Chapter 2

842 103 109
                                    

*Cerita ini terinspirasi dari lirik lagu diatas.

.

.

.

"Apapun yang terjadi jangan menangis, karena suatu saat kita akan bertemu kembali.

Jangan takut, hapuslah air matamu. Cinta bukanlah sesuatu yang membuat kesepian.

Mari terus melangkah. Aku harap, kau dapat terus hidup demi seseorang."

-Majik Monkey/Eden-

.

.

.

Dentuman dua botol air mineral dalam genggaman, mengiringi manik lelaki bersurai merah itu untuk memperhatikan suasana sekitar.

Tak pernah terpikirkan ia dapat menghabiskan air di dalamnya sekaligus. Kerongkongannya terasa begitu kering. Ia pun dapat merasakan serak suaranya jika membuka mulut.

Suara gaduh dari sirine kendaraan beroda empat itu mengalihkan fokusnya.

Menatap lurus mobil ambulan yang baru saja tiba dan berhenti tak jauh darinya. Dua perawat turun dengan tergesa dari dalam ambulan. Mengeluarkan dan mengantarkan pasien yang terlihat kritis itu.

Lalu mobil lainnya datang. Menurunkan empat orang dengan air muka panik. Berlari mengejar pasien yang telah lebih dulu diantar masuk ke dalam gedung beraroma obat di sekitarnya.

Riku, meremas dua botol mineral di masing-masing tangannya. Teringat ketegangan beberapa waktu lalu yang hampir membuatnya tak sadarkan diri. Jantungnya dipaksa berdetak dua kali lebih cepat. Oksigen seakan musuh baginya saat itu. Menolak untuk dimasukan dan berganti menghirup anyir yang tertinggal di udara.

Riku meluruskan kaki. Membenarkan posisi duduknya pada kursi di depan gedung rumah sakit. Mengangkat tangan untuk menyentuh permukaan pipinya yang masih lengket. Namun, tidak ada lagi aliran air mata di sana.

Kesedihan itu berganti kekosongan.

Perasaannya hampa.

...setelah keadaan bersikap egois dan menginginkannya untuk memilih hal tidak logis.

Riku kini merasa menjadi orang paling jahat.

Ia lebih memilih 'kabur' dari hadapan teman-temannya yang tengah menunggu proses 'pemindahan organ' itu berlangsung.

"Cih," Riku berdecih. Mengacak surai depannya setelah melepas dua botol mineral dalam genggamannya jatuh bebas. Lalu ia meringkukan tubuh. Membiarkan emosi yang tertahan di dada mengetuk dirinya. Berusaha untuk dikeluarkan. "...kumohon jangan," Riku mengelus dadanya sendiri. "Tunggulah hingga tidak berada di tempat umum lagi," Ia lalu menolehkan kepala kearah salah satu jendela kaca rumah sakit yang memantulkan sosok dirinya. "Setelah kau sendiri, kau bebas melakukan hal gila sekalipun, Nanase Riku. Bertahanlah. Hanya untuk sekarang." Ujarnya, menunjuk pantulan dirinya sendiri untuk sesaat.

Udara dingin mulai menghampiri. Riku hanya memiliki satu lapis baju yang membalut dirinya saat ini. Panik membuatnya lupa jika ia memiliki penyakit.

Tubuh ramping itu ringkih.

Sialan.

Ternyata... tak semua orang berpenyakit akan selalu 'pergi' lebih dulu.

Riku jauh lebih beruntung.

Choice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang