"Jadi ibu itu yang telaten gitu lho, Nin." ucap Ibu Rahma sambil memasukkan satu suapan ke dalam mulut balita dengan tangannya. "Dulu Ibu juga pernah jadi kamu. Anak Ibu aja enam. Mesti sabar, nggak kayak kamu. Nurut kalau dibilangi mertua itu. Pengalaman Ibu jauh lebih banyak dari kamu."
Belum selesai kunyahan itu, Ibu Rahma kembali hendak menjejalkan sebuah suapan lagi ke dalam mulut bocah empat tahun itu. Baru saja makanan itu masuk, Yusuf, bocah empat tahun itu memuntahkan semua isi perutnya. Membuat Nina panik sambil mengusap punggung anaknya.
"Ya gini ini kalau kamu telat kasih makan. Anak jadi masuk angin kan?"
Nina hanya bisa menahan emosi, dia mengusap mulut anaknya dengan tisu basah. "Yusuf muntah karena suapan Ibu yang terlalu banyak. Yusuf sudah makan tadi."
"Kok Ibu yang kamu salahin? Punya mantu kok kurang ajar kayak kamu."
Ibu Rahma membanting mangkuk yang dipegangnya dan pergi dengan langkah lebar. Membuat Nina geleng-geleng kepala dan memeluk Yusuf erat.
"Duduk sini dulu ya, Ibu mau bersihin ini dulu."
Bukan sekali ini saja Nina jengkel. Berkali-kali ibu mertuanya itu selalu menganggapnya tidak becus dalam mengurus anak. Belum sampai selesai dia membersihkan lantai, Bayu datang menghampirinya. Suaminya itu baru pulang kerja.
"Kamu berantem apalagi sama Ibu?" tanya Bayu dengan nada kesal. "Jangan kurang ajar sama Ibu. Nanti kualat."
"Kenapa kamu nggak tanya sama Ibu, apa yang sudah Ibu perbuat sama Yusuf?"
"Kok jadi nyalahin Ibu sih kamu?"
Bayu berjalan ke arah kamar tanpa menoleh kepada Yusuf. Baru saja Nina membantu Yusuf minum, suaminya sudah memanggilnya dengan lantang.
"Nin, Dila nangis nih."
Rasanya kepala Nina mau pecah. Belum selesai dengan Yusuf, anak keduanya minta perhatian. Padahal dia berencana untuk makan siang. Makan siang di sore hari. Bagaimana tidak? Pekerjaan rumah banyak, Yusuf selalu minta ditemani bermain dan tidak mau sama sekali diajak mertuanya, sementara bayinya yang empat bulan itu rewel terus.
"Nin!" Bayu datang dengan menggendong Dila, bayinya. Wajahnya tampak kesal. "Anak nangis bukannya cepat datang, malah bengong aja."
"Aku capek, Mas."
"Aku juga capek habis pulang kerja."
Dila semakin rewel dan menjerit, Nina tidak tega untuk mengomel di depan anaknya. Diusapnya punggung Dila dengan sayang, berharap rewelnya mereda.
"Tolong ajak Yusuf main dulu, Mas."
"Haduh, kamu nih nggak lihat aku habis pulang kerja? Aku capek."
Ibu Rahma berjalan menghampiri mereka dengan muka jengkel. "Suami kalau pulang kerja itu, nggak usah disuruh-suruh, Nin. Capek. Bayu itu habis kerja, capek. Kamu itu jadi ibu harusnya sabar, telaten. Ibu dulu juga begitu."
Jangankan membela, dengan acuh tak acuh Bayu melangkah masuk ke dalam kamar sambil menatap layar ponselnya.
"Mas." panggil Nina.
"Biar Yusuf sama Ibu aja." sela Ibu Rahma. "Kamu urus aja Dila. Masak anak dua aja nggak bisa? Ibu aja anaknya enam juga bisa."
Bukan hanya Dila yang menangis, Yusuf pun ikut menangis begitu Ibu Rahma menarik tangannya. Membuat kepala Nina bertambah pusing, tetapi dia juga tidak tega melihat Yusuf meraung sambil memeluk kakinya.
"Ya gini ini, kalau ibunya nggak bisa didik anak. Susah diajak kan anak-anaknya."
Ingin sekali rasanya Nina berteriak kencang melihat sikap ibu mertuanya. Ingin protes, tetapi itu hanya akan menambah denyutan di kepalanya. Nina menghela napas dalam-dalam dan membawa anak-anaknya masuk ke dalam kamarnya.
Suaminya masih sibuk memainkan ponsel saat dia masuk. Sama sekali tidak meliriknya maupun anak-anaknya.
"Mas, popoknya Dila habis."
"Ya terus kenapa?"
"Tolong antar aku ke baby shop."
Bayu berdecak kesal. "Memang kamu nggak bisa pergi sendiri?"
"Kalau kamu nggak mau antar aku, tolong jaga anak-anak di rumah. Aku akan pergi sekarang."
"Ribet amat sih! Nanti kalau Dila nyari kamu gimana?"
Hati Nina meradang. "Kamu bapaknya, masa anak sendiri nangis aja bingung! Anak-anak juga butuh perhatian kamu, Mas."
"Ya masalahnya anak-anak kadang nggak mau ku ajak."
"Itu karena kamu nggak mau ngajak mereka. Kamu sibuk dengan urusan kamu sendiri."
"Aku kerja."
"Mentang-mentang kamu kerja trus kamu bisa seenaknya?"
Yusuf dan Dila menangis bersamaan mendengar nada tinggi orang tuanya. Pintu kamar pun digedor dengan kencang.
"Nina! Bayu! Kalian kenapa bertengkar?"
Itu Ibu Rahma. Selalu saja ikut campur. Bayu menatap istrinya jengkel.
"Kamu selalu pergi saat kita sedang menyelesaikan masalah." ucap Nina saat Bayu beranjak meninggalkan kamar.
"Yang bermasalah itu kamu, Nin."
Percuma saja Nina meneruskan perdebatan ini. Bagaimana pun dia menjelaskan, Bayu tidak akan mau mendengar. Apalagi dengan adanya ibu mertuanya. Dia hanya bisa menangis dalam diam. Dihelanya napas dalam dan menghapus air matanya.
Ponsel suaminya berbunyi, menandakan pesan masuk. Entah kenapa dia penasaran dengan itu, padahal dia selalu acuh. Mata melebar saat melihat pengirim pesan.
Sandra. Teman kecilnya. Mengapa Sandra mengirim pesan ada suaminya? Dengan cepat jarinya membuka pesan itu.
Mas, kapan kita bisa bertemu? Skincare-ku habis.
Nina tidak percaya pada tulisan itu. Di-scroll-nya layar ponsel ke atas, melihat pesan-pesan sebelumnya. Percakapan di ponsel itu begitu mesra. Bahkan Sandra mengirim foto setengah telanjangnya pada suaminya. Tangan Nina gemetaran membaca semua pesan yang ada di ponsel itu.
Yusuf dan Dila yang masih menangis pun tidak dipedulikannya. Hatinya hancur. Air mata pun tak keluar dari matanya. Ditatapnya foto pernikahannya yang ada di dinding. Pernikahannya sudah tidak bisa bertahan. Selama ini dia selalu bersabar menghadapi suami dan kedua mertuanya. Jika sudah muncul kenyataan seperti ini, apakah dia harus bersabar lagi?
Pintu kamar terbuka.
Bayu tampak geram melihat kedua anaknya menangis. "Dari tadi nangis terus, kamu bisa ngurus anak-anak nggak sih!"
Nina tidak menjawab, menatap nyalang suaminya. Diangkatnya ponsel suaminya dengan senyuman sinis.
"Skincare Sandra habis."
Wajah Bayu memucat.
"Lanjutkan perselingkuhanmu, tetapi sebelum itu ceraikan aku."

YOU ARE READING
in the time loop
RomanceNina merasa hidupnya sangat tidak bahagia dan merana. Semua jauh dari ekspetasinya. Dia sangat berharap bisa kembali ke masa lalu dan mengatur kehidupannya. Tuhan mengabulkannya.