Dua

22 1 0
                                    

Lelaki itu harus membuktikan kata-katanya kan?

Sudah kubilang aku akan mengubah ekspresi datarnya itu menjadi senyum yang sangat lebar. Aku bersungguh-sungguh.

Esoknya aku datang lagi lebih awal, namun kali ini langit seakan tak merestui atas perasaan yang menggebu ini.

Awan mendung, langit berubah menjadi abu-abu. Bahkan angin pun berhembus kencang menerpa daun-daun kering sehingga berterbangan. Hawanya dingin menusuk. Seperti akan datang badai hebat. Mimpi apa aku semalam? Mengapa alam seakan tak bersahabat denganku hari ini?

Dan lagi, sialnya warung kopi tutup. Aku merasakan gemercik air turun menyentuh permukaan kulitku. Semakin lama semakin banyak. Benar saja, hujan turun begitu derasnya.

Aku berdecak dan mengacak rambutku gusar, sebab perkampungan ini sangat sepi. Jarak terdekat dari posisiku saat ini hanya warung kopi dan rumah gadis itu. Bagaimana aku mencari tempat berteduh sedangkan disekitar sini hanya terdapat tembok-tembok industri dan pohon-pohon yang belum lama di tebang. Bahkan kayunya masih tergeletak tak ada yang mengurusi.

Warung kopi itu tak menyisakan terasnya barang sedikit saja. Pohon-pohon pun dahannya sudah tak bisa lagi menjadi tempat berteduh.

Tubuhku basah kuyup.

Aku melirik sekilas pada rumah itu, teras rumah itu sepertinya hangat. Cukup untuk menjadi tempat bertepi. Namun kulihat tanamannya sudah terguyur habis oleh hujan. Kemana gadis itu? Tanaman yang ia rawat baik-baik pun tergeletak tanpa ada yang menyinggahinya.

Tanpa pikir panjang aku memakirkan motorku dihalaman rumahnya.

Dengan sigap kuambil tanaman itu dan mengangkatnya. Air yang memenuhi pot itu berangsur-angsur turun melalui celah lubang yang terdapat pada dasar pot tanaman itu. Aku mengamankannya.

Aku menengok ke jendela rumahnya, hening sekali. Sepertinya gadis itu tak ada didalam. Aku masih berdiri diluar terasnya seraya terus memegang tanamannya.

Sayup-sayup aku mendengar suara kendaraan. Suara itu semakin mendekat dan terdengar jelas. Benar, datang seseorang mengendarai motor bebek dan mengenakan jas hujan plastik berwarna yang sangat tipis lengkap mengenakan helm.

Dibalik jas hujan itu aku melihat seseorang yang berpakaian seperti montir. Kupikir hanya orang yang kebetulan lewat, namun motor itu semakin mendekat kearahku. Ia memakirkan motornya disebelah motorku, pengemudi itu turun dan membuka helmnya. Sontak aku menunduk.

"Maaf saya numpang berteduh sebentar, sampai hujannya berhenti." Ucapku pelan seraya melihat kebawah, tak berani melihat wajahnya.

"Ah, ya. Silahkan."

Sebentar-sebentar, sepertinya suara wanita. Dengan cepat aku mengadahkan kepalaku. Ia tersenyum sekilas. Tubuhku menegang, mataku terbelalak. Ternyata gadis itu.

"Em.. Maaf tanamannya," ucapnya canggung sambil menunjuk tanaman yang kupegang.

"Ah? oh.. iya ini, aku tak bermaksud mencurinya. Hanya menyinggahi agar tak terkena hujan." Ujarku sedikit terbata.

Ia terkekeh pelan, tak menyahuti apa yang aku ucapkan dan berlalu begitu saja melewatiku yang sedang diam mematung.

"Silahkan duduk dulu," tawarnya mempersilahkanku duduk dikursi plastik yang terdapat diteras rumahnya.

"Aku ganti baju dulu, tunggu sebentar ya." Ujarnya lembut. "Ah ya terimakasih." Balasku.

Bahkan aku tak berbasa-basi sedikit seperti berbicara takut merepotkan atau semacamnya. Senang sekali hati ini sampai tak bisa berpikir jernih.

Aku duduk dikursi plastik yang warnanya sudah pudar, lengkap dengan mejanya. Sungguh tua rumah ini. Juga sangat sunyi seperti hanya ditinggali oleh satu orang saja.

Aku melamun menikmati hujan yang berderu turun dengan derasnya. Tak peduli lagi dengan tubuhku yang basah kuyup ini. Cuaca kali ini buruk, namun tidak hatiku. Sepertinya alam sudah tahu bahwa aku akan bertemu dengannya, oleh karena itu alam seakan cemburu. Tak membiarkan para insan menuai memori suka cita dikala hujan turun.

Maaf, alam. Kali ini kau kalah. Lagi-lagi dengan cuaca yang buruk seperti ini mampu menghadirkan begitu banyak kisah romansa. Bukan hanya terjadi padaku, mungkin para insan lain pun sedang merasakannya. Aku terkagum, sungguh begitu hebatnya kuasa Tuhan.

Kali ini pun hujan, alam, bahkan Tuhan menjadi saksi atas segala memori yang terjadi pada para insan di bumi. Memori suka bahkan duka. Mereka menjadi saksi bisu atas semua memori yang tercipta.

Rasanya seperti.. sensasi langka yang tak bisa setiap hari aku rasakan.

Ketika aku sedang asyik melamun dengan pikiran dan imajinasiku yang hanyut dalam pesona hujan, ia datang. Membawa sebuah handuk kecil dan dua cangkir yang terdapat uap panas yang mengepul.

"Silahkan diminum dulu, dan.. keringkan rambutmu."

"Emm.. ya.. Terimakasih banyak." Jawabku canggung.

Aku langsung mengeringkan rambutku cepat. Lalu kusinggahkan handuknya disamping kursiku.

"Boleh kuminum?" Tunjukku pada cangkir yang mengepul itu.

"Tentu, menurutmu aku membuat ini untuk siapa?" Jawabnya santai.

"Ah ya, barangkali secangkir tidak cukup untukmu." Ucapku.

"Ya, itu jika aku rakus." Timpalnya. Aku terkekeh.

Aku mulai meminum secangkir teh yang dibuat olehnya. Rasanya sepert dejavu. Persis seperti buatan nenek. Bahkan aku hapal resepnya. Aku meminumnya kedua kali, mencoba mencari perbedaan yang bahkan tidak ada. Rasanya sama persis. Seduhan teh tubruk tawar diberi sedikit madu. Membuatku mengingat kenangan hangat bersama nenek.

"Boleh kutanya namamu?" Ucapku tanpa ragu. Ia menoleh, namun tak menjawab pertanyaanku.

Ia menatap lurus menikmati hujan, lalu tersenyum simpul pada ujung bibirnya.

"Bintang," jawabnya pelan dan lembut.

"Lalu siapa namamu, tuan stalker?" Ia menengok padaku.

Uhuk.

Ah.. sial. Aku disebut stalker. Padahal aku tak bermaksud begitu

"Maaf, aku tak bermaksud." Ucapku pelan. Ia malah terkekeh.

"Lalu?" Tanyanya lagi.

"Em.. hanya saja--"

"Bukan, maksudku namamu." Potongnya.

"Ah... namaku." Ucapku ber-oh ria.

"Ya, namamu."

"Bastian. Andreas Sebastian." Jawabku.




---

Tbc.

05 Des 2019
Amelia Damayanti

Setitik BinarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang