Tujuh

8 0 0
                                    

"Bintang.."

Satu-satunya nama yang sering kusebut tatkala mendatangkan senyuman tipis pada ujung bibirku.

Kata apa yang tepat untuk mendeskripsikan wanita luar biasa yang kutemui beberapa bulan ini. Masih banyak sekali yang tak kuketahui tentangnya, namun dengan yang kukenal sejauh ini ia satu-satunya yang mampu membuatku tak acuh akan dunia luar. Ia satu-satunya yang membuatku terus berkecimpung perihal "kata yang tepat untuk mendeskripsikan seorang Bintang Kirana Putri".

Ia juga satu-satunya yang membuatku terfokus hanya pada dirinya. Mengingat kembali bagaimana kecintaannya terhadap cahaya bulan, langit malam, tentunya disertai tebaran jutaan bintang-bintang.

Aku hanya terpaku pada semua hal yang berkaitan tentangnya. Aku selalu mengagumi bagaimana cara ia bersemangat saat menceritakan detail-detail kecil yang disukainya.

Sampai detik ini pun, aku masih sanggup untuk memujanya. Sekalipun harus berdarah-darah, menyeretku sampai ke titik paling rendah, atau bahkan saat kemungkinan ia mengatakan bahwa sayangnya telah pudar, aku tetap masih sanggup memujanya.

Aku memuja tiap inci tubuhnya, keuletannya mengurus ini dan itu, dan mimpi-mimpinya yang besar.

"Bintang.."

Bila aku mampu ciptakan dunia, maka akan kujadikan wajahmu sebagai langitnya. Bila aku mampu mengatur gerak udara, akan kujadikan mimpimu sebagai mata anginnya. Bila aku mampu menyaingi suhu bara, kucoba hangatkanmu dan merengkuhmu selamanya.

Yang kutahu hanya perihal dirimu. Tapi yang harus kamu tahu, demikian pula kecintaanku.

Mungkin sebagian akal sehatku telah hilang. Bintang, gadis ini selalu membuatku kebingungan tak berkesudahan. Membayangkan senyum cantiknya saja sudah membuatku cukup tenggelam. Bagaimana bisa?

Bagaimana bisa saat ini juga aku ingin segera menemuinya?!

-

Kupikir setelah hari itu, semuanya akan berjalan dengan sangat lancar.

Dengan perasaan senang aku mendatangi gadis itu.

Perasaan dejavu apa ini? Gadis yang kutemui ini persis saat pertama kali aku melihatnya. Ia mengenakan kaos Djogja kesayangannya dan tentunya sambil menyiram sebuah tanaman semata-wayangnya.

"Yooo whatsup honey", sapaku sumringah.

Matanya terbelalak panik, "hey! Apa maksudmu??" Namun rona pipinya tetap tak bisa ia sembunyikan.

"Untuk apa kamu kesini lagi?" Lanjutnya.

"Warung kopi. Jangan-jangan kamu pikir aku kesini untuk menemuimu?"

Wajahnya datar. "Ah, begitu."

Aku malah dibuat gelagapan dan panik.

"Nope, aku bercanda. Tentu saja aku kesini untuk menemuimu."

Ia tak menyahutiku dan malah mengunci pintunya rapat. Aku semakin panik.

"Bi.." panggilku lembut.

"Bintang.." ia tetap tak menyahuti.

"Bintang Kirana Putri.."

Kriettt

"Aku merindukanmu—"

"Apa sih Bas?"

"E-eh apa maksudmu Bas?" Sambungnya dengan mata terbelalak.

Aku meringis malu. "Ayo jalan-jalan." menghiraukan pertanyaan Bintang dan aku pun enggan menjawab pertanyaan yang membuat isi kepalaku tak karuan.

"Beri aku 10 menit." Ia sigap menguci pintunya rapat.

Aku bergeming tak mengerti.

Tapi dalam 10 menit ia kembali dengan dress vintage yang manis. Sangat cocok untuknya.

Bagaimana ini? Ia terlihat manis sekali!!!!!!!!!!!

Begitu kami ingin berangkat aku lupa satu hal penting. Helm-ku.

"Bi, mampir ke rumahku sebentar tak apa? Aku lupa bawa helm."

"Tentu." Jawabnya santai.

Begitu sampai dirumah kubawa Bintang masuk dan duduk sebentar diruang tamu. Kebetulan Mama datang dan mengobrol dengannya.

Aku tersenyum tipis bagaimana rasa penasaran Mama terhadap gadis yang pertama kali kubawa kerumah ini.

Aku langsung beranjak ke kamarku untuk mengambil helm. Tipis-tipis kumendengar Mama melayangkan pertanyaan yang biasa orang tua lontarkan pada pasangan anaknya. Aku terkekeh pelan.

Tak lama ketika aku menuruni tangga, Mama menungguku di bawah. Namun raut wajahnya datar.

"Bas, Mama ingin bicarakan sesuatu."

Aku bingung. "Ada apa Ma?"

Mama memegang tanganku lembut. "Bas, Mama kan sudah bilang jangan mengencani perempuan sembarangan.. Jika kamu ingin wanita yang lebih berkualitas Mama akan kenalkan."

Aku terkejut mendengar itu keluar dari mulut Mama. "Maksud Mama apa? Bagaimana kalau Bintang dengar hal yang menyakitkan itu dari Mama?"

Aku hanya mengkhawatirkan Bintang sebab jarak tangga dengan tempat yang Bintang sedang duduki hanya berkisar beberapa meter saja.

Mama tetap tak acuh. "Bas, sekali saja turuti perkataan Mama ya."

"Maaf Ma, tapi kita bahas lagi nanti." Dengan cepat aku menyudahi percakapan dengan Mama yang membuatku marah.

Aku bergegas menghampiri Bintang untuk membawanya pergi dari sini.

"Bas, maaf apa kamu bisa membawaku pulang?" Tanyanya pelan.

Sontak aku menoleh. Wajahnya pucat pasi. Aku panik tak karuan.

"Kamu sakit Bi?"

Ia menggeleng pelan. "Antar aku pulang." Rintihnya.

Aku sigap mengantarnya pulang.

"Bi, tunggu sebentar. Dalam 5 menit aku akan kembali." Ucapku begitu sampai di halaman rumah Bintang.

Aku bergegas membeli obat-obatan di apotik yang jaraknya lumayan jauh dan aku tak peduli lagi dengan kecepatan motor yang kukendarai ini.

Begitu aku kembali ia masih duduk dikursi halamannya. Aku memberi sekantung penuh obat-obatan yang sudah kubeli barusan.

Ia mengadah dan beranjak dari tempat yang ia duduki. "Terimakasih, Bas." Ucapnya tersenyum pahit.

Mataku terbelalak melihat darah yang keluar dari hidungnya. "Bi, hidungmu—"

"Aku tak apa." Potongnya cepat dan mengunci pintu rapat.

"Bi.. tolong.. kita atasi dulu mimisanmu ya.." ucapku lembut sambil mengetuk pintu.

"Aku mohon tinggalkan aku sendiri Bas.." ucapnya lirih.

Mendengar jawabannya aku semakin panik. Bagaimana bisa aku menginggalkannya sendiri dalam keadaan hidungnya yang sedang mimisan seperti itu?!

2 jam berlalu

Aku semakin gelisah tak karuan karena tak mendengar apapun dari dalam rumahnya. Kuketuk pelan pintunya namun tak ada jawaban apapun. Aku semakin dibuat panik.

"Bintang.. tolong jawab apapun." Rintihku pelan.

Ia tetap bergeming.




Tbc.

25 Jul 2021
Amelia Damayanti

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Setitik BinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang