chap 01

9 1 0
                                    

Setelah berbulan-bulan Shei merasa tertekan dalam bekerja, ia mulai memikirkan untuk resign dari perusahaan tersebut. Shei mulai mencari-cari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya. Hingga sahabatnya Shei yaitu Vita merekomendasikan sebuah perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan kerja sama dengan perusahaan tempat Vita bekerja.

Setelah mendapat rekomendasi dari Vita, Shei pun mulai mencari tau tentang perusahaan itu. Selama mencari tau tentang perusahaan tersebut, Shei mulai tertarik dan langsung membuat surat lamaran kerja. Setelah selesai membuat CV, Shei langsung menghubungi bundanya.

"Halo bun, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, Alin. Ada apa nak? Alin sehat?"

"Alhamdulillah sehat bun, bunda sama ayah sehat?"

"Sehat semua Alhamdulillah. Ada apa Alin? Kamu mau pulang kesini?"

"Bukan bun. Alin mau bilang kalau Alin bakal resign."

*Saat di rumah, Shei memang dipanggil dengan nama depannya yaitu Alin atau Alina*

Mendengar Shei berkata seperti itu, bundanya pun tak banyak tanya dan memilih untuk mendengarkan serta memberi saran yang terbaik.

"Alin udah gak kuat di kantor bun. Kawan-kawan Alin di kantor udah mulai gak baikan bun. Awalnya masih Alin anggap bercanda, tapi lama-lama Alin sadar kalau mereka serius sama apa yang mereka lakukan dan mereka bilang. Alin udah coba mengesampingkan perasaan pribadi Alin karena berusaha untuk bersikap profesional. Tapi ternyata mereka ngelakuin itu semua karena mereka ambil muka biar diliat sama atasan. Atasan Alina emang suka dengan kerjaan Alin, tapi mungkin karena Alin gak jago ambil muka jadinya yang selalu diliat sekarang ini ya mereka. Bahkan kerjaan Alin gak pernah dihargai. Mereka seenaknya ngaku-ngaku kalau kerjaan yang Alin buat itu buatan mereka sendiri. Alin makin lama makin sakit hati bun. Alin gak salah kan bun?"

Shei menceritakan masalahnya sambil menangis terisak. Mengingat betapa kerasnya perlakuan rekan-rekan kantornya terhadap SHei.

"Gapapa nak. Hal seperti itu memang wajar dalam dunia kerja. Kita mau gak mau, suka gak suka ya harus ambil muka biar atasan ngeliat kerjaan kita. Apalgi sekarang ini harus ada yang namanya orang dalam. Kalau gak punya orang dalam ya kamu gak bakal bisa kerja dimana pun. Kalau keputusan kamu sudah bulat untuk resign, bunda dan ayah cumin bisa berdoa ke Allah untuk minta yang terbaik buat kamu. Kalau kamu resign, kamu udah ada pengganti pekerjaan kamu?"

"Udah bun. Alin udah cari perusahaan lain yang sesuai sama bidang Alin. Barusan Alina siap bikin surat lamarannya. Insyaallah nanti masuk disana bakal dibantu sama Vita."

Shei dan bundanya pun berbincang panjang hingga larut. Saat telefon dimatikan, Shei menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya secara kasar.

Dia pun terduduk melihat pemandangan malam dengan lampu-lampu kendaraan yang masih berlalu lalang. Ditangannya sudah terpegang surat pengunduran diri yang sudah dibungkus dengan amplop putih. Shei bermenung memandangi langit sembari mendengar suara klakson kendaraan. Memandangi para anak jalanan yang tertidur di depan toko dan para tunawisma yang sedang duduk memandangi jalan sambil merenungi nasib.

"Kerasnya hidup." Pikir Shei sambil berbalik badan masuk ke kamarnya.

Esoknya, Shei pergi ke perusahaannya terlebih dahulu untuk membereskan barang-barangnya serta memberikan surat pengunduran dirinya. Tentunya ada yang merasa sedih dengan rasa tulus dan adapula yang bermuka dua. Namun Shei menguatkan hatinya untuk pergi. Karena Shei memiliki prinsip "Kamu akan dihargai jika berada ditempat yang tepat. Jika orang-orang sekitarmu tidak menghargaimu, kamu bisa pergi tanpa rasa bersalah karena tempat mu bukanlah disitu."

Setelah mengemasi barang-barangnya, Shei langsung pergi menemui Vita di sebuah halte bus. Terdapat bangunan yang besar berdiri tepat dibelakang halte bus itu.
Panas matahari yang terik membuat Shei menyipitkan matanya sembari melihat bangunan yang menjulang tinggi itu. Dengan pelan Shei melangkah masuk ke dalam gedung itu sembari mengucapkan bismillah dan menyemangati dirinya. Detak jantung tak kian melambat membuatnya panik sehingga bibirnya pun terlihat pucat.

KlandestinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang