Chapter 1.1

228 25 4
                                    

DISCLAIMER

This is a NaruHina fanfiction story. It has a certain topics such as age gap, underage girl, kidnapping and some sexual content.
If you're not into this type of fiction, don't read it.


* * *

Pandangannya tidak lepas dari jam dinding yang ada di depan kelas. Semakin diperhatikan, jarum jamnya justru berputar sangat lambat, hampir seperti tidak bergerak, membuat Hinata gemas sendiri. Ia tidak mengira kalau menit-menit terakhir sebelum bel pulang berbunyi bisa begitu menyiksa.

Suara di sekitarnya perlahan melebur seperti dengungan lebah. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing sementara Mrs. Svetlana terus membacakan beberapa paragraf dari buku teksnya dengan suara lantang. Meskipun tahu tidak ada yang mendengarkan, wanita itu tampaknya sangat menikmati apa yang sedang dibacanya.

Sebenarnya memang tidak ada seorang pun dari kedua belah pihak yang benar-benar peduli. Selama semua orang tidak komplain kepadanya--karena aslinya wanita itu tidak benar-benar mengajar--maka tidak bakal ada masalah. Dan itulah yang Mrs. Svetlana terapkan di kelasnya.

Well, cukup simpel karena wanita itu juga tidak sungkan memberikan nilai, bahkan anak-anak paling bodoh pun pasti akan lulus kelas literatur yang membosankan ini tanpa usaha yang berarti.

Bosan melanda setengah mati, Hinata tidak punya pilihan lain selain meniup-niup poninya dengan ujung bibir bawah yang sedikit maju. Pantatnya mulai mati rasa karena ia harus duduk satu jam penuh menunggu Mrs. Svetlana menghentikan ocehannya, membuat punggung bawahnya juga mulai sakit.

Sejenak Hinata memejamkan mata sembari mendongakan sedikit kepalanya. Tidak tahu mengapa, tetapi kebisingan kelas dan rasa pengap dari seluruh keringat 25 murid yang sudah beraktivitas seharian membuatnya ikut kelelahan tanpa sebab.

Namun disaat Hinata mencari ketenangan diantara penatnya, seseorang dari belakang menarik segenggam rambut panjangnya, membuat Hinata makin mendongak dengan mata terkejut. Tapi untung saja hal itu tidak membuat lehernya patah.

"Beraninya kau!" Hinata mendesis penuh rasa kesal sambil menatap tajam anak lelaki yang kini duduk di belakang barisannya. Ia lupa kalau lelaki berambut cokelat ini selalu duduk didekatnya.

"Kenapa rambutmu tidak dipotong saja? Menurutku sudah terlalu panjang, apa kau tidak terganggu dengan itu?" Lelaki itu memilin ujung rambut Hinata, tetapi dengan sekejap Hinata menjauhkan kepalanya agar helaian rambutnya terlepas dari tangan lelaki tersebut.

"Berhenti memegang rambutku." Hinata tidak habis pikir kenapa anak menyebalkan di hadapannya ini terus mengusiknya.

Lelaki tersebut--yang Hinata tidak tahu namanya--tersenyum simpul. Hinata bisa lihat sedikit gigi taringnya yang meruncing dari celah bibirnya yang sedikit terbuka. Cukup mengerikan, terkadang ia bertanya-tanya apakah giginya sengaja dikikir atau tidak.

"Kau belum menjawab pertanyaanku, tahu," tukas lelaki itu. Sekarang Hinata sadar kalau anak lelaki tersebut adalah definisi dari 'menyebalkan' yang sesungguhnya.

Akhirnya bel pulang berbunyi tepat pada waktunya sehingga Hinata tidak perlu menggubris pertanyaan kurang penting tersebut.

Hinata langsung melesat keluar berbarengan dengan anak lainnya meninggalkan Mrs. Svetlana yang masih menyembunyikan hidungnya di balik buku teks.

Menyusuri koridor yang sesak dengan kerumunan puluhan murid, Hinata seperti terperangkap. Mereka mengalir keluar dari pintu dan bergabung dengan arus manusia lainnya yang sama derasnya dengan ombak laut, menjadikan keadaan sangat chaos. Hinata berkali-kali dihantam dan ditabrak oleh bahu, siku, dan tas, membuatnya hampir terjungkal. Namun ia akhirnya berhasil mencapai lokernya.

Setelah menempatkan semua buku teks yang lumayan tebal ke dalam loker dan hanya menyisakan beberapa lembar kertas laporan dan tugas untuk dibawa pulang, ponsel di saku boyfriend jeans-nya bergetar, menandakan ada pesan yang masuk.

Isi pesannya kurang lebih sama, seperti pesan-pesan tempo hari yang menyuruhnya untuk mengambil resep di apotek. Sudah menjadi rutinitasnya dalam beberapa pekan terakhir untuk mengambil obat yang serupa. Bahkan Irina--sang penjaga apotek--sudah mengakrabkan diri dengan Hinata karena ia selalu datang di waktu yang sama.

Hinata kemudian segera melangkahkan kakinya meninggalkan lobi sekolah sesaat setelah menerima pesan tersebut. Tidak terlalu banyak perubahan yang bisa ia lihat dari sekolah ini ketika melewati jalur menuju gerbang, kecuali area baru di dekat lapangan, dimana beberapa orang sedang berkumpul dan duduk-duduk di bangku taman tepat di bawah pohon rindang.

Sementara Hinata terus berjalan dengan langkah kaki yang pendek, ia melihat teman pirangnya berlari dari lapangan menuju ke arahnya sambil meneriaki namanya. Hinata akui hal itu cukup memalukan karena setiap orang yang lewat akan menolehkan kepala mereka, biarpun hanya sedetik.

Tapi di saat yang sama juga Hinata dikagetkan dengan anak lelaki berambut cokelat dari kelas literaturnya yang muncul tiba-tiba. Ya, anak yang sama yang telah menarik rambutnya. Mungkin Hinata akan memanggilnya si vampir karena gigi taring tersebut.

"Itu temanmu? Kenapa dia berteriak seperti orang gila?" Lelaki vampir itu bersedekap, mengikuti arah pandang Hinata.

"Kau lagi," geram Hinata sambil memutar bola matanya.

"Apa?" Lelaki itu berujar seolah tidak tahu apa-apa, padahal kedatangannya itu sangat mengganggu.

Mereka berdua akhirnya menonton sahabat Hinata yang berlari tertatih-tatih dengan sepatu bot hak tingginya. Tetapi kemudian lelaki tersebut membungkuk lebih dekat ke arah Hinata. "Dengar, daripada berteman dengannya, lebih baik kau berteman denganku. Bagaimana?"

Hinata langsung menoleh sambil mengangkat sebelah alisnya. "Apakah itu sebuah tawaran?"

Lelaki itu mengedikan bahu. "Well, yeah... bisa dibilang. Pikirkanlah dulu, aku akan senang mendengar jawabanmu." Kemudian dia berlalu tepat saat sahabat pirang Hinata sampai.

"Kau kenal dengannya?" Alis Ino terangkat, napasnya ngos-ngosan seperti ia habis melakukan maraton berkilo-kilo meter.

"Nope dan tidak akan pernah mau mengenalnya." Hinata lantas berlalu begitu saja disusul Ino. Kau tahu, ini adalah sebuah kesialan baginya untuk memiliki kelas yang sama dengan anak lelaki tersebut.

"Jadi apa kepentingannya mendatangimu?"

Hinata mengeratkan pegangannya pada tali ransel yang bertengger di pundak, lalu berkata dengan kegeraman yang tertahan, "Dia hanya datang untuk menguji emosiku. Benar-benar mengesalkan. Kau tahu, aku punya spekulasi kalau dia kalah bertaruh dengan teman-teman berandalnya dan menjadikan aku sebagai target taruhannya." Kemudian hidungnya mengernyit tidak suka.

"Sungguh konyol. Bagaimana kalau ia ternyata sedang menggodamu!" Imbuh Ino, menyiku pelan perut sebelah kanan Hinata.

"Itu tidak akan pernah terjadi!"

"Well, boys will be boys..." balas Ino menyeringai seraya menghampiri mobil jemputannya yang sudah menunggu di depan gerbang. Mereka lantas melambaikan tangan tanda perpisahan, meninggalkan Hinata yang kembali berjalan sendirian di trotoar menuju apotek.

Jaraknya cukup singkat, tetapi ia tidak menemukan kendala saat berjalan sendiri melewati bebatuan trotoar di bulan Oktober yang dingin. Hinata tidak perlu seseorang untuk menemaninya berjalan karena ia memang tidak membutuhkannya. Ia sudah terbiasa hidup tanpa dikelilingi siapa pun, bahkan keluarga. Ia akui itu memang menyedihkan, tapi berpura-pura bahwa semua yang dilakoninya baik-baik saja membuat Hinata lama kelamaan hidup dalam kebohongan besar.

* * *

A/n: Im sorry if there are typos LOL. Give a vote if you like this story.

Bonded Together Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang