"Enggak usah diseriusin, Kil. Bercanda," cetus Cakra membuyarkan keterkejutanku.
Aku buru-buru melempar pandanganku ke samping menghindari tatapan objektif Cakra. Tidak lucu kalau aku ketahuan baper karena ucapannya tadi.
"Yeah, siapa juga yang nganggap serius. Sudah ah, Killa mau kembali ke pantry. Nanti Bu Anggi nyari."
Aku segera berbalik dan berjalan menjauh. Sebelum mencapai pintu, panggilan Cakra kembali menahanku.
"Kil!"
Aku berbalik menghadapnya. "Iya, Pak."
"Nanti siang Resty mau mampir ke sini."
Aku hanya mengangguk sambil melayangkan senyuman lalu kembali ke pantry. Sial, Resty mau ke sini. Aku harus bagaimana? Aku sebenarnya kangen banget sama Resty. Aku rindu bertukar cerita dengannya, rindu bersenda gurau, dan rindu semua yang pernah kami lakukan bersama saat masih di SMA dulu. Namun, apa Resty mau mendengarkan ceritaku yang ah ... tidak ada gregetnya sedikit pun. Nyaliku menciut untuk bertemu dengannya. Entahlah, perasaan malu, minder, dan mungkin juga takut tiba-tiba merayap dan menghantuiku.
"Sudah beres, Mbak Killa?" pertanyaan Anggi, Koordinator Office Boy, menyeret kesadaranku kembali ke masa kini.
"Sudah, Bu. Ada lagi yang harus saya kerjakan, Bu?"
"Ini." Anggi memberikan secarik kertas berisi daftar nama dan pesanan para karyawan. "Saya sudah membagi-bagi tugas. Tugas Mbak Killa melayani divisi keuangan bersama Pak Yono, tapi ini enggak pakem ya. Jika ada dari divisi lain meminta dilayani dan kebetulan OB atau OG untuk bagian divisi tersebut sedang sibuk, Mbak Killa wajib membantu."
"Baik, Bu."
"Oke. Selamat melanjutkan pekerjaan Mbak Killa."
Aku membaca deretan pesanan yang harus kulayani. Gila, segini banyaknya? Meski permintaan para karyawan itu hanya kopi dan teman-temannya yang lain seperti susu dan teh, tapi tetap akan membuatku riweuh.
"Jangan melamun. Ayo mulai dibuat. Biar saya yang mengantarkan ke ruangan." Suara bass dengan aksen jawa yang kental menguapkan lamunanku.
"Eh, iya, Pak." Seketika aku menyadari bahwa pria paruh baya bertampang kelimis dengan kumis tebal dan berseragam OB itu adalah Pak Yono yang disebutkan Anggi tadi. Hanya aku dan dia yang ditugasi melayani divisi keuangan dan baru saja pria itu berkata, ia akan mengantarkan seluruh pesanan ke ruangan divisi keuangan.
Aku segera menyibukkan diri bergelut dengan kopi, susu, dan teh di balik meja ruang pantry. Dengan kepiawaian Pak Yono mengantarkan pesanan karyawan, kurasa aku dan Pak Yono sudah menjadi tim yang klop. Aku berusaha keras menghindar dari Resty yang akan datang ke kantor siang ini dengan semua kesibukan yang kujalani. Bahkan, ketika Anggi memintaku untuk membelikannya makan siang di warung gado-gado di seberang jalan, aku dengan senang hati menyanggupi.
Aku melirik arloji di tangan kiriku, sudah jam 12.40. Berpura-pura tak acuh dengan sekitar dan hanya berfokus pada lorong menuju lift barang, aku berjalan cepat melintasi lobi. Namun, sesuatu yang keras tapi juga lembut dan beraroma vanila menginterupsi langkahku. Aku menabrak seseorang. Tidak cukup keras tapi membuat map-map yang dipegang perempuan itu berserakan di lantai.
"Maaf, maaf, saya tidak sengaja," ucapku panik.
Sial, hari pertama bekerja harus berbuat kesalahan. Aku segera memunguti map satu per satu dan memberikannya pada si pemilik. Auw, shit! Ember mana ember?! Teriakku dalam hati. Ya, ampun. Aku butuh ember segera untuk menutupi wajahku dari tatapan perempuan cantik yang berdiri di hadapanku ini. Aku butuh tempat persembunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Affair
RomanceBijaklah dalam memilih bacaan! Adult only. Judul awal: Bukan Simpanan Biasa Ebook sudah tersedia di Google Play Book Setelah bercerai, Killa Putri Senja harus menanggung sendirian utang sang mantan suami yang kabur. Gajinya sebagai office girl hanya...