23

2.4K 235 72
                                    

Memikirkan Tu membuat Bright sedikit terguncang. Kenangan masa lalunya bersama wanita itu terputar kembali. Pertemuan pertama, ciuman pertama, ketika mereka saling jatuh cinta, dan malam terakhir mereka bertemu sampai hari berikutnya waktu ia harus mengangkat telepon untuk mendengar salam perpisahan.

Kenangan yang ikut kembali adalah yang ia alami satu minggu sesudah ayahnya meninggal. Perusahaan ayahnya bangkrut.

Bright mengingat masa-masa itu apa adanya, tetapi kali ini terasa lebih menyakitkan.

“Tuan Win sudah beberapa kali mencoba menghubungi anda, tapi katanya tidak bisa.” Suara Singto membuyarkan lamunannya.

“Aku lupa. Tadi aku mematikan ponselku.”

Bright langsung mengeluarkan ponsel dari kantong dan menyalakannya. Ia tidak ingin menerima telepon ketika sedang ada rapat. Hari ini banyak sekali yang harus diselesaikannya.

“Ada lagi?” Tanya Bright.

“Hmm...” Singto tidak melanjutkan perkataannya. Ia terlihat bingung apakah harus benar-benar menyampaikan hal yang sedari tadi tertahan di bibirnya.

“Santai saja. Ada apa?”

“Tuan Win juga bilang, anda jangan sampai lupa makan.”

“Lalu? Hanya itu?”

Kalau hanya ingin mengatakan hal itu, sebenarnya Singto tidak perlu segugup itu. Bright menanti jawaban dan akhirnya Mengangkat kepala lalu menatap sekretarisnya.

“Selain mengingatkan untuk tidak lupa makan, Tuan Win juga mengatakan kalau anda tidak akan mudah dikalahkan karena kepribadian anda sudah pasti membuat banyak orang ketakutan.” Singto tidak berani menatap atasannya.

Bright hanya bisa tertawa mendengar pesan yang ditinggalkan Win untuknya. Rasa cemas dan juga gugup yang tadinya dirasakan Singto langsung hilang begitu saja. Seperti es yang mencair terkena matahari yang bersinar di musim semi.

“Kalau begitu sesuai dengan perintah tunanganku, aku harus makan."

“Baik.” Melihat wajah atasannya yang sama sekali tidak telihat cemas membuat Singto tersenyum.

.
.
.

Bersama dengan Win, Bright tiba di sebuah restoran yang menjadikan daging sapi? sebagai menu utama. Win menyeret Bright untuk makan di sebuah restoran yang bukan hanya ramai, tetapi juga berisik. Banyak orang yang berlalu-lalang di tempat itu.

Saat ini, pria itu hanya mengikuti perintah Win yang mengatakan kalau dirinya harus menyantap makanan yang bisa meningkatkan tenaganya kembali. Untung saja, datang ke tempat itu adalah keputusan yang baik. Daging yang disajikan banyak disertai sayuran segar dan berbagai makanan pendamping yang menggugah selera. Di sisi lain restoran itu terdengar suara tepuk tangan. Sepertinya ada yang sedang mengadakan acara makan malam bersama.

“Kamu kelihatan lelah.” Komentar Win.

Dari wajah pria itu, Win tahu kalau Bright mengalami nari yang berat. Untuk seorang Bright Vachirawit, hal seperti ini jarang terjadi.

“Aku baik-baik saja. Aku masih bisa menanganinya.” Jawab Bright.

“Sepertinya banyak sekali masalah yang kamu hadapi di kantor.”

hiraeth • brightwinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang