Seorang gadis berwajah mungil itu menyeka keringatnya. Dilihatnya jam di dekat area dinding pitstop dengan jarum panjang menunjukkan pukul setengah satu malam. Dia sudah melewati satu setengah jam dari jadwal seharusnya ia selesai bekerja.
Tidak apa, ia lebih menyukai bekerja di tempat ini daripada bekerja di dunia luar dan ditemukan oleh salah satu anak buah Melissa. Walau ia tahu jika orang tuanya lah yang akan terkena imbas jika ia menghilang seperti ini.
Hanya untuk memikat satu laki-laki yang menjadi musuh besar wanita itu, ia tidak sanggup akan tekanan yang wanita itu berikan padanya. Akan paksaan yang wanita itu terus lakukan.
"Hey! Kau terus melamun," bentak salah pekerja tepat di depan wajahnya.
Gadis itu tersentak. "Ah iya. Ada yang perlu aku bantu kembali?" Vannesa bertanya dengan sikap tenang.
"Tidak apa-apa, Van."
Vannesa menghela napas dan melihat sekelilingnya. Area circuit Mandalika terlihat sangat sepi. Mendadak, sebuah perasaan akhir-akhir ini yang kerap akrab menghampiri dirinya, menghembuskan angin dingin pada tengkuk dan mengalir di sepanjang pembuluh darahnya.
Tidak ada yang menjamin apa yang akan terjadi pada dirimu di tempat sepi atau ramai sekalipun.
Wanita itu akhirnya memutuskan untuk membereskan perkakas ke dalam toolbox yang berada di lemari plastik berwarna silver.
"Apa kau akan pulang kerumah, Val?" tanya Vannesa memakai tas pinggangnya.
"Maaf, Nes. Malam ini aku tidak kembali ke rumah, apa kau membutuhkan kamarku? Akan ku ambilkan kuncinya di belakang." Valery membalikan badan mengarah ke belakang.
"Tidak usah Val, aku pulang saja malam ini."
"Baiklah, hati-hati di jalan."
Vannesa tersenyum lalu pamit kepada temannya tersebut.
Lagi-lagi semesta menyadarkanku bahwa tidak ada yang lebih sial selain bertemu dengan anak buah Melissa. Orang yang paling ia hindari di muka bumi ini. Orang yang bahkan tidak ingin ia lihat.
Vannesa memejamkan matanya saat ketiga wajah yang sudah sangat ia hafal telah berdiri di depan rumahnya.
"Dia ingin bertemu denganku?" tanya Vannesa to the point.
Albert terkekeh "Menurutmu bagaimana Vannesa? Bahkan dia sangat marah ketika mengetahui bahwa kau kabur."
Vannesa meneguk ludah. "Bawa aku padanya."
"My pleasure," anak buah Melissa itu menyeringai.
***
Raven merenggangkan tangannya hingga netra abu-abu itu menjadi sebesar gumpalan tangan. "Aku haus, Ric."
Pria dewasa itu bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju dapur kecil yang berada di dalam pitstop.
"Kau baru saja minum Vodka martinimu, Ven."
Raven tidak membalas, Ia hanya mematikan ruangan itu menjadi sedikit temaram sebelum melangkah menuju garasi di luar pitstop dan mengaktifkan protokol keamanan.
"Turn on the dark, mode," suara penguncian otomatis oleh sistem berdentum. Dan ruang bawah tanah pitstop tersembunyi tersebut menggelap.
Selang beberapa menit kemudian, Raven Dov Maverick telah membelah jalanan dengan motor besar hitam birunya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
224:(Dua Puluh Empat)
Rastgele"Kamu, adalah nyata yang tidak ku genggam." -Raven Dov Maverick Awalnya, hanya bercerita tentang pria yang memiliki pekerjaan inti menjadi seorang pembalap ulung yang mencoba merekrut anggota baru. Pilihannya pun jatuh kepada wanita muda yang dirasa...