2. Candu

48 9 6
                                    

"Kata Marx, agama itu seperti opium. Bikin candu bagi pengikutnya."

Sedikit ku lirik mimik wajahnya melalui sudut mata kiriku. 

"Terus?" ucapnya datar. "Udah ketebak kalau kalimat selanjutnya, "Sama seperti senyumanmu yang buat aku ngerasa ketagihan." Kamu udah sering ngomong gitu, ratusan kali kalau diitung."

Aku tersenyum seraya memainkan helaian rambut hitam legam kepunyaannya. Membuat semerbak harum sampo yang ia gunakan menerobos indra penciumanku.

"Aku mau foto di sana," tunjuk jari mungilnya. 

Aku mengikuti arah yang ditunjuk Hanna. "Oo, senduro. Ayo ke sana."

Meninggalkan Yedam dan teman-temannya yang masih menikmati panorama matahari terbit, kami berjalan pergi menuju keberadaan bunga tersebut.

Edelweis, begitulah orang menyebutnya dengan familier. Rupa sang kembang memang teramat menawan seperti namanya. Saking menakjubkannya, larangan memetik tubuh elok sang bunga termasuk perintah mutlak bagi para pendaki untuk dipatuhi.

Hanya saja, beberapa sampel manusia dengan tangan jahilnya terlalu merasa jumawa untuk mencuri keindahan surgawi itu. Sangat disayangkan, bukan telah merusak tubuh alam? 

"Jangan dipetik, ya," ujarku pada Hanna yang mendapat balasan seulas senyuman.

Ah, senyum kapitalis lebih tepatnya. Namun, reaksi organ jantungku tetap saja berdebar hebat. 

Ku lihat, tangan mungilnya cukup terampil memainkan ponsel untuk mengambil angle kamera yang sempurna. 

Sesekali ponselnya terjatuh, namun cekungan bibirnya tidak pernah memudar. Semakin menjadikan paras wajahnya bersemu merah karena menahan amarah. Anehnya, diriku tertawa kecil akibat tingkah menggemaskan wanita itu.

"Mau aku bantu fotoin?" tawarku melihat kesusahan yang ia alami.

Hanna menggelengkan kepalanya, membuat poni pagar di dahinya turut bergoyang. 

"Hyunsuk mau foto bareng? Stok foto kita hampir nggak ada, lho."

Hanna merajuk manja. Dalam tangkapan bola mataku, raut ekspresinya terlihat begitu sayang untuk diacuhkan. 

Hampir saja aku dibuat gila olehnya. Atau mungkin sudah tidak waras karena manusia bernama Hanna Yoo ini?

Agaknya benar jika aku menduga diriku sendiri termasuk segelintir manusia yang sulit menaruh hati pada orang lain. Pasalnya, Tuhan memberkatiku sifat berlebihan alias lebay ketika di fase mabuk asmara. Seperti saat ini, misalnya. 

Entah suatu hal yang perlu aku syukuri atau keluhkan.  

 "Tapi nggak perlu diunggah. Cukup dijadiin dokumentasi pribadi aja, ya."

"Oke," dia menanggapi kalimatku secepat kilat. Sedetik pun tak perlu ia butuhkan untuk memikirkan jawabannya. 

Satu, dua, tiga. 

Kami berhasil mengabadikan satu foto yang bisa dibilang cukup sempurna. Di mana titik pelengkap kesempurnaannya berada tepat di sampingku. 

Dia sedang tersenyum manis ketika bola matanya menangkap hasil jepretan kamera tersebut. Tak sadar, bibirku ikut terangkat membentuk cekungan samar. Terasa membahagiakan ketika seulas senyuman Hanna terbentuk dengan menjadikan aku sebagai salah satu alasan dibaliknya.  

Akan tetapi, Hanna mungkin saja tidak menyadari jika sosoknya seribu kali lebih cantik dari gerombolan bunga yang ada di depan penglihatannya.

Sudahlah, aku merasa sangat geli dengan diriku saat ini. Ditambah dengan perasaan kupu-kupu terbang yang tengah berhamburan di perutku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LINDAP -- Choi Hyunsuk's StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang