"Apa-apan lo nyebut Snow anak gue! Siapa ibunya?!" bentak Ardi tak terima. dia tidak pernah merasa pernah melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan kelahiran Snow, dengan siapapun.
"Fania, lo inget?" Nata menatap Ardi yang masih emosi.
"Siapa dia?! Lo jangan ngomong kalo gak ada bukti, Ta!" Ardi sungguh tidak menerima perkataan Nata yang mengatakan bahwa Snow adalah anaknya dengan seorang bernama Fania, entahlah dia tidak ingat pernah kenal atau dekat dengan perempuan bernama Fania.
"Coba lo liat foto lu waktu kecil Bang, bandingin sama Snow, sama, persis," ucap Nata. Ucapan Nata tadi memang benar. Snow, walau namanya seperti nama anak perempuan, Snow adalah laki-laki yang parasnya sama dengan Ardi di waktu kecil, saking miripnya dengan Ardi, mungkin bisa di bilang Ardi versi upgrade.
"Itu doang?!" Ardi masih tidak terima dengan bukti yang Nata katakan sebelumnya.
"Lo istirahat, Bang, pikirin baik-baik, jangan denial, kalau udah inget, terima." ucap Nata sebelum pergi meninggalkan kamar Ardi. Dia tau abangnya perlu waktu untuk memproses semua ini.
Ardi terduduk di pojokan kamar, menengadah ke langit-langit kamar. Memejamkan matanya, memikirkan semua kata-kata Nata yang tak banyak tapi sangat berpengaruh untuk dirinya saat ini.
"Snow anak gue? Sama Fania? Fania siapa?" Tanya Ardi dalam hati. Sekarang ini semuanya pertanyaan untuknya.
Enam bulan Snow tinggal bersama mereka, dan Ardi tidak pernah begitu peduli dengan keberadaan anak kecil itu, dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri.
Ardi berdiri membuka laci mejanya, mengambil sebuah foto dirinya yang berumur satu tahun. Menatap foto itu lama, mencoba mengingat wajah Snow yang jarang dia lihat.
Hatinya terasa aneh ketika menyadari apa yang Nata katakan benar. Snow mirip dengannya, sangat mirip, hanya saja warna mata Snow yang lebih coklat berbeda dengan matanya.
"Siapa Fania?"
Ardi terdiam, mencoba sekuat tenaga mengingat nama Fania. Menggali ingatan-ingatan lama, mencari ingatan tentang seorang perempuan bernama Fania.
Tangannya memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Ardi membawa tubuhnya untuk berbaring sejenak di tempat tidur. Kepalanya pusing mencoba mengingat nama itu.
Napasnya tak beraturan, karena tiba-tiba bayangan tentang seorang perempuan tersenyum kearahnya muncul. Bayangan tentang dia memeluk seorang perempuan muncul.
"Fania?" lirihnya di sela-sela menahan rasa sakit di kepalanya.
Ardi memejamkan matanya, kembali mencoba mengingat siapa Fania atau perempuan yang barusan muncul di kepalanya.
Ardi terus memegangi kepalanya yang sakit, air matanya sudah turun. Perlahan-lahan, dia ingat, siapa Fania.
Ardi terisak di ranjangnya meringkuk memegangi kepalanya sendiri. Seketika mengingat semuanya. "Gue ngelupain semuanya?"
Ardi tertidur dengan tidak sadar karena terlalu lelah mengingat semua itu, kenangannya bersama perempuan bernama Fania.
Tapi di kepalanya tidak ada kenangan bersama Fania yang tidak-tidak. Mereka hanya berpelukan, saling cerita, menghabiskan waktu bersama, tapi tidak sampai tidur bersama.
Ardi masih perlu bukti untuk meyakini bahwa Snow adalah benar anak kandungnya dengan perempuan bernama Fania itu.
***
Ardi turun dari lantai dua dengan mata yang sembab dan masih menggunakan pakaian yang sama dengan semalam.
Dia langsung di sambut dengan pemandangan Nata yang sedang memindahkan beberapa lauk ke meja makan dan Bagas yang masih mengenakan baju tidur menemani Snow bermain sambil bersandar pada sofa di belakangnya.
Kamal keluar kamarnya dengan seragam lengkap dengan tas lalu menghampiri Nata di meja makan. Setelah itu Tara juga keluar dari kamarnya dengan seragam lengkap juga.
"Eh, Abang," Kamal tersenyum menyadari keberadaan Ardi yang sedari tadi hanya diam memantau mereka semua.
Ardi tersenyum sedikit kikuk. Bisa-bisanya anak itu masih bisa tersenyum untuk Ardi, padahal anak itu hampir setiap hari Ardi pukuli tanpa sebab yang jelas. "Sini, Bang," Ajak tara yang sudah menyendok lauknya. Sedikit ketus, dan tanpa senyuman. Tapi itu cukup Ardi saat ini.
"Bagas, udah mateng nih!" panggil Nata pada Bagas yang membuat anak itu langsung pergi menuju ruang makan sambil menggendong Snow.
Ardi duduk di salah satu sisi meja makan, di samping kamal tepatnya. Menyendok nasi, menyendok lauk, dan ikut makan bersama adik-adiknya. Ardi menatap adik-adiknya yang sibuk makan, sekali-kali Bagas berbicara dengan Snow, lalu ditanggapi dengan yang lain. Atau Tara yang dengan jahil mencolek-colek Snow membuat anak itu sedikit merengek, dan berakhir Tara di pukul pelan oleh Bagas.
Suasana sarapan yang hangat dan sangat kekeluargaan. Kapan terakhir kali dia merasakan rasa nyaman dan aman ini? Kemana saja dia selama ini?
Semalaman tadi, Ardi benar-benar memikirkan soal Snow, ingatannya, dan juga kelakuannya sendiri. Dia sudah menyadari dia salah, dan dia juga sudah berniat untuk membenahi semua kekacauan yang sudah dia buat.
Selama makan itu, tidak ada satupun dari keempat adik Ardi yang bertanya atau membahas soal kemarin. Mungkin sudah diwanti-wanti oleh Nata untuk tidak membahas topik itu, bahkan semua bersikap seolah kemarin tidak terjadi apa-apa. Yang jelas sekarang, Ardi merasa dimengerti dengan sikap adik-adiknya itu.
Setelah Tara dan Kamal meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah. Menyisakan Ardi, Nata dan Bagas juga Snow yang tak lepas dari Bagas.
"Gue udah inget siapa Fania," ucap Ardi ketika Nata sedang fokus mencuci alat makan bekas mereka tadi.
Nata menghentikan kegiatannya dan duduk di depan Ardi di meja makan. "Udah inget? Bagus deh,"
"Tapi gue perlu penjelasan soal Snow," Ardi menatap Nata agak ragu. Dia belum seratus persen percaya bahwa Snow adalah anak kandungnya, dia masih perlu bukti. Dan jika bukti itu valid, maka mulai hari itu, hidupnya mungkin tidak akan lagi pernah sama.
"Bagas," panggil Nata pada Bagas yang masih bermain dengan Snow. Bagas dengan sigap langsung menghampiri Nata meninggalkan Snow yang asik bermain di lantai ruang tengah yang tersambung dengan ruang makan di mana Nata berada.
"Bawa surat itu ke sini," perintah Nata tegas.
"Tapi bang surat itu kan-" belum selesai Bagas berbicara, Nata sudah menatapnya dalam sambil mengangguk, seolah mengatakan, tidak apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Speranza [END√]
Teen FictionTentang Ardi dan harapannya yang tidak pernah dia duga