Lily dan Dandelion

73 24 37
                                    

Semilir angin menerpa wajahku dengan lembut, aku tersenyum menyaksikan ilalang yang bergerak kesana kemari, serta Dandelion yang ikut berterbangan di taman.

Sesaat bahuku ditepuk lembut dari belakang, diikuti dengan suara yang tidak asing bagiku. Hingga akhirnya aku menoleh ke asal suara dan mendapati makhluk bumi yang sudah sejak lama kutunggu kehadirannya.

“Bora!” gumamnya.

Ia berdiri mendekat ke arahku, ia merentangkan tangannya dan menarik tubuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Cukup lama aku terdiam dan tidak membalas dekapannya, sampai akhirnya dia menjauhkan tubuhnya dari tubuhku.

“Kak Ratan?”

Aku diam, memperhatikan wajah tampan lelaki yang ada di hadapanku, yang belakangan ini hilang dari pandanganku. Tanganku terulur mengusap wajah tirus lelaki yang kupanggil kakak. Perlahan senyumku mengembang.

“Apa ini mimpi? Jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku Tuhan. Aku sangat merindukannya,” gumamku pelan, harum maskulin dari tubuhnya terasa nyata.

“Sudah puas mandangin wajah tampan kakakmu ini?” ucap ratan tiba-tiba.

Aku terkejut, repleks melepaskan tanganku dari wajah Ratan. Namun, dengan cepat Ratan menangkap tanganku dan menggenggamnya erat.

“Jadi ini nyata?” tanyaku dengan mata berkedip beberapa kali.

Ratan tersenyum, “Emang kamu pikir, aku hanya halusinasi mu?” ia berjalan menuju bangku yang ada di taman dan menarik tanganku untuk ikut dengannya.

“Bu-bukan gitu.” Aku gelagapan saat ratan mulai mendekatkan wajahnya dan siap mencium keningku.

“Kenapa? Katanya rindu?" ucap ratan yang kini merapikan anak rambutku yang berterbangan diterpa angin.

“Kakak sejak kapan di sini?” Bukannya menjawab pertanyaan ratan, aku malah balik bertanya.

“Sejak kamu tersenyum sendiri melihat ilalang dan Dandelion yang diterpa angin.”

***

Tanganku memeluk bunga Lily dan memegang secangkir es kopi yang di berikannya tadi. Kebiasaannya masih sama jika mengajakku ketempat ini, membawa bunga Lily serta es kopi dan duduk di bangku yang ada di sana dengan waktu yang cukup lama.

“Kenapa kakak selalu membawakanku Lily?” aku menanyakan alasannya, kenapa sering memberiku bunga Lily, bahkan tidak berjumpa denganku si bunga Lily itu pasti akan selalu sampai di pelukanku.

Ia menoleh ke arahku, “Karena kamu istimewa seperti Lily.”

“Kenapa harus Lily?”

“Karena kamu cantik.”

Aku kurang terima dengan alasan yang ia utarakan, “Cantik itu dimiliki setiap perempuan, Kak. Jadi kalau alasannya itu, aku tidak bisa menerimanya.”

Kulihat ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke depan. Ia berjongkok di depan ilalang juga Dandelion serta mengambil bunga Dandelion lalu kembali duduk di sebelahku.

“Kamu tahu, ini bunga apa?” tanyanya mengangkat Bunga Dandelion di depan wajahku.

Aku mengangguk. “Dandelion, Kak. Bunga sederhana yang dilindungi oleh ilalang. Mereka berdua tidak perlu air tempayan untuk hidupnya, mereka bukan tumbuhan istimewa. Mereka hanya tumbuhan sederhana yang siap kemana saja mengikuti terpaan nasib.”

Ia menjawil hidungku, “Pintar.”

“Dan mereka cocok untukku.” Sambungnya dengan meniup bunga Dandelion.

Nabastala TaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang