alen

34 4 0
                                    

Kaki itu melangkah, sedikit berlari. Mengejar seseorang yang berada jauh didepan sana. Dari jarak Haekal dan jaevin saat ini, kemungkinan besar potensi Haekal bisa mengejar jaevin sangat mustahil. Jaevin itu berlebihan energi, tidak bisa diam, sudah terbiasa main kejar kejaran begini. Tidak seperti haekal yang mudah lelah, seperti saat ini. Jadi daripada mengejar Jaevin yang sudah jauh di sana, yang sudah tidak terlihat lagi batangnya, Haekal memilih berbalik arah menuju kantin. Ia haus, ingin minum es dan makan bakso. Ah segarnya.

Haekal tidak pernah tau, bahwa memiliki teman seprti jaevin membuatnya serepot ini. Ia yakin, dengan kemampuan mulut ember jaevin pasti kejadian di ruang kesehatan akan cepat menyebar luas, ia tidak mau sampai itu terjadi.

Kasian renjana. Padahal kenyataan tidak ada yang perlu ditakuti, lagian dia kan tidak berbuat macam-macam. Tapi tetap saja, mulut jaevin pasti akan berbicara yang tidak-tidak, selalu dilebihkan lebihkan.

Nafas haekal terengah, mengambil duduk di salah satu bangku kantin. Percuma juga mengejar jaevin. Selain pandai berbohong, jaevin juga pandai berkamuflase. Mungkin sekarang tembok putih dibelakang sana merupakan jaevin yang sedang menyamar, menyamakan warna kulitnya dengan warna tembok. Atau jangan-jangan jaevin sedang menyamar menjadi guru gendut yang sedang berjalan ke arah dimana Haekal duduk. Mata guru itu melotot, ditangan kanannya membawa penggaris kayu. Gawat itu bukan jaevin, itu ibu guru yang tadi memarahi haekal diruang bk berasama alen. Dengan cepat kaki haekal berlari, menjauhi guru gendut yang menyeramkan. kemana saja, asal tidak ketangkap.

Bu Andri dibelakang mengejar, mengancungkan penggaris kayu yang selalu ia bawa kemana mana.

"HAEKAL BERHENTI KAMU."

Kepala haekal menoleh kebelakang, ke arah bu andri. Sebelum melanjutkan larinya, haekal berteriak."NGGA MAU, NANTI SAYA DIHUKUM LAGI." Suara haekal bergema, membuat semua penghuni kelas yang ruang kelasnya berada dilorong koridor menoleh, mencari sumber suara. Mengganggu KBM saja.

Bu andri berhenti, merasa lelah karena mengejar Haekal yang terus berlari dengan cepat. Menghela nafas panjang, tidak habis pikir dengan muridnya yang bernama haekal, dalam satu hari sudah berbuat kesalahan lebih dari satu, padahal baru empat hari yang lalu dia pindah kesini, tapi sudah berani berbuat macam-macam.

Dirasanya bu andri tidak mengikuti haekal, pemuda itu berhenti berlari, nafasnya ngos-ngosan. Tidak jaevin tidak bu andri, sama sama membuat haekal capek. Haekal terduduk disalah satu bangku permanen di sekitar. Memegangi lututnya yang terasa sakit, ini karena dia jarang bergerak jadi sekali dia bergerak terasa sakit seperti ini.

Haekal menghela nafas, ia jadi kepikiran yang tadi diruang kesehatan. Haekal yakin itu suara renjana, tidak ada orang selain mereka berdua diruangan itu. Lagian dari jarak sedekat itu, haekal bisa melihat gerakan bibir renjana. Tapi kenapa renjana selalu menggunakan bahasa isyarat saat berkomunikasi dengan orang lain, apa yang sebenarnya renjana sembunyikan. Ia penasaran. Sok misterius sekali si renjana ini.

Haekal mengacak rambutnya kesal, kenapa terus kepikiran sih, kenapa juga jantungnya ikutan berdebar. Mungkin yang terakhir itu karena haekal habis kejar kejaran, tapi tidak yakin juga, bu andri kan sudah tidak mengejarnya, haekal juga tidak berlari terlalu kencang sampai membuat dadanya sesak, lagian ini sudah hampir limabelas menit dia duduk disini, masa efek capeknya tidak hilang hilang. Dan yang ini terasa berbeda, terasa menenangkan dan terlalu menyenangkan, membuat bibir haekal melengkung keatas. Tidak tahu sebabnya, yang pasti haekal ingin terus tersenyum.

...

Di lain tempat, renjana merasa terancam. Setelah kepergian haekal, tiba-tiba pintu ruang kesehatan dibuka oleh alen, menghampiri ranjang renjana dengan tatapan mata marah dan mengancam untuk tidak berbuat macam-macam. Padahal disini, justru alen yang berbuat macam-macam kepada renjana. Alen mencekiknya. Sampai renjana tidak bisa bernafas. Meluapkan rasa marahnya dengan renjana yang tidak tahu apa-apa. Mungkin Alen begini karena kejadian tadi pagi, saat dirinya dan Haekal saling beradu tinju. Tapi saat kejadian kan renjana hanya diam.

Sakit, renjana tidak kuat. Dia tidak bisa bernafas. Air mata itu jatuh, tidak lagi, renjana tidak ingin terlihat lemah dimata orang yang dia benci. Alen itu seperti penjahat dimata hitam bening renjana. Dia itu moster, renjana benci monster. Sudah cukup selama ini renjana diam, renjana lelah dengan semua ini. Terus dirundung tanpa tau letak kesalahannya. Renjana ingin hidup normal, seperti kebanyakan orang.

Maka dengan sisa tenaga yang renjana punya, dia menghentakan tangan yang berada dilehernya. Membalas tatap tajam alen yang sedang mengatur nafasnya. Yang ditakuti Alen terjadi, renjana yang sekarang sudah berani membalas perbuatannya.

Tangan alen berganti mencengkram lengan renjana, membuat renjana meringis, berusaha melepaskan cengkraman itu dari lengannya. Memerah dan berbekas, bibir renjana meringis.

"Kalau kamu dateng kesini cuman buat bunuh aku, mending pergi aja." Mata itu saling menatap, hanya ada keheningan. Alen tidak pernah berfikir renjana akan begini, membalas tatapannya dan berani melawan. Ia yakin, ini pasti ada campur tangan pemuda yang tadi pagi ia tonjok bibirnya. Alen menggeram tidak terima. Harusnya renjana tidak begini, tidak boleh begini. Dari awal Alen mengganggu renjana, tidak pernah satu kali pun renjana berani melawan dia.

"aku bisa bunuh diri aku sendiri, kalau kamu lupa."

Ada yang aneh dari Alen, tatapan mata itu makin menajam, renjana merasakannya, tidak nyaman. Badan alen mencondong kearah renjana.

Rahang renjana dicengkram dengan kuat."Lo sekali lagi berpikir dangkal kaya waktu itu, bakal gue biarin. Ngga ada Alen yang nyelamatin renjana. Cukup satu kali gue bego, nolongin orang yang ga mau ditolong, gue ngga bakal nahan lo kaya waktu itu, percuma juga orang ga tau diri kaya lo ditolongin. Sia-sia." Dengan sekali sentak, rahang itu ia lepas, melangkahkan kakinya menjauhi ranjang renjana, mendekati pintu dan membukanya. Sekali lagi, kepala alen menoleh, menatap sosok pemuda kecil yang sudah lancang merebut atensinya sejak lama, sejak saat pertama kali mata itu bertatapan dengannya setengah tahun yang lalu. Membuat hari Alen terasa berbeda, lebih mendebarkan dan juga menantang.

Mata itu menatap sosok yang membuat alen mau repot repot belajar bahasa isyarat. Dari tempat Alen berdiri, renjana terlihat menyedihkan sekali, garis merah yang melintang dilehernya. Alen merasa sedih. Bukan mau dia begini.

Tanpa renjana ketahui, setiap hari Alen selalu belajar bahasa isyarat lewat Vidio di internet, hanya untuk renjana dia dibuat serepot ini. Renjana itu pengacau, alen tidak suka hidupnya dikacaukan oleh orang lain. Maka dari itu, alen terus selalu menganggu renjana. Membuat renjana tidak nyaman dan berakhir pindah sekolah. Agar alen bisa kembali kekehidupannya yang dulu. Tenang tanpa adanya renjana. Tapi percuma, sudah hampir setengah tahun dan renjana masih tetap bertahan. Alen ingin mengelak tentang perasaanya kepada renjana, dia tidak mau seperti ini. Renjana itu laki-laki, sama seperti dirinya. Tapi perasaan berdebar saat berdekatan dengan renjana tidak bisa ia cegah. Alen terlalu frustasi sampai rasanya dia ingin menyerah. Menyerah pada keadaan, pada renjana dan mengakui perasaannya, bahwa Alen telah jatuh cinta dengan renjana. Sejak lama, saat renjana tidak sengaja menumpahkan minumannya ke seragam alen dikantin saat masa pengenalan lingkungan sekolah dilaksanakan. Alen jatuh hati kepada pemuda bermata indah itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 08, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Renjana || HyuckrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang