

"Ah, maaf."

Dengan terburu aku membungkukkan badanku, kearah orang yang tak sengaja ku tabrak. Meminta maaf, lalu kembali pergi terburu dari koridor yang ramai itu. Terus berlari dengan satu tangan menenteng tas dengan buku yang masih berantakan, dan resleting yang belum tertutup.

"Hahh, aku mohon.."

Setibanya diluar, mungkin beruntung, taksi tak berpenumpang ada disana. Segeralah aku menaikinya. Dengan tetap bercucuran air mata, aku mengarahkan jalan pada sopir itu.














"Andhira! Andhira gimana kak?"

"Andhira belum menyerah, tapi dia masih dalam masa kritis."

Aku lega dan juga sedih mendengarnya. Ini bukan pertama kalinya, tapi aku pun belum bisa terbiasa dengan ini. Atau mungkin tidak, aku tak akan pernah terbiasa.

Andhira. Aku memanggilnya Rara, dia adikku satu-satunya. Dia menderita gagal jantung sedari kecil, sama seperti almarhum kakek. Hanya dia yang aku punya. Meskipun orangtuaku masih ada, aku tak pernah menganggap mereka ada, karena mereka memang tak pernah ada untukku. Tidak, aku tidak membenci mereka. Aku masih menyayangi mereka.

"Ra.. Kenapa tiba-tiba?" Aku memandanginya dibalik kaca ruangan itu. Tubuh rapuhnya penuh dengan alat-alat mengerikan.

"Andhira pasti kuat. Dia anak yang ga gampang nyerah, percaya deh."

Kak Tama menenangkan ku dari samping. Kak Tama ini dokter yang selalu merawat Rara dari dulu. Aku pun cukup akrab dengannya.

"Kamu.. ga balik lagi? Sekarang Andhira ga apa-apa. Gak baik kalau kamu sering bolos."

Aku menggeleng lemah.

"Ngga niat."

"Ada kakak disini, tenang aja oke?"

"Tapi kak Rara—"

"Hei, adik kamu ini anak kuat. Dia ga pantang menyerah, hm. Ini juga bukan pertama kalinya. Jadi sekarang dengerin kakak. Kamu balik ya? Sekolah yang rajin. Andhira juga sedih kalau kamu gini, Nadhira. Ke sekolah lagi ya?"

Menganggukkan kepala lesu, aku kembali berjalan keluar ruangan. Aku masih ingin bersama Rara. Dengan pandangan kosong aku berjalan melewati orang-orang yang berada disana. Hingga seorang anak laki-laki terduduk di kursi roda yang berhenti didepan ku, aku menghentikan langkah tentu saja.

Dia memandangku sok akrab. Aku baru saja akan melangkahkan kaki berjalan melewatinya, tetapi dia mencegahku, dengan tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Tubuhku sedikit tertarik kebelakang.

"Ada apa?" Tanyaku pada lelaki itu.

Matanya mengerjap polos menatapku. Lalu turun kearah tangannya yang memegang pergelangan tanganku. Tersadar, dia melepaskan genggamannya.

"Selalu ada harapan dalam kesulitan dan selalu ada peluang dalam bahaya."Ucapnya dengan senyuman yang lebar.

"Semangat ya!" lanjutnya. Lalu kembali memutar roda kursi rodanya, membelah lautan orang disana.

Only You Have It | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang