01, Unattended Shop

5.7K 305 71
                                    

.

Marco tak pernah tau apa yang membuatnya memilih pekerjaan ini dibandingkan meneruskan s2 ataupun menjadi dokter, ya ia tak pernah tahu. yang jelas semenjak ayahnya meninggal ia butuh waktu untuk menenangkan diri. tempat yang cukup jauh dari rumahnya dulu. Ini juga atas paksaan dari ibunya yang bawel itu.

'Helianthus Sweet Shop'

Ia membaca papan nama bangunan yang berdiri di depannya sekarang. Nama yang cukup aneh.. berhubung Helianthus artinya bunga matahari kenapa tidak dinamai 'Sunflower Sweet Shop' saja? terdengar lebih ceria dan umum dibandingkan 'Helianthus' yang menjadi bahasa biologi bunga itu. Marco hanya mengerutkan kening memikirkannya.

Bangunan yang bisa dibilang ruko itu terletak agak jauh dan terpencil dari jalan raya sehingga boleh dibilang tidak cukup strategis untuk lokasi toko. Gaya bangunannya seperti bangunan antik dan dari luar terkesan sedikit suram, maklum saja, bangunan ini sudah tak berpenghuni lebih dari 7 tahun.

Marco tak ingin membuang waktu, ia merogoh sakunya untuk mengambil kunci dan membuka pintu Ruko tersebut.

Ya, Mulai hari ini ia akan resmi tinggal disana.

KRIIINGGG!! suara bel berbunyi saat pintu terbuka. Ruangan pertama yang menyambutnya terlihat seperti bekas toko dengan rak-rak dan stoples besar yang kosong. Debu bertebaran dimana-mana dan semua jendela tertutup, hanya ada beberapa bolong kecil di tirai yang membuat cahaya dapat masuk. dibanding suram ruangan ini lebih seperti bersejarah, ia seperti bisa membayangkan ramainya toko ini saat anak anak datang hanya dengan mendengar bunyi denting bel di pintunya. Ruangan ini seolah mempunyai kekuatan yang membuat siapa saja merasa berada di sebuah Rumah, begitulah kesan pertama yang ia tangkap.

Marco meletakkan kopernya, memutuskan akan melihat-lihat sejenak sebelum membereskan barang-barang. Di pinggir ruangan itu ada sebuah tangga tak wajar yang mengarah ke lantai atas, kalau bisa sih ia lebih suka menyebutnya lantai 1.5 karena lantai itu bukan benar-benar lantai dua. Tangga itu menuju ke sebuah space yang cukup besar di atas namun besarnya hanya seperempat ruangan di bawah dan dibatasi oleh beranda. Tak ada yang bisa ia temukan di sana selain rak rak yang berjejer beserta beberapa kursi. Namun perhatiannya sempat teralihkan ke sebuah benda.

Gramaphone, pemutar musik antik itu ada di meja kecil sudut ruangan. Meski tua, Gramaphone itu terlihat masih berfungsi. disebelahnya ada rak yang berisi piringan hitam, pas sekali. Marco mengambil salah satu piringan hitam secara acak dan memutarnya. Tak beberapa lama lantunan lagu terdengar merdu, mengisi kekosongan di situ.

Baru saja Marco mau melangkahkan kaki ke lantai atas terdengar ketukan di pintu depan. ia buru-buru kembali ke bawah, cepat sekali ada orang yang berkunjung. Padahal belum sampai satu jam ia tiba disini.

Marco membuka pintu. Di samping pintu ia bisa melihat seorang gadis berambut hitam yang dikuncir dua dengan tatapan jutek. Awalnya gadis itu hanya diam sambil memainkan jari-jarinya tapi begitu mendengar pintu dibuka ia langsung menoleh. Wajahnya menyimpan sedikit keterkejutan saat melihat Marco.

"Permisi, ada perlu apa?" Marco berbicara duluan karena gadis barusan tak menampakan tanda tanda akan bicara.

"E..ehm.., jadi ini orangnya" ia berkata sedikit tergagap di awal namun meneruskan kata-katanya kembali dengan lancar, "kau Marco Alexander kan? Pertama mendengar namamu kukira kau bapak-bapak berkumis yang tukang merokok, untungnya kau bukan seperti bayanganku"

"Ya aku Marco, kau sendiri siapa?" Marco menaikkan alis, siapakah gadis yang sedang memerhatikannya dari atas sampai bawah ini?

"Panggil saja aku Nana, mulai besok aku akan bekerja di tokomu"

"Bekerja? tunggu, aku bahkan belum bilang kepada siapapun soal mencari karyawan, bagaimana kau tahu?"

"Ibumu menelfon ibuku, dan karenanya aku akan kehilangan waktuku bermain game.. dia bersikeras kalau aku lebih baik bekerja di toko ini, benar-benar menyebalkan"

Toko Permen di Ujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang