1. Ambisi dan Pacar Sempurna

23 1 0
                                    

07.31 KST. 04°C
Seoul, Korea Selatan.

"Kamu yakin, sudah siap untuk sidang?" Ki Joon memelukku. Memberikan kehangatan di pagi hari yang menurutku sedikit kacau. Rambutku begitu berantakan, bahkan aku baru bangun ketika Ki Joon mengetuk pintu apartement studio milikku, mengirimi sarapan. Belajar sampai pukul satu malam dan harus bangun sepagi ini. Pukul tujuh pagi. Benar-benar waktu yang terlalu pagi di musim dingin ini.

Untung saja aku memiliki pacar sempurna yang mau kurepotkan, membantuku menyiapkan segala hal untuk pagi yang begitu membuat jantungku berdetak kencang. Untuk mengawali hari yang begitu penting untukku. Sidang tesis! Inilah tujuan akhirku menginjakkan kaki di sini.

"Jangan lupa pakai syal, aku tahu kamu hidup di negara tropis. Tapi yang namanya musim dingin tetaplah dingin. Nanti kamu terkena flu." Ki Joon menatapku khawatir. Meski jarak kampus dengan apartement tidak begitu jauh, perhatiannya seperti aku akan pergi ke Busan saja.

"Gomawo chagiya." jawabku dengan senyum manis. Ki Joon menciup keningku. Aku tersenyum, begitu bersyukur dengan banyak kebahagiaan yang kumiliki. Hidup di negara orang dan mendapatkan kekasih yang begitu menyayangiku. Laki-laki berusia 30 tahun yang begitu tampan. Meski memiliki mata yang sipit seperti warga setempat, bahu Ki Joon begitu lebar.

Aku mengenal Ki Joon dua tahun yang lalu. Itu adalah awal aku melangkahkan kakiku di negara asing. Negara pertama yang tertera di pasportku yang baru saja tercetak beberapa bulan sebelum aku terbang ke sini. Ke Korea Selatan, negara dengan pusat kebudayaan dan fashion. Negara idaman para K-popers.

Awal aku ke Korea begitu panjang, menemukan seseorang yang mau memberiku kesempatan untuk lebih bisa meningkatkan diri. Lalu menemukan banyak hal baru di sini. Semuanya, terasa begitu menyenangkan bila dikemas dalam kisah inspirasi. Ah, tidak sih, masak dibiayain orang tua angkat termasuk prestasi? Itu kan hanya sebuah keberuntungan.

Tapi, tetap saja, bagiku bertemu Jang Ki Joon adalah prestasiku, seseorang paling sempurna yang pernah kutemui. Kisah manisku bermula sejak berjumpa dengannya.

Jang Ki Joon, menyapaku ketika aku kebingungan mencari alamat apartement yang kusewa. Karena pengetahuanku pada huruf hangeul kurang bagus. Aku kesusahan mengeja huruf-huruf asing itu.

"Chogiyo?" Jang Ki Joon, menyapaku untuk pertama kali. "Ada yang bisa saya bantu?" ketika ia menggunakan bahasa Korea. Aku mendadak gagu.

"Eungg... Yeogi-yo. Aaa jeoseonghamnida. Igeneun..." aku menunjuk secarik kertas yang kubawa. Aku terbata, mengingat sedikit-sedikit bahasa Korea yang kubisa. Bahkan aku menyerahkan secarik kertas milikku. Takut ia tidak paham kalimat yang kukatakan.

Ki Joon mengangguk-angguk membaca teks yang kupunya. Secarik alamat calon tempat tinggalku. "Naega arayo. Gachigayo!" sahutnya dengan pelan. Sepertinya ia tahu aku tidak mahir bahasa Korea. Maka dengan gerakan isyarat ia mengajakku menuju alamat yang ia beri.

Hanya menaiki beberapa undakan, Ki Joon menunjukkan satu gedung apartemen padaku. "This is, your apartement." jawabnya dengan bahasa Inggris. Aku kaget, ternyata ia menyadari bahwa aku cukup kesulitan menggunakan bahasa negara ini. Terima kasih banyak untuk kekasihku saat itu.

"Khamsahamnida!" aku menundukkan badanku setengah. Mencoba menggunakan body language yang negara ini gunakan. Tandanya aku menghormatinya.

"Aa! My name is Jang Ki Joon. You can call me, Ki Joon." ia berbalik, seperti ada yang kurang dengan pertemuan ini.

"Nae ireum Deana Rana!" Aku menjawabnya dengan bahasa Korea. Kalimat yang ternyata itu adalah ungkapan banmal, atau kata yang ternyata hanya digunakan oleh orang yang akrab—padahal ini awal pertemuanku dengan Ki Joon. Ki Joon tersenyum.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hello, RealityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang