Seduh kopimu, siapkan snackmu. Cari tempat ternyaman untuk mendengrakan, tapi jangan sampai buta dengan hal-hal yang membuat nyaman. Sebab, kenyamanan adalah awal kekecewaan yang belum kamu sadari saat ini, tapi akan kamu sesali di kemudian hari.
Sudah. Ku rasa cukup intermezonya. Sekarang akan ku mulai ceritanya, ditemani tangis yang berbalut gerimis, sekotak susu UHT yang membawa memoriku berkelana mengingatnya.
Tentang dia yang terbitnya membawa harap, pijarnya memancarkan hangat, warnanya memanjakan indera penglihat. Namun juga membawa duka teramat.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Batari Senjaraya. Nama nan jelita yang diberikan orang tua dengan do’a dan harapan besar. Batari memiliki makna wajah bidadari, didapat dari Bapak ku yang kebetulan turunan Jawa.
Senjaraya, nama itu diambil dari matahari sore yang akan tenggelam ke peraduan. Ibukulah yang memberi nama. Tapi jangan salah, malaikat tak bersayapku bukan nenek moyang jamaah indie yang dirahmati Allah.
Nyatanya ibuku adalah cerminan IRT yang hebatnya kelewat masya allah.
“Motong wortel itu diameternya yang sama dong, Nduk.”
“Bu hajah Siti istrinya haji Soleh, ini cuma motong wortel bukan motong kayu buat bangun rumah tangga. Heran aku.”
Aku membanting pisau ke atas telenan. Capek meladeni bualan ibu yang sedikit unfaedah. Selebihnya unfaedah banget.
“Bata sih kalau dibilangin ibunya malah gitu.”
Aku yang akan kembali memotong sayur berwarna orange ini mengurungkan niat, dan cemberut menatap wanita berdaster bunga yang sedang mencuci beras di wastafel.
“Ibu demen banget bully anaknya.”
Sebenarnya ibu bukan emak toxic, tapi beliau suka sekali menjuluki anaknya dengan sebutan aneh. Demi apa namaku turun reputasinya jadi merk sendal lebih parahnya jadi batu bata.
“Itu panggilan kesayangan buat putri Ibu yang paling jelita,” Ibu tersenyum, sebelum berlalu membuka rice cooker, memasukkan tempat menanak nasi dan menekan turun tombol cook.
“Sumpah ya kayak nggak ada nama lain,” balasku seraya beranjak dari dapur sederhana ini.
Ya, rumahku bukan tipe istana mewah ala novel halu versi kearifan lokal yang di dalamnya mengandung salon beserta tempat gym pribadi.
Aku hanyalah anak juragan tanah yang diajarkan hidup sederhana dengan prinsip ‘Rumahmu bukan cerminan kaya atau tidaknya dirimu. Karena kaya yang sesungguhnya bukan dilihat dari materi, tapi kelapangan hati’.
“Mau kemana Nduk?” tanya ibuku.
“Ngambil garisan, biar motong wortelnya simetris."
Sebenarnya aku bukan perempuan galak dan judes. Hanya saja hormon estrogen lagi mendominasi tubuh membuat mood ku naik turun. You know, perempuan kalau lagi PMS sudah mirip singa lapar.
“Ta, ada paket buat kamu.” Bapak menutup pintu utama, berjalan ke arahku yang berdiri di tengah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga.
“Darimana pak?” aku menerima uluran benda persegi yang dibungkus palstik bening dengan berisikan alamat di atasnya.
“Ora reti Nduk, tukang pos yang nganter. Baru aja pergi orangnya.”
“Dari penerbit deh kayaknya. Makasih bapak.”
Aku meninggalkan bapak dan memasuki kamar membawa paket dengan perasaan riang. Akhirnya paket yang aku tunggu-tunggu datang.
Tak sabar, aku membanting pantat di atas kasur meski bukan jenis kasur sultan. Mengunboxing plastik pembungkus dengan senyum mengembang.
Yeah, buku ku datang. Ku kira penerbitnya lupa kalau penulis novel abal-abal Batari Senjaraya pernah mengikuti event cipta puisi nasional dengan iming-iming hadiah jutaan rupiah, sertifikat dan gratis 1 eksemplar buku.
Ya selain makan dan rebahan, aku juga punya hobi menulis. Suatu prestasi yang patut dibanggakan oleh Bapak dan Ibu. Meski novel karyaku tidak ada yang nangkring di rak best seller membersamai karyanya Tere Liye.
Paling tidak hasil riset dan haluku masih padat peminat dan banyak yang mengapresiasi.
“Bata....where are you freind.” Senyumku pudar kala suara melengking serupa sangkakala itu menggema.
Aku bangkit dari acara mengagumi coretan diksiku yang tercetak rapi dalam kumpulan puisi nasional. Menurunkan ujung daster belel namun nyaman dipakai ini menutupi paha mulusku, membuka pintu kamar dan ...
“Shopping yuk Ta.” Raina February, sahabatku yang seperti tidak memiliki dosa ini sudah duduk manis di kursi ruang tamu sembari memakan cookies bikinan Ibu.
“Pendidikan emang nggak menjamin orang bakal punya sopan santun ya, Na.” Sarkasku menghamirinya, dan ikut duduk di samping Raina. Temanku Kuliah.
Kami berdua sama-sama anak fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, jurusan PGSD pendidikan guru sembarang dilakoni kalau kata kita mah. Pejuang S.Pd. sudah pengen dilamar tapi belum ada calon.
“Ku anggap rumah sendiri sih ini,” Raina nyengir, memamerkan gigi kelincinya. “ Temenin minum boba yuk,” lanjutnya.
“Kasian ginjal ku Na, Tapi ayolah, suntuk di rumah. Aku ganti baju dulu.”
“Muna deh jadi orang,” cibir Raina.
Aku memasuki kamar, mengambil kimono di gantungan baju, kemudian keluar lagi berjalan ke kamar mandi yang berdekatan dengan dapur. Maklum, rumahnya rakyat jelata tidak ada tempat mandi di kamar pribadi.
Urusan mandi selesai. Aku mematut diri di depan cermin meja rias. Mengagumi pahatan indah Tuhan dalam rupa Batari Senjaraya.
Rambut panjang hitam legam tersanggul rapi membentuk cepolan yang kalau dipakain jilbab bakal membentuk konde ala ibu pejabat.
Pipi chubby membuat potongan rahangku tak se estetik istrinya Baim Wong, tinggiku hanya 155 cm dengan berat badan sedikit berlebih namun kata orang aku cantik dan sintal.
Mata bulat, dan dagu ganda namun tidak berlebihan setidaknya bisa menjadi daya tarikku. Ditambah gigi gingsul yang kalau tersenyum katanya manis.
“Kamu cantik Ta, dan I love my self more and than,” ucapku bangga dengan diriku sendiri.
Masa bodo. Ku anggap ini bentuk penghargaan untuk diriku sendiri. Bukan kePD an, tapi kalau kita saja tidak percaya dengan diri kita, bagaiman orang lain mau percaya dengan kita.
Dan soal i love my self, yes right. Aku memang mencitai diriku sendiri teramat lebih. Saking cintanya, di usia 21 tahun aku masih jomblo.
No problem, bagiku itu bukan masalah besar. Dengan begini setidaknya meminimalisir potensi sakit hati yang bakal berdampak pada mentalku.
Aku nyaman menikmati kesendirian, dengan tetap yakin pada janji Tuhan kalau kita diciptakan dengan berpasang-pasangan. Aku tidak kekurangan cinta. Ibu Bapak, kakak semua mencintaiku dengan teramat. Aku bahagia, dikelilingi teman-teman hebat yang selalu ada disaat suka dan duka.
☀️☀️☀️
Bagaimana? Suka ceritanya?
Kali ini saya nggak akan menyajikan cerita seperti sebelumnya, halu luar biasa ,semua tokohnya ala ala holang kaya.
Kali ini lebih terkesan sederhana dan apa adanya 🤭😂.
Jangan lupa ramaikan dengan komen dan vote dari kalian!
Selamat Membaca
11 Agustus 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Kala Fajar Senja
General FictionKita pernah sedekat jemari dan kaca jendela di kala hujan melanda, seriang kicau burung saat mentari menyapa. Tapi jauh laksana fajar dan senja, yang berharap selalu bersama, namun semua tak merestuinya. Sebab, jika Fajar dan Senja bersama kiamat ak...