Prolog

11 4 0
                                    

Ketika pagi tengah berpelukan dengan mendung, menghadirkan hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Orang lain mungkin tengah sibuk berkutat di bawah payung atau bahkan masih menggeliat di balik selimut. Namun, karena tuntutan janji, Aruni rela menerobos hujan dengan jas hujan pinguin milik adik tirinya. Beruntunglah tubuhnya yang mungil dapat bekerjasama dengan ukuran jas hujan anak-anak.

“Tadi janjinya jam berapa?”
Aruni tertawa geli melihat tatapan kesal dari Bima, tunangannya. Laki-laki yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sepertinya dia sudah menunggu kedatangan Aruni sejak tadi.

“Maaf, deh. Tadi aku kesulitan makai jas hujannya,” kata Aruni sembari menunjuk jas hujan yang sudah menggantung di tempat jemuran.
Bima menghela napas. “Kamu nggak bosen berantem sama adik kamu. Udah berapa kali jas hujannya jebol gara-gara kamu?” tanyanya garang. Ya, meskipun ia sendiri pun tahu bahwa kekonyolan itu tidak hanya dilakukan dua atau tiga kali.

“Iya-iya, maaf lagi. Udah marahnya, ya. Aku bawain pisang goreng sesuai pesanan kamu,” kata Aruni sambil mengangkat kantong plastik putih di tangannya.

Seketika itu pula, binar kegembiraan memenuhi bola mata Bima. Ia menarik tangan Aruni untuk masuk semakin dalam ke toko tanaman miliknya. Untuk apalagi jika bukan menyantap pisang goreng yang dibawakan Aruni untuknya.

“Aku gantiin jaga di depan, ya.”
Bima mengangguk.

“Selamat makan, Sayang,” bisik Aruni sembari mengecup pipi Bima sekilas. Lalu, ia kembali ke bagian depan toko untuk mengantisipasi apabila ada pelanggan yang datang.

Angin yang berhembus menyertai turunnya hujan membuat daun-daun dari semua tumbuhan di toko ini bergoyang seperti diiringi musik. Aruni selalu menikmati kegiatannya di sini. Bersama dengan banyaknya jenis tumbuhan beserta ketenangan yang begitu terasa ketika ia singgah di tempat ini.

Berbagai macam bunga ada di tempat ini. Jika ada orang yang memesan buket bunga pun, Bima akan menerimanya dengan senang hati dan langsung merangkai secantik mungkin. Sayangnya, secantik apapun Bima merangkai bunga, Aruni hanya akan tersenyum ketika laki-laki itu menanyakan pendapatnya.

Jangan lupa bahwa Aruni tidak menyukai bunga. Justru daun-daun lebih menarik di mata Aruni daripada bunga warna-warni dari berbagai kingdom dan aromanya.

“Beb, aku mau balik ke apartemen buat nyiapin obatnya Oma. Kamu di sini dulu, ya, sampai Paul atau Sharon dateng. Nggak apa-apa, kan?” tanya Bima begitu ia datang menghampiri Aruni di bagian toko yang paling depan.

“Kenapa nggak disiapkan tadi sebelum berangkat ke sini?*

Bima memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. “Lupa,” katanya disertai cengiran.

Aruni menghela napas. Ia mengibaskan tangannya meminta Bima segera berlalu dari hadapannya. Kadangkala sifat Bima yang pelupa membuat Aruni geram ingin memukulinya dengan gagang sapu. Bagaimana bisa laki-laki itu lupa mempersiapkan obat untuk Omanya yang buta huruf. Hal yang seharusnya tidak boleh dilalaikan.

“Tuh, bawa aja jas hujan punya Bayu.”
Bima menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Aruni dengan ekspresi yang menggemaskan. “Mana muat, Ar. Emang badanku sekecil kamu apa?”

Bersamaan dengan menghilangnya tubuh Bima, perhatian Aruni teralihkan oleh ponsel yang berdering dari dalam tas kecil miliknya. Aruni pun menggeledah tas itu dan mengeluarkan ponsel yang masih berdering. Ia pikir, seseorang meneleponnya. Ternyata tidak.
Sebuah notifikasi pengingat dari kalender. Aruni terpaku menatapnya. Bahkan perasaannya begitu campur aduk menjadi emosi yang membingungkan.

Delapan tahun yang lalu. Ketika dirinya membuat perjanjian dengan seseorang, Aruni tidak ingin menerima risiko kelupaan untuk tanggal penting itu. Sayangnya, dia memang kelupaan. Jika saja pengingat itu tidak ada, mungkin hari itu tidak pernah disadari Aruni.

Bagaimana kabarnya? Batin Aruni bertanya-tanya.

Saat itu ia masih berbalut seragam putih abu-abu, ketika bertanya, “Kapan lo balik, Ar?”

“Gue berharap bisa balik. Tapi, gue nggak punya alasan lagi untuk kembali ke Indonesia. Mungkin satu kali. Delapan tahun ke depan, tanggal 12 September kita ketemu di Diandra Fashion.”

Aruni ingat senyum yang terulas di bibirnya. Senyum menawan yang terpancar untuk menutupi kepedihan. Ya, karena dirinya pun demikian. Saat itu mereka membohongi perasaan masing-masing. Tersenyum seolah-olah perpisahan itu tidak meninggalkan bekas apapun.
Namun, kalimat selanjutnya membuat Aruni sadar bahwa ia memang tidak harus melakukannya.

“Tapi, kalau delapan tahun ke depan kita udah nggak sendiri lagi, jangan datang.”

Aruni sudah memiliki Bima dalam hidupnya. Laki-laki itu selalu bisa menghargai perasaan Aruni. Apakah pantas jika dia memutuskan datang menemui seseorang dari masa lalu?

To Be Continued

#SalamSemanisCoklat

Biar ada pait-paitnya. Yang penting enak. Hehe

Selamat datang di cerita membosankan ini. Jika kalian suka, tolong jadi orang baik, ya. Orang baik yang membantu mendukung Cim dengan semangat, vote, comen, saran, dan share ke teman, ayangbeb, atau siapapun sebanyak-banyaknya. Share ke mantan juga boleh.

Mau follow ig pun boleh sangat.
IG: cim.rika1234 (Note: sewaktu-waktu bisa di private atau non private, tergantung keinginan pemilik akun.)

Terimakasih orang-orang baik yang sudah baca cerita ini. Doa baik untuk kalian. Aamiin.

Dadah.

The Other Side of Ar (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang