"Hai Kak, maaf karena baru bisa datang sekarang."
"Ini aku bawakan bunga Lily kesukaanku. Karena mawar, pasti sudah sering dibawakan sama orang lain untuk kakak." Kuletakkan bunga Lily yang kubawa di kedua sisi namanya.
"Bagaimana kabarnya di sana? Lebih menyenangkan ya? Semoga senang."
"Jangan tanyakan mengapa baru datang sekarang, karena kabarnya pun baru kuterima kemarin."
Berusahaku tahan sekuat mungkin laju air mataku, karena bisa gagal semua hal yang ingin kubicarakan jika air mata ikut campur. "Tapi aku ikut senang melihat postinganmu yang sepertinya berhasil menjadi seorang arsitektur."
"Semua terlalu cepat kak, semua bukan seperti apa yang aku bayangkan. Karena yang kumau bukan mengobrol dengan nisan yang tertulis namamu." Ku pandang lamat-lamat gundukan tanah itu dengan bunga Lily yang mengelilingi.
***
"Wa... Bagus banget desain rumah yang ini kak. Kakak yang gambar?" tunjukku pada sebuah gambar rumah yang tergantung indah di dinding.
"Iya, mau lihat?" tawarnya.
Aku mengangguk dengan semangat, seakan paham apa maksud dari gambar itu.
Setelah gambar rumah itu berhasil diturunkan, kak Dave berusaha menjelaskan satu persatu maksud dari gambar yang ia buat itu.
Walau tak paham setiap kali di jelaskan, aku akan mengangguk saja. Karena memang terlalu rumit untuk dipahami seorang gadis kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar ini.
"Kalau gitu, yang mana gambar rumah untuk aku? Aku kan juga mau dibuatkan rumah."
"Itu." Tunjuknya pada gambar rumah yang lebih besar lagi.
"Beneran buat aku kak?" dia mengangguk.
"Bukan cuma kamu, tapi kita."
Anak SD ngga bakalan paham kalau dirinya saat itu sedang digombali, jadi dirinya hanya akan mengiyakan saja.
"Tapi caranya gimana? Kan buat rumah itu susah kak."
"Aku sendiri yang akan merancangnya dan sudah pasti dengan bantuan orang lain juga."
"Oh... Gitu." Jawabku yang seakan paham apa yang dimaksud.
***
"Desain yang waktu itu kakak tunjukan padaku, sekarang sudah terwujud. Beberapa furniturnya juga sudah mulai di isi. Rencananya akan aku jadikan rumah untuk semua orang beristirahat."
"Maksudku seperti rumah baca dan rumah untuk beristirahat sejenak dari hiruk pikuk bumi yang semuanya serba sempurna ini, Kak."
Kubersihan makam kak Dave sebelum berpamitan. Cukup lama aku terduduk dan mengobrol dengan gundukan tanah yang ada di hadapanku. Walau tak di jawab, setidaknya ada rasa lega yang aku dapat.
Cukup konyol jika aku meminta segala ucapanku barusan dijawab.
"Kak Dave, aku pamit. Aku berjanji akan sering datang berbicara denganmu."
Aku bangkit dan melangkah menjauhi gundukan tanah itu. Sudah cukup, pikirku. Masih banyak yang harus di pikirkan ke depannya.
***
Di dalam angkutan umum, pikiranku melayang ke beberapa tahun yang lalu. Aku ingat betul bagaimana tidak setujunya kak Dave jika tahu aku bepergian sendiri menggunakan angkutan umum, tapi sekarang suara menentang keras itu sudah tidak bisa kudengar.
Hanya kenangan yang kembali bersuara mengingatkan semuanya. Aku memejamkan mata karena rasa kantuk kembali menyerang. Mungkin ini efek karena lelah menangis.
Sampai pada saat suara seseorang yang sangat kukenali menyapaku dari arah kanan, "Kak Dave!"
"Dave? Dave siapa? Aku Davi, teman sekelasmu Ly."
Salah!Dia bukan kak Dave. Sepertinya aku harus memeriksa telingaku. Dia Davi. Teman sekelasku yang menginap penyakit gagal ginjal. Sudah beberapa bulan ini aku tidak melihatnya dan sekarang malah bertemu di angkutan umum yang berdesakan ini.
"M-maaf. Aku salah orang."
"Habis menangis ya?"
Aku panik mendengar itu, "Kelihatan banget ya?"
Dia mengangguk, "Hidungnya merah, terus mengembangkan."
Aku melengos saja mendengarnya.
"Dari mana?"
"Dari makam." Dia hanya membulatkan mulutnya saja.
"Kamu sendiri?"
"Iya, aku sendiri. Kenapa?"
Menjengkelkan!
"Maksudku, kamu sendiri dari mana?"
"Oh... Dari makam juga."
Aku membulatkan mata, "Makam? Makam daerah mana?"
"Kepo kamu."
Akhirnya aku memilih untuk turun lebih awal dari pada harus duduk berdua dengan manusia tak jelas itu. Saat sudah turun pun, manusia itu masih saja bersikap aneh dengan melambaikan tangan dan mengedipkan sebelah matanya.
Aku yang melihatnya hanya bergidik ngeri, "Dasar sinting!"
Di tempat lain, dalam angkutan umum lebih tepatnya. Terdapat seorang lelaki yang sedang senyum-senyum sendiri. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, hingga dia berbuat demikian.
Lalu dia turun memasuki area pemakaman. Ketika sampai di sebuah gundukan tanah yang menjadi tujuannya. Di keluarkannya bandul sebuah kalung dari dalam kaos putihnya dan di genggamnya dengan saat erat, seakan benda itu adalah benda penting.
"Aku balik lagi kak."
"Maaf karena sudah membuat dia kesal. Tadi aku membuntuti dia dan ternyata dia menaiki angkutan umum, sengaja kubuat kesal karena tujuannya agar dia segera cepat turun dan menghubungi temannya."
"Dan tepat seperti dugaanku, dia menghubungi temannya untuk meminta dijemput. Karena aku tahu dia tidak akan menaiki angkutan umum sampai dua kali."
Matanya mengabsen sekeliling gundukan tanah itu yang di kelilingi bunga Lily.
"Aku berjanji, jika sudah waktunya aku akan menjelaskan semuanya. Tidak adil jika dia tidak tahu apa yang sebenarnya. Aku pamit."
Tamat.