[01] Hardika

23 3 0
                                    

Hardika, seorang pemuda berumur 24 tahun yang masih kalut dalam kematian sang Bunda satu tahun lalu. Kejadian yang amat tak terduga, yaitu kecelakaan.

Malam itu Bunda dan Hardika atau yang biasa di panggil dengan Ardi, sedang dalam perjalanan menuju rumah mereka. Di mana mereka tinggal dengan empat anak idelogis Bunda lainnya.

Kecelakaan itu tidak hanya mengorbankan nyawa Bunda, yang bernama asli Meliana Singgara. Tetapi juga sebagian ingatan Hardika.

***

Ardi masuk ke dalam rumah pada pukul tiga pagi dalam keadaan mabuk berat dan berantakan.

"Bang, Lo jangan gini terus dong!" omel Bagas di depan pintu berkacak pinggang, marah.

Ardi hanya membalas dengan tatapan sinis kearah Bagas. Mungkin maksud dari tatapan itu adalah, "Siapa Lu!" .

Ardi membuka sepatu dan jaketnya, lalu melempar benda itu dengan sembarang. Dia berjalan sempoyongan menuju lantai atas.

Kamal bangun mendengar sedikit keributan di depan kamarnya yang tak jauh dari pintu masuk. Dengan kesadaran yang masih setengah dan mata yang hanya terbuka tipis, Kamal menatap Abang kesayangannya, Bagas.

"Bang Ardi?" tanya Kamal pada Bagas yang terlihat masih marah. Bagas hanya mengangguk.

"Jangan teriak lagi Bang, nanti Snow bangun. Ribet tidurinnya lagi," Kamal memperigati lalu kembali ke dalam kamarnya setelah menegak segelas air.

Masih dalam amarah, Bagas masuk kembali ke dalam kamarnya yang terletak di lantai satu rumah itu.

Bagas mengacak rambutnya kasar. Memikirkan bagaimana caranya menghentikan sang Abang tertuanya--Ardi untuk tidak lagi mabuk dan balap liar, atau hal-hal buruk dan kacau lainnya. Juga memikirkan bagaimana caranya dua adik bungsunya--Kamal dan Tara-- agar tidak perlu putus sekolah seperti dirinya.

"Kenapa Lu, Gas?" Tara terbangun mendengar suara pukulan. Bagas memukul dinding saking frustasinya.

"Bang Ardi?" Seolah Tara tau apa isi kepala Bagas. Dia menebak dengan tepat. Bagas hanya mengangguk dan Tara menghela nafas kasar melihat anggukan Bagas.

***

Bugh!

Bugh!

Suara pukulan memenuhi ruang tengah rumah yang pernah hangat itu. Ardi memukuli Kamal dengan emosi.

"Bajingan Lo, Mal! Ngapain Lo ngelarang-larang gue hah?!" teriak Ardi di sela-sela pukulannya.

Kamal hanya bisa pasrah meringkuk, menerima semua pukulan dari Ardi. Sambil meringis menahan sakitnya.

Nata datang langsung menarik Ardi menjauhi Kamal.
"NGAPAIN SIH, LO, BANG?!" Nata membentak.

Ardi menatap Nata dengan tatapan tajam, dibalas oleh Nata dengan tatapan yang tak kalah tajam. "Mau kalian apa sih?!" bentaknya sambil menepis tangan Nata yang tadi menggenggam tangannya.

"Lo tanya, mau kita apa bang?" tiba-tiba Tara datang berdiri di depan Ardi menatap lelaki itu tajam sambil tersenyum miring. "Lo masih bisa nanya mau kita apa?!" kini Tara meninggikan suara, membulatkan matanya menatap Ardi tajam.

Ardi mengepalkan tinjunya hendak melayangkan kepalan tangan itu kearah Tara, tapi beruntung Nata menahan tangan Ardi.

"KITA MAU LO YANG DULU BANG!" Kini Tara benar-benar teriak. Semua otot di wajahnya menegang, samar-samar terlihat uratnya keluar, rahangnya mengeras.

Speranza [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang