WHEN THE RAIN COMES

10 1 0
                                    

Hujan turun perlahan membasahi bumi. Rintik halusnya terdengar menenangkan bagiku. Aku mengambil secangkir kopi yang tersedia dihadapanku sambil menikmati tetesan hujan yang kini mulai menderas. Ku letakkan kembali cangkir kopi tersebut dan jari jemariku mulai mengetikan sesuatu pada layar laptop. Kata demi kata mulai ku susun hingga menjadi sebuah paragraf, hingga akhirnya menjadi satu tulisan utuh.

*6 tahun yang lalu*

Tres Mosqueteros, Levi memberi julukan tersebut untuk persahabatan kami. Diambil dari bahasa Spanyol yang artinya tiga serangkai. Kami memulai persahabatan ini sejak duduk di bangku SMP, dan kami masih bersama, setidaknya hingga saat ini.

Aku merupakan anak yang sukar untuk bergaul, entah bagaimana takdir menuntunku hingga dapat berteman dengan 2 anak lelaki ini, Levi dan Calvin. Berteman dengan mereka tidak begitu mudah bagiku. Keduanya memiliki wajah yang rupawan, namun memiliki sifat yang sangat jauh berbeda.

Levi Aristo si pembuat onar namun memiliki kreativitas yang tinggi, sifatnya yang ramah membuatnya disenangi banyak orang, walaupun banyak yang kesal karena tingkahnya yang jail, setidaknya ia diidamkan para siswi di sekolah.

Lalu Calvin Sirrione, si dingin yang genius. Entah berapa banyak piala dan medali yang diraihnya dalam kompetisi matematika di berbagai tingkat, membuatnya diagungkan oleh para guru maupun murid. Tak heran banyak perempuan yang mengantri untuk menjadi kekasihnya.

Sedangkan aku, Nindya Krisanti, hanya seorang perempuan biasa. Tidak sekreatif Levi,dan tidak sejenius Calvin. Bagi para siswi, aku dianggap pengganggu. Banyak omongoan yang terdengar bahwa aku tidak pantas berteman dengan Levi dan Calvin. Berbagai cara mereka lakukan untuk menyingkirkanku dari persahabatan ini. Namun, tidak ada yang berhasil karena Calvin dan Levi selalu di pihakku.

Bertahun-tahun kami melewati suka dan duka bersama, hingga tiba lah dilema besar dalam persahabatan kami, yaitu perasaan.

Entah sejak kapan perasaanku muncul untuk Levi. Yang pasti, aku menyukai kehangatan yang selalu dihadirkannya. Pernah sewaktu aku kehilangan sosok ayah dalam hidupku, Levi hadir memberiku kekuatan dan kehangatan, menopangku saat aku lemah, hingga aku bisa bangkit dari keterpurukan itu.

Waktu demi waktu berlalu, namun perasaanku tak kunjung sirna, justru semakin membesar, membuatku sesak akan beban perasaan yang ku tanggung. Hingga tiba waktu kehancuranku.

Saat hari kelulusan SMA tiba, Levi mengenalkan seorang gadis kepada kami. Ia bilang, bahwa ia dan gadis itu baru saja menjalin hubungan. Levi sengaja tidak menceritakannya sejak awal karena ia ingin menjadikannya sebagai kejutan. Ya, setidaknya kejutan itu berhasil untuk menghancurkan hatiku sehancur-hancurnya.

Saat itu, aku tersenyum seolah-olah bahagia melihat Levi mendapatkan wanita idamannya. Padahal di dalam hati, aku menangis sejadi-jadinya. Anggaplah aku bodoh karena memiliki persaan untuk sahabatku sendiri, tapi siapa yang tidak sedih melihat orang yang disukai, menyukai perempuan lain, bahkan menjadi kekasih.

Selepas hari itu, aku mulai menutup diri dan menjauh dari kedua sahabatku. Aku ingin menguatkan diri dan menata kembali hatiku yang sudah hancur, untuk kembali menghadapi realita, realita bahwa aku masih menyukai sahabatku yang sudah memiliki kekasih. Oh ya, alasanku juga menjauhi Calvin karena aku tidak ingin dia tahu bahwa aku menyukai Levi dan sakit hati karenanya.

Namun tidak berselang lama, mereka berdua menyadari akan tingkahku yang berusaha menjauhi mereka. Tidak tinggal diam, mereka mengajakku keluar dan mulai bertanya akan sikapku. Kami berjalan mengelilingi taman kota yang cukup ramai sore itu. Hingga cuaca yang tadinya cerah mulai berubah gelap, membuat orang-orang yang sedang asyik melakukan kegiatannya pergi mencari tempat tertutup. Sedangkan kami tidak terganggu dengan hal tersebut. Kami lanjutkan langkah kaki mengitari taman.

Sepanjang jalan, Levi terus bertanya alasanku menutup diri dan menjauh. Aku hanya mengelak bahwa aku tidak menjauh dari mereka. Namun sepertinya Levi tidak mempercayai alibiku. Kemudian, ia memegang kedua pundakku, menatap dalam ke mataku dan berkata, "aku mau kamu jujur, apa kamu menjauh karena aku punya pacar? Apa Karin membuat mu tidak nyaman? Apa yang dia perbuat sampai kamu merasa tidak nyaman?

Entah mengapa, emosiku tersulut saat ia mengucap nama kekasihnya. Tanpa berpikir panjang, ku balas ucapannya, "iya, semua karena perempuan itu! Aku sudah ada disamping kamu sejak kita baru masuk SMP sampai lulus SMA. Tapi kenapa? Kenapa dia yang jadi kekasihmu? Bukankah dia orang asing yang baru saja masuk ke kehidupanmu?"

Levi terdiam, memandangku dengan tatapan tidak percaya. Ia mulai melepaskan genggamannya pada bahuku dan bergerak mundur. Dengan suara pelan, ia berkata, "kita hanya sebatas sahabat, Nin, tidak lebih." Ucapannya terdengar dingin dan tegas, seakan tak ada lagi harapan untuk perasaanku.

Levi membalikkan badannya dan melangkah pergi, tanpa melihatku yang sedang hancur untuk kesekian kalinya.

Rintik hujan mulai berjatuhan dengan halus, ku dengakan kepalaku menatap awan hitam, menarik napas secara dalam dan menghembuskannya perlahan, berharap sesak di dadaku hilang. Aku memejamkan mataku, meresapi dinginnya udara yang menusuk hingga ke tulang, membiarkan air hujan membilas air mataku yang turun tanpa aba-aba. Kini aku kehilangan 2 sosok sekaligus, sahabat dan pujaan hati.

Ku tatap langit dengan sendu, menangis bersama hujan yang kian menderas, guntur pun mulai bersautan seakan meredam suara tangisku yang semakin terisak. Sepertinya langit pun tahu betapa hancurnya aku saat itu.

Aku merasakan hujan tidak lagi membasahi diriku, kemudian terasa usapan lembut di bahuku. Ku dapati Calvin menatapku dengan tatapan sendu, ia berkata, "kamu tidak sendiri, ada aku disini, tempat kamu kembali,"  kemudian timbul senyuman lembut yang menenangkan.

Ku luapkan segala emosi yang ku rasakan saat itu, meraung seperti anak kecil yang tidak terima mainannya dirampas orang lain, namun Calvin dengan sabar mendampingi dan menenangkanku, dia bilang, "andai kamu peka dengan sekitar, kamu tidak akan merasa seperti ini sekarang," namun aku tidak paham makna dibalik kalimat tersebut.

Sejak kejadian itu, kami melanjutkan hidup masing-masing. Kami mulai memasuki dunia perkuliahan di universitas yang berbeda. Aku memasuki jurusan sastra, dan Calvin memasuki jurusan ilmu ekonomi. Sedangkan Levi, aku tidak terlalu tahu tentangnya, sudah enam tahun kami tidak berkomunikasi. Tapi Calvin bilang, Levi melanjutkan pendidikannya di jurusan penyiaran atau broadcasting.

Hubunganku dengan Calvin semakin dekat. Bahkan banyak orang bilang kami seperti sepasang kekasih. Kami berdua tidak mempermasalahkan hal tersebut. Calvin bilang, "biarkan mereka memikirkan apa yang mereka mau. Lagipula, kita tidak tahu apakah kita akan menjadi sepasang kekasih, atau tetap menjadi sahabat di masa depan," dan aku pikir itu ada benarnya juga. Perasaan bisa hadir kapan saja, dimana saja, dan dengan siapa saja, bahkan dengan sahabat sendiri.

Apalagi, aku dan Calvin telah melalui banyak hal bersama. Ia banyak membantu ku di masa-masa sulit, terutama saat aku dicampakkan oleh Levi.

Kini aku tahu makna kalimat Calvin saat itu. Rupanya ia telah memendam perasaan padaku sejak kami duduk di bangku SMA tingkat dua. Dan benar, jika aku peka pada sekitar, aku pasti dapat tahu perasaannya saat itu juga, karena sebenarnya perhatian yang diberikan Calvin jauh lebih besar dibandingkan perhatian yang Levi berikan kepadaku. Namun saat itu, aku hanya terfokus pada Levi dan tidak memerdulikan yang lain.

Meskipun aku sudah tahu perasaan Calvin, aku menghadapinya. Walaupun untuk saat ini aku belum bisa membalas perasaannya, setidaknya aku tidak kabur bagaikan pecundang yang mencampakkan ku. Terlalu banyak andai di benakku yang tertuju untuknya, namun mau tak mau aku harus mengabaikan hal tersebut, dan hanya akan membuka kembali luka lama yang hampir sembuh.

**

Calvin baru saja tiba tepat setelah aku menyelesaikan ceritaku. Ia memandangku sambil tersenyum hangat, kemudian meletakkan tangannya di puncak kepalaku dan mengusapnya pelan. "maaf aku terlambat, jalanan sedikit ramai dari biasanya," aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya, dan mengalihkan pandanganku ke jendela, memandang hujan yang belum mereda.

Banyak kenangan yang ku miliki saat hujan. Hujan seakan turun membawa luka baru untukku, namun disaat yang bersamaan, hujan meluruhkan rasa sakit yang kurasakan. Hujan memang terasa dingin awalnya, namun jika menikmatinya bersama orang yang tepat, dinginnya hujan akan kalah dengan kehangatan yang diciptakan orang tersebut.

**

TAMAT

When the Rain ComesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang