'Untuk mereka yang sedang berjuang keluar dari garis-garis pelampiasan'
Jari-jemari tanganku mulai bergerak untuk mengambil benda perak yang berkilau indah. Sekelebat ingatan tiba-tiba mengusik pikiranku. Hanya tinggal sejengkal lagi untuk mengambil benda yang indah itu. Namun, suara-suara di kepalaku mulai bertengkar, berisik. Jari-jemari tangan terhenti di udara, terkepal.
Bola mataku mengalihkan pandangan ke satu set alat lukis dan tumpukan kanvas kecil yang baru ku restock satu minggu yang lalu. Suara-suara itu telah reda, otak ku memerintahkan saraf-saraf tubuh untuk mengambil satu set alat lukis dan sebuah kanvas.
Kakiku melangkah ke depan cermin besar yang terletak di samping jendela kaca kamar tidur ku, menampilkan pemandangan kota pada malam hari. Sekilas melihat wajah kusut ku, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di depan cermin. Tanganku mulai menulis di atas kanvas dengan pena bertinta merah, kata demi kata terukir, menumpahkan semua suara yang tadi sempat mengganggu pikiranku.
Lantas jemariku mengambil salah satu cat akrilik. Goresan demi goresan kuas mulai mengisi kanvas, sampai seluruh kanvas berwarna abu-abu. Tak lama kemudian dengan pola abstrak dengan warna merah, cokelat, dan biru mulai ikut mengisi. Tidak lupa aku kemudian menggoreskan dua titik dan satu garis melengkung ditengah-tengah kanvas, wajah tersenyum, menggunakan cat warna putih. Selesai.
Tanganku mulai membereskan peralatan melukis, meletakkannya kembali ke dalam laci meja belajar, di samping kotak pensil berwarna ungu. Memasukkan hasil lukisan ke dalam kotak yang berada di bawah tempat tidur, bergabung dengan puluhan lukisan lainnya. Setelah mematikan lampu, aku memutuskan untuk tidur.
***
"Selamat pagi, Ema," sapa Zia yang menunggu ku di depan gerbang sekolah, dia tersenyum tipis. Selisih tinggi kami membutaku mendongakkan kepala membalas senyumnya "Pagi juga Zia," balasku.
Kami berdua melangkah memasuki area sekolah yang masih sepi, maklum baru pukul setengah tujuh pagi. Perjalanan singkat kami diisi dengan pembicaraan ngalor-ngidul, mulai dari membahas makanan hingga drama terbaru. Sesampainya di kelas, kami meletakkan tas di kursi masing-masing.
"Zia, ayo! Keburu bel masuk bunyi!" Sambil menarik tangan Zia, aku berlari-lari kecil menuju pohon beringin besar yang ada di samping perpustakaan. Setelah itu kami mendudukkan diri di bangku yang ada di bawah pohon beringin.
Sabar dong Ema, masih lama juga bel masuk bunyi. Kamu ini, gimana kalau tadi pas lari-larian kamu jatuh? Kamu ini udah tau ceroboh, kurang hati-hati pula, Zia menasihati ku lagi, seperti figur kakak. Omelannya hanya ku balas dengan cengiran polos andalan ku.
"Udah-udah ngomelnya, jadi siapa dulu yang mau bilang?" tanyaku setelah duduk di salah satu bangku. Zia terdiam. Sambil menundukkan kepala, memperhatikan kedua kakiku yang mengalun bebas. Hah, kapan aku tumbuh tinggi seperti Zia.
"Karena minggu lalu kamu yang duluan, sekarang giliran ku", jawabnya sambil tersenyum. Mendongakkan kepala, bibir ku menarik senyum.
"Dua." Hanya itu yang Zia katakan. Aku mengangguk, kami tau apa itu maksudnya. "Hey, itu sudah bagus. Aku masih tiga," ujar ku sambil menundukkan kepala. Sungguh aku malu. Mataku mulai terasa perih. Ah, dasar cengeng.
"Tidak apa-apa, kita tetap harus berusaha kan? Bersama ayo keluar dari pusaran ini," kata Zia sambil berjongkok di depanku, tak lupa tangannya yang menggenggam tanganku. Menyalurkan kekuatan dan kehangatan. Aku beranikan diri menatap bola matanya, cokelat karamel, warna yang cantik. Terlihat sinar kekuatan di sana.
"Ya, kita masih harus berusaha. Lagi pula dunia akan terus berputar tak peduli siapa pun kita kan?" Ujarku diiringi tawa kecil. Zia ikut tertawa. Tuhan, aku berterima kasih karena telah mengirimkan sahabat sebaik Zia.
YOU ARE READING
Kotak Pandora
Короткий рассказ"Kotak pandora adalah tempat penyimpan rasa sakit, kegilaan, kecemburuan, dusta, dan segala hal buruk yang coba kami sembunyikan."