Dama Mega

36 19 29
                                    

Hari ini rasanya seperti biasa. Dama berdiri menunggu seorang teman yang biasa menemani harinya. Sungguh rasanya bahagia, di kelilingi angan-angan akan hari indah tanpa rasa kesepian lagi, seperti yang sudah-sudah.

Bruk!

Tubuhku terhuyung ke tanah. Kulihat si pelaku sebelum aku berdiri berhadapan dengannya. Sungguh aku tidak mengira bahwa agan-aganku akan hancur dengan sekejab.

Sahabat yang aku kira akan memberi sedikit kesan di hidupku justru sedang menatapku dengan tatapan penuh kebencian.

“Dasar gajah, kau tidak perlu lagi berteman denganku. Aku malu memiliki teman sepertimu!”

Aku tertegun. Rasanya kalimat itu jauh lebih menyakitkan dari pada keadaanku yang terluka.

Belum selesai, ia kembali berkata, "Sudah cukup tatapan menjijikkan yang selama ini kudapat karena aku berteman denganmu!"

Sejak saat itu aku menghentikan segala impianku tentang memiliki teman. Dan kupikir, aku tidak akan bisa dapat kebahagiaan selain dari ruang kosong nan hampa itu. Kebiasaan hidup yang hanya diisi dengan duduk, termenung dan belajar, kini kulakukan lagi.

Apakah kisahku hanya sampai disini? Jawabannya tidak, karena aku percaya bahwa untuk melawan rasa takut adalah proses seumur hidup.

Mau itu takut dihadapan public, takut tidak punya teman, takut dijauhi dan rasa-rasa takut lainnya jika tidak dilawan maka kupu-kupu sekalipun tidak akan berani terbang bebas.

***

Taman satu-satunya tempat paling cocok denganku setelah rumah. Tidak ada tempat lain yang bisa menerima tubuhku yang besar ini. Sudah sebulan lebih hidupku hanya tentang rumah dan taman setelah perkataan paling menyakitkan keluar dari mulut sahabatku.

“Kenapa tubuhku yang besar ini dibenci orang-orang. Apa yang salah dengannya?” monologku dengan memukuli tubuhku.

“Aku hanya ingin berteman, tapi mereka mengganggapku seperti manusia yang paling menjijikan.”

Ada tangan mungil yang memegang tanganku, aku menoleh. Yang kulihat adalah gadis mungil dengan kulit sawo matang, dia tersenyum padaku lalu duduk di sebelahku. Dia tidak berbicara apapun, hanya menatap lurus ke depan.

“Kamu tidak boleh jahat pada dirimu sendiri. Kamu berharga dan kamu berhak dicintai.”

Aku menoleh kearahnya, “Kamu lagi berusaha untuk menghiburku?”

“Aku sedang tidak melucu.”

“Aku juga sedang tidak ingin ketawa.”

“Tapi kamu butuh itu. Kamu butuh sedikit tawa agar pikiranmu tidak berpusat pada julukan gajahmu itu.”

Aku terkejut, “Kenapa dia bisa tahu? Apa dia seorang cenayang?” batinku.

“Mega,” ucapnya dengan mengulurkan tangan.

“Dama,” ucapku menerima ulurannya.

“Artinya cinta kasih, ya? Harusnya kamu menebar cinta ke orang-orang bukannya nyakitin diri sendiri.” Aku menatapnya.

Dia dari tadi seolah tidak memiliki beban apapun yang harus membuatnya menjadi orang paling menyedihkan di bumi. Aku harusnya bisa seperti dia, bukan malah menjadi pengecut seperti ini.

Nabastala TaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang