Fatimah sangat kasihan pada Eadgard. Setiap kali Lufius datang berkunjung, pasti semua pekerjaan rumah mulai dari mengepel sampai memasak Eadgard sendirilah yang mengerjakan. Walau bagaimana pun, Fatimah sendiri tidak biasa berdiam dan menatap saja, dia selalu ingin membantu sang Paman. Yah, setidaknya untuk beberapa pekerjaan ringan dan singkat dikerjakan.
Tapi Eadgard selalu menolaknya. Keluar dari kamar, hanya akan membuat Fatimah dalam bahaya. Terkadang, kehadiran Lufius itu memang sulit untuk diprediksi. Jika sebelumnya Eadgard melihat Lufius sedang asyik menonton tv, beberapa detik kemudian sang Tuan sering mendadak muncul di belakangnya dan mengagetkannya.
Benar-benar tentara terlatih yang berjalan saja sering tidak menimbulkan derap kaki. Salah satu kelebihan yang dia punya. Berjalan tanpa suara. Itu menjadi penyebab kenapa selama ini dia sering menyelesaikan misi.
Pantas saja Lufius mendapat banyak penghargaan. Dia bukan hanya cerdas dalam mengatur strategi perang. Dia memiliki kemampuan, dan fisik yang sangat mengagumkan. Banyak wanita yang datang menggodanya, ingin menghabiskan waktu dengannya walau Satu malam saja. Sayangnya Lufius selalu menolak mereka. Bahkan, Eadda, gadis cantik dan berasal dari keluarga terpandang di Negaranya saja tidak pernah sekali pun mendapatkan lirikkan tertarik dari pujaannya.
Walau Lufius tahu Eadda sudah mengeluarkan segala kekuasaannya untuk menjemputnya dari Gaza Satu tahun lalu, pengorbanan gadis itu sama sekali tidak membuahkan hasil.
Lufius berhati dingin. Dia terlalu kaku, dan tidak peka sama sekali.
"Makanlah Fatimah binti Ikram, jangan disisakan. Paman baik-baik saja." Eadgard, lelaki yang usianya menginjak empat puluh tahun lebih itu tersenyum manis. Dia meletakkan nampan yang terdapat piring dan gelas di atasnya di meja kayu kamar Fatimah. Fatimah yang tengah duduk di atas kasurnya mendongak, dia menatap sang paman sedih.
"Katakan, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu Paman?" Fatimah merengek. Walau bagaimana pun, dia memang masih berusia Tujuh Belas tahun. Eadgard sesekali memaklumi sikap labilnya. Seharusnya, gadis seusianya justru mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya. Fatimah memang kadang manja.
Dia akan sesekali merengek pada Eadgard.
"Cukup diam, dan jangan pergi ke mana pun." Eadgard menggeleng. Dia melirik kamar mandi di gudang yang kini menjadi kamar Fatimah. Kamar mandi itu dibangun diam-diam beberapa bulan yang lalu. Lufius sama sekali tidak tahu. Sengaja Eadgard membangun kamar mandi di sana, agar disaat-saat seperti ini, Fatimah benar-benar tidak perlu meninggalkan kamarnya.
Untuk masalah makan. Setiap sehari Tiga kali Eadgard akan mengantarkannya makanan, minuman juga beberapa camilan agar Fatimah tidak bosan. Bisa disimpulkan, selama Tuannya tidak memeriksa gudang, keberadaan Fatimah selama Eadgard hidup akan tetap aman.
"Tapi Paman terlihat lelah sekali." Fatimah memasang wajah sedih.
"Tidak apa-apa." Eadgard mengelus jilbab hitam yang membungkus kepala Fatimah. Jilbab itu panjangnya nyaris menutupi pinggulnya. Membalut tubuhnya yang mungil. "keselamatanmu yang utama." Mungkin ini benar-benar naif, tapi Fatimah memang sudah seperti puteri kandungnya sendiri. Eadgard tidak menikah. Dia akan sendiri seumur hidupnya.
Karena itu, kehadiran Fatimah benar-benar menjadi warna untuknya. sikap manis dan cerianya, memberikan sentuhan manis untuk dunianya yang selalu monokrom.
"Habiskan makananmu, nanti Paman akan mengambil piring kotor, bersabarlah. Tuan di sini hanya sebulan."
Fatimah mengangguk, dia membiarkan saja saat Eadgard beranjak meninggalkan kamarnya, menutup pintu hati-hati, dan menghilang dari pandangannya. Fatimah mengambil nampan yang dibawakan Eadgard tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fatimah's Blue Eyes (Tamat)
RandomSEBAGIAN CERITA INI SUDAH DIHAPUS DARI PEREDARAN WATTPAD *** Di tengah perselisihan panas antara Israel dan Palestina. Lufius Abigayle, seorang Letnan dari pasukan pengintai elite sayeret matkal yang dikenal berhati dingin justru jatuh cinta pada Fa...