Aku hanyalah seonggok robot yang bisa meneteskan air mata dan tersenyum tipis. Tak terkecuali pada sosok yang kini mengetuk-ngetuk dahiku.
"Tok-tok-tok... wahai makhluk besar, apa kau masih hidup?"
Pertanyaan penuh kepolosan mengalun lembut menerjang pendengaranku, membuat manik biru milikku perlahan terbuka dan mengerjap beberapa kali.
"Eh... sudah bangun?" Pemilik suara melambaikan satu tangannya di atas wajahku. Dalam gelapnya malam serta kelembaban sudut lorong, aku mencoba memastikan siapa makhluk ini. Seorang gadis? Ku pikir begitu. Surai hitamnya terurai hingga panggung dan suara anak kecil menerobos lewat gigi-gigi putih.
"Ayo bangun, jangan tidur di sini! Gangnya kotor lho...," Ia tersenyum. Menarik tubuhnya untuk berdiri dan mengulurkan tangan kanannya. Ini tandanya... dia mengajakku untuk bangkit?
"Cepatlah!" Ajaknya lagi.
Merespon gelagatnya, ku raih tangan yang jauh lebih kecil dari tangan besarku. Aku terduduk. Mengedarkan pandanganku. Benar. Sebuah lorong gelap. Rupanya, aku terkapar di sini semenjak... maaf. Aku tidak bisa mengingatnya.
Gadis di hadapanku kembali berjongkok, "Hei, katakan. Siapa namamu?" Tanyanya heran. Wajah imut memiring ke kanan, hampir menyentuh pundak sempitnya.
Nama? Apakah itu suatu kata yang menunjukkan identitas?
"...,"
Hening. Sedari tadi kami hanya saling bertukar tatap. Keningnya mengerut dalam. Ratusan tanda tanya berputar mengelilingi kami. Baik dia maupun aku, kami sama-sama bingung.
Lima detik. Krik krik krik...
Sepuluh detik. Tes. Tes. Tes...
Tetesan air dari pipa yang bocor serta jangkrik-jangkrik yang bernyanyi menjadi sountrack di tengah jeda ini hingga-
"Oh, tidak..!"
Gadis itu tiba-tiba berteriak sembari menepuk dahinya.
"Gawat-gawat!" Ia mengacak rambut hitamnya sementara aku hanya diam di tempat. Masih duduk dengan satu kaki ditekuk ke atas. Gawat? Kenapa? Bukankah sedari tadi segalanya baik-baik saja? Dia terlihat tidak terluka, begitu pula aku. Hanya saja, kepalaku sedikit kopong karena tidak bisa mengingat apapun.
"Kita harus membawamu ke rumah sakit. Ka-kau...anemia!! Apalagi kau tidak bisa berbicara. Jangan-jangan... lidahmu terputus?!"
Khawatir. Gadis itu mengguncang bahu lebarku. Seenak jidat, ia menarik tanganku. Memaksaku untuk berdiri dan berlari mengikutinya.
"Ya, tuhan, musibah macam apa ini? Sembuhkanlah dia, kumohon...," Do'anya, memohon pada zat agung di atas sana. Masih dengan kedua tungkai jenjang yang berlari menggandengku hingga keluar gang, melewati toko-toko yang telah tutup kecuali beberapa.
"Nor 16_8029," Sebuah kalimat singkat tiba-tiba keluar dari mulutku. Singkat padat dan jelas.
'Nor sixteen_eight thousand twenty six,' Begitu bunyinya.
Spontan gadis di depanku menghentikan langkah dan membalik tubuh rampingnya.
"Ka-u ingat sesuatu? Nor... sikin eton kosek? Apa itu namamu?!" Tanyanya penuh selidik walau dengan pengucapan yang salah.
Lagi-lagi aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Kalimat itu terlintas begitu saja di dalam kepingan memoriku tatkala iris biru menangkap pantulan diriku di salah satu kaca besar toko yang kami lewati.
Pemuda tinggi yang mengenakan kemeja putih dengan celana hitam panjang serta sepatu hitam pantofel. Lengkap dengan dasi hitam di dada bidangku. Rambut pirangku juga masih rapi seperti baru disisir dengan poni yang mencapai mata tajamku.
Aku merasa ada hubungan dekat antara aku dengan bayang orang dalam kaca di depanku. Ini aneh, wajahnya begitu familiar tetapi aku tidak mengingat identitasnya.
Mungkin aku bisa bertanya pada gadis ini. Ah... tidak-tidak. Dia terlalu polos untuk bisa memahami situasi.
"Nor? Noor sikin eton kosek? Kau dengar aku?"
Lambaian tangan gadis berseragam SMA membuyarkan lamunanku. Aku kembali berpikir. Sebuah pertanyaan dapat dijawab dengan anggukan yang menunjukkan persetujuan atau gelengan kepala yang menunjukkan kontra. Benar begitu?
Aku memilih menganggukkan kepala. Gadis itu tersenyum kegirangan.
"Syukurlah, kau memahami perkataanku. Begini, karena ini sudah dini hari, jadi aku belum bisa membawamu ke rumah sakit. Bagaimana kalau mampir dulu ke rumahku? Mau tidak? Tapi kalau langsung ke rumah sakit juga tidak masalah. Jadi... mau yang mana? Rumah sakit atau rumahku?"
Pertanyaan ambigu meluncur begitu mulus yang membuatku harus berpikir lagi. Ia memberiku pilihan berarti... aku harus memilihnya.
"Pilihan kedua," jawabku akhirnya.
"Yey..! Kau memilih rumahku. Kalau begitu ayo pulang!" Bahagia, ia lagi-lagi menggandengku tanpa persetujuanku. Mungkin ke sebuah tempat yang ia sebut-sebut sebagai rumah.
Menurut saja aku dibuatnya. Mengapa? 'Kan sudah kujelaskan di awal. Aku hanyalah seonggok robot. Tubuhku mungkin manusia, namun isi kepalaku seperti robot. Tanpa memori, tiada emosi dan rasa sakit.
***
Nor dalam imajinasi saya tehe'
Catatan si Bielz:
Hai, dengan Billszam di sini. Coretan baru setelah lama berhenti menulis. Semoga pembaca tertarik dengan coretan saya. Tulisan yang pendek di setiap chapter, namun saya akan berusaha menyelesaikannya secara bertahap dan berkelanjutan.
~Sampai jumpa di chapter selanjutnya.. :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainbow... Give Me Your Color
RandomAndaikan aku selembar kertas putih, aku ingin kau menjadi pensil warna yang mewarnai kehidupan hitam putihku Jika aku seekor kucing, aku ingin kau menjadi tuan yang menuntun kehidupan kelamku Dengan seluruh warnamu, berikan seonggok robot ini kehang...