Dua

179 24 3
                                    

Siang ini matahari begitu terik, membakar raga rapuh yang berjuang demi sesuap nasi. Panasnya sang raja langit tak memudaran semangat bapak tukang becak yang sedang menanti penumpang di pinggiran jalan.

Aku dengan peluh mengucur di pelipis tengah menunggu Raina yang mengantri membeli minuman kekinian segede kelereng yang sedang viral.

Sembari mengibaskan tangan menghalau rasa panas yang menyelimuti raga, aku mengutuk tunik maroon dan leging hitam yang ku pakai. Ditambah pashmina hitam membuat panas matahari leluasa merasuki tubuh.

"Ina, cepetan dikit kenapa," teriakku.

Raina memberiku kode kedipan mata, menyuruhku sabar barang sebentar.

"Panas jancuk," ceplosku membuat seluruh yang mengantre meneloh.

Upss! Aku lupa. Pastinya sedikit tabu di muka umum, karena ini bukan Surabaya kota asalnya Raina. Tapi kota Lumpia, tempat dimana aku dilahirkan dan dibesarkan, mengenyam pendidikan hingga sekarang.

Ya, kota Semarang. Italia van Java. Yang mana jancuk jelas bukan umpatan khas nya.

Daripada mati bosan menunggu Raina February, aku milih melipir menyusuri pinggiran jalan. Mencari kedai makanan yang menyediakan paling tidak nasi kucing atau nasi pecel.

Aku membeli beberapa nasi bungkusan dan air putih botolan yang kata iklannya ada manis-mansinya. Niat hati akan ku berikan ke bapak-bapak tukang becak.

Entahlah, kata Raina jiwa sosialku over dosis, kalau kata yang lain aku mirip lilin. Rela membakar dirinya, demi menerangi raga lain.

Opini mereka tidak keliru. Kelihatan sok dermawan begini, padahal nyatanya aku lagi bokek. Uang jajan dari ibu habis ku belikan novel dan buku kuliah.

Tapi paling tidak aku masih punya tabungan dari menjual buku dan menjual suara, jadi MC acara maksudnya.

Selain halu, Tuhan juga memberiku kelebihan public speaking yang bagus dan suara yang lumayan tidak mengganggu telinga.

"Matur Suwun , Mbak." Seru bapak tukang becak dengan senyum mengembang.

Itu salah satu daya tariknya suku Jawa, senyumnya tulus pun orang-orangnya yang ramah.

"Semoga tercapai apa yang dicita-citakan mbak, anak saya pasti senang ini nanti," seru tukang becak lainnya.

Aku bahagia, bisa melihat tulang pungung keluarga pulang mengayuh pedal becak dengan membawa sebungkus harapan untuk sekedar mengganjal perut bagi anaknnya.

Realita yang amat menampar bagi mereka yang punya hati, tapi tentunya tidak bagi mereka yang menduduki jabatan tinggi. Karena hati mereka hilang terganti dengan uang, kedudukan dan posisi. Tanpa peduli ada hak rakyat di dalamnya.

"Tata....." teriakan dari seberang jalan membuatku menoleh.

Segera ku buang kantong plastik yang ku gunakan untuk membawa bungkusan nasi tadi ke tempat sampah, kemudia berlajan menghampiri pria tinggi yang sudah memasang senyum iklan pasta gigi dan melambaikan tangan.

"Hai Bang Gila, ngapain di sini," ucapku.

Pria dengan potongan rambut agak berantakan itu cemberut "belajar ngeja dimana sih Ta, tiap kamu yang manggil namaku jadi kurang hurufnya."

Aku tertawa, pria hitam manis ini suka baperan ketika namanya ku plesetkan "habisnya enak banget manggil kamu begitu. Bisa sekalian manggil sama ngumpat."

"Buadjingan nda, orang cantik mah bebas ya" balasnya.

Nama aslinya sih Gilang Adinegara, tapi aku lebih suka memanggilnya Gila karena pekerjaannya yang menurtku cukup gila untuk dibeberapa moment.

Seperti sekarang misal, karena di luar cuaca cukup hareudang, Gilang mengajakku makan di sebuah cafe kekinian dengan pakain kerjanya yang cukup nyentrik.

"Aku jadi berasa diajak ngedate preman, terus pelayan ngira ntar nggak bisa bayar, bayarnya pakai malak" umpatku setelah pesanan kami diantar.

"Ku robek juga mata dia ntar, suka banget lihat orang dari bajunya. Tau aku siapa, sujud-sujud pasti minta ku nikahin." Gilang terlihat tidak suka dengan tatapan pelayan yang menyepelekan tampilannya yang memang macam preman.

Celana jeans robek di lutut, jaket hitam lusuh, kalung segede rante anjingnya pak RT, tidak lupa anting di telinga kirinya.

"Pakai baju yang kayak kawan-kawanmu itu Bang, biar cewek-cewek pada nyanyi lagu terpesona," ejekku untuk kesekian kali.

"Udah nggak muat bajuku, Ta. Lama nggak ku pakek. Btw, aku tadi nyari kamu mau minta dokumentasi." Setelah mengutarakan niatnya Gilang menyeruput minumnya.

"Halah aku berasa jadi orang penting Bang kamu cari-cari terus, WAWA an kan bisa, kurang kerjaan banget sampek nyariin aku." Aku menyendok makanan pesananku.

"Kamu lupa Ta, kerjaanku emang keliling wira wiri nyari orang kayak gini. Lagian HP mu kemana, ditelfon dari tadi gak aktif."

Seakan menyadari sesuatu, aku reflek menaruh sendok dan garpu di piring. Menepuk jidat sambil menatap Gilang, "Bang, aku tadi ke sini bareng teman ku."

Onde mande Batari, bisa-bisanya kamu melupakan Raina. Rakyatnya Bu Khofifah yang satu itu kalau sudah ngambek susah sekali dibujuk.

Kira-kira ada dua kemungkinan. Dia bakal membanting HP yang ku titipkan di tas dia, karena aku tipe cewek yang super males bawa tas kemana-mana atau dia akan mengkudeta jabatan ku di BEM.

"Wait me Ina" secepat kilat aku lari keluar dari tempat makan ini, mengabaikan Gilang yang ikut reflek berdiri dan meneriakiku.

"Tata mau kemana?"

"Ke tempat tadi, temenku masih antri beli boba"

"Haish, terus kerjaanku gimana?"

"Masa bodo lah, itu kerjaan mu bukan aku."

"Haish Tata...hari buruh mau ngadain demo nggak?" teriak Gilang lagi.

Gilang emang segila itu, tampan tapi bolot. Kadang aku merasa tidak salah memanggilnya gila. Apa dia tidak sadar, selain mempermalukan dirinya dengan berteriak seperti itu bisa saja membogkar identitas dia yang sebenarnya.

Tidak putus asa, Gilang berjalan mengikuti ku di belakang.
"Tata..."

"Datang aja lah Bang ke rumah, saat ini masa depan HP ku lebih penting dari kerjaanmu itu," sarkasku.

Tapi Gilang sama sekali tidak tersinggung, dia malah menggandeng tangan ku dan mengajakku nyebrang di zebra cross.

☀️☀️☀️

Lanjut?

12 Agustus 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kala Fajar SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang