Cahaya Rembulan

220 30 217
                                    

Kami menghabiskan banyak waktu untuk beradaptasi. Mengurus rumah berdua saja ternyata bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang harus kami urus. Belum lagi aku dan Azka masih sama-sama sibuk bekerja. Kami berdua keteteran. Tidak jarang kami bertengkar. Apa pun bisa dijadikan subjek pertengkaran. Intinya, kehidupan pernikahan tidak semulus yang kami kira.

Setelah kami berdua sudah bisa sama-sama beradaptasi, barulah kami mendekatkan diri dengan keluarga satu sama lain. Azka sering pergi memancing dengan ayahku dan aku sering membantu ibunya Azka memasak di dapur. Selain itu, aku juga mulai mengenal adik laki-lakinya Azka, Reyhan, yang tiga tahun lebih muda dariku.

Bagaimana dengan wishlist kami? Well, kami sudah bisa menceklis beberapa seperti keramas bersama, masak dengan ibu, jajan street food, dan membawa Layla jalan-jalan di mobil. Oh, iya. Kami pernah berendam bertiga di bak mandi. Lebih tepatnya, waktu itu aku dan Azka memandikan Layla di bak mandi. Namun karena seluruh pakaian kami ikut basah, kami jadi ikut Layla berendam.

Setiap ada acara kumpul-kumpul keluarga besar, pasti ada saja yang menanyakan, "kapan mau punya momongan?". Jujur saja, itu membuatku tidak nyaman. Namun, Azka dan keluargaku selalu ada untuk mem-back up-ku. Alasan kuat kami ternyata selalu bisa membungkam mereka.

Setelah setahun berpacaran, kami pun memutuskan untuk memiliki anak. Dengan uang hasil tabungan setahun, aku dan Azka terbang ke Jepang untuk bulan madu. Tepat di hari ulang tahun pernikahan kita. Manis, kan? Azka sudah memesan penginapan di daerah yang jauh dari keramaian agar kami tidak mengganggu pada malam hari. Tepat di malam kami mau melakukan itu, aku dikejutkan dengan tamu bulanan. Sial. Akhirnya selama lima hari di Jepang, kami hanya berjalan-jalan. Maaf, Ka. Ini adalah hal yang tidak terduga. Aku harap kamu paham.

Tadinya, kami ingin berbulan madu lagi begitu kembali ke Indonesia. Namun karena tabungan kami sudah habis untuk liburan ke Jepang, kami hanya bisa melakukannya di rumah. Aku tidak bisa menjelaskan malam itu dengan kata-kata. Karena sudah menunggu selama setahun, malam itu kami terlalu bersemangat. Saking semangatnya, aku tidak bisa berdiri sama sekali keesokan harinya. Seharian itu, aku dan Azka —ditemani Layla juga, tentunya— akhirnya hanya tidur-tiduran di kasur sambil menonton film.

Di atas kasur, Azka menidurkan kepalanya di bahuku sambil terus menutul-nutul perutku. "Ayah gak sabar ketemu kamu," ucapnya dengan nada dibayi-bayiin.

Mendengarnya, aku hanya bisa bergeleng-geleng. "Kamu kira nungguin bayi kayak nungguin mie instan yang cuma 3 menit? Enak aja. Kamu harus bantuin aku selama SEMBILAN BULAN, tau," balasku sambil menekankan kata sembilan bulan.

Azka menyengir tanpa dosa. Mirip Layla. "Menurut kamu, anak kita cewek atau cowok?" Tanyanya.

"Azka, kita baru bikin semalem. Emangnya sekarang udah jadi?"

"Gak tau, jawab aja!" Azka menutul-nutul perutku makin agresif. Tingkahnya bukan seperti pria 29 tahun.

Aku terdiam sambil menyingkirkan tangan Azka dari perutku. "Hm... cowok, mungkin?"

Azka tersenyum. "Menurutku juga cowok," balasnya. "Bikin nama, yuk!" Ajaknya.

Aku menggigit bibirku, berpikir. "Gibran... Arjuna... Tristan... Angkasa... Sagara," aku mengabsen nama-nama karakter novel yang pernah aku baca.

"Tristan Sagara kayaknya keren," usul Azka. Usulan Azka boleh juga. Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan nama itu untuk anak kami.

Beberapa bulan kemudian, tes USG menyatakan bahwa anak kami perempuan. Sungguh-sungguh badut.

Sambil menyetir, Azka sesekali melempar tatap padaku. "Kita harus bikin nama lagi," katanya.

Mendengar itu, sebuah ide muncul di kepalaku. Tanpa sepengetahuan Azka, aku membuka web spin wheel di internet. "Rembulan... Awan... Aurora... Cahaya... Thalia... Dorotea...," absenku sambil memasuk-masukkan nama itu ke dalam pemutar. Dengan senyuman iseng di wajahku, aku mulai memutar lingkaran itu. "Ka, coba bilang stop," pintaku.

Cahaya Rembulan - Jake OneshotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang