Mr. Thomas di Meja Kasir

24 11 27
                                    

Kemarin, diriku baru saja menyaksikan kejadian yang susah untuk dijelaskan panjang lebar kepada Stacy--atau orang normal mana pun di Amerika. Kejadiannya terjadi begitu cepat dan dipenuhi bising klakson hingga aku sendiri sukar sekali untuk menegak semua informasi yang terjadi.

Beruntung--ajaibnya--, aku mendapat informasi dari seseorang di blok depan. Katanya, seorang wanita perusahaan tertabrak sedan di dekat halte bis kemarin siang. Namanya tidak disebutkan, tetapi aku berani bertaruh kepala jika yang dimaksud bukan Rebecca Denver.

Pengendara mobilnya sudah ditangkap. Perihal dinyatakan bersalah masih abu-abu. Kemudian hingga saat ini, tidak ada yang menyuruh membawa diriku ke pengadilan sebagai saksi. Untuk kelanjutan ceritanya, aku juga tidak mau dengar.

Yang pasti, kemarin Rebecca tertabrak mobil. Tidak sampai mati. Namun, tulang patah masih memiliki probabilitas. Luka-luka di punggung dan pelipis apalagi.

Jujur saja, aku tidak ingin mendapat masalah. Juga, ditimpa kesialan tidak akan mengisi ulang stok keberuntungan per minggu milikku. Namun apa daya, hari ini, seorang pria jangkung pucat dengan cekungan hitam lebar dalam naungan kedua matanya yang sayu dan kulit pipi yang susah untuk terangkat tiba-tiba mendatangi Shally's Salon. Fakta bahwa kepalanya hampir botak tetapi janggutnya bisa tumbuh sampai ke dada sudah bisa membuatku cekikikan dan berhenti sebelum terpingkal karena melihat ancang-ancang Stacy untuk melempari pengering rambut.

Namun, sedikit yang kutahu bahwa dalam sepersekian detik ke depan, cekikikan ini akan berubah menjadi sebuah desahan berat.

"Stacy. Pemilik Shally's Salon. Kau?"

Lalu kulihat Stacy berlagak bodoh sebelum mendatangi siapa pun pria botak tersebut. Wanita hidung besar itu bahkan sempat-sempatnya membawa serta seperangkat cat rambut ketika mendekati meja kasir.

Kali ini, Stacy hendak berbohong dan mengelak. Atmosfernya tidak mendukung untuk membuat sebuah pengakuan. Namun, bagaimanapun juga, Stacy lupa menyembunyikan kartu namanya. Besar, terpampang jelas, menggantung dan dijepit kuat pada saku kemeja flanel merah-hitamnya yang berbau sampo anggur samar.

Dan untuk itu, diriku mulai ragu mengenai apakah sikap bodoh yang Stacy tunjukkan sebelumnya adalah drama sabun dadakan Maryland atau memang sifat aslinya di habitat alami.

Seperti apa pun keadaannya, aku akan mencoba bersikap abai. Jika saja ada seorang pelanggan yang datang, akan selamatlah dirimu dari lahapan rasa bosan. Menunggu Stacy berbicara empat mata--sumpah, aku tidak pernah menganggap bahwa diriku memperhatikan percakapan Stacy dan pria ini. Lain cerita kalau ditanyakan perihal menguping. Pembicaraannya berubah menjadi bincang-bincang enam telinga--lebih membosankan dibanding dibawa Mum jalan-jalan mengitari Teluk Brooklyn-Curtis. Dan aku sama sekali tidak suka itu.

"Jadi," Stacy berucap keras-keras. Kepalanya kemudian diputarnya menghadap tempatku. "Kami berdua ingin mendengar lebih banyak darimu, Fortune."

"Aku?" kataku. "Oh tidak, tidak. Aku tidak pintar. Aku hanya lulusan jurusan keguruan. Jangan tanyakan hal-hal ilmiah kepadaku. Aku bersumpah aku tidak tahu apa-apa tentang kandungan cat rambut atau obat untuk memperlambat kebotakan."

Setelahnya pria di sebelah Stacy merengut, merasa tersinggung. Kemudian, ia berkata dalam suara yang pelan dan tidak bisa didengar oleh siapa pun kecuali oleh Tuhan.

Namun, aku bisa tahu apa yang ia bicarakan. Dan untuk yang ini, aku mulai curiga bahwa diriku sebenarnya merupakan titisan Tuhan atau anak malaikat.

"Oh iya maaf, kau tidak botak. Maaf, maaf, tadi sudah menyinggungmu." Stacy hampir saja terkekeh karena perkataan Miss Fortune yang ini jika saja ia tidak ingat tentang masalah apa yang Miss Fortune bawa kepada dirinya.

The Misfortune Life of Miss Fortune Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang