* * *
Ketika mendorong pintu kaca apotek, udara hangat menghantamnya. Akhirnya ia bisa dengan bebas menghirup udara yang lebih hangat setelah hidungnya tersumbat akibat cuaca diluar yang mulai mendingin.
"Hai Nata!" Irina menyapanya dari balik konter, wajahnya sumringah ketika ia melihat Hinata berjalan mendekat bagaikan penyelamat di tengah jam kerja yang membosankan.
"Bagiamana sekolah? Apa ada sesuatu yang spesial?" Irina mengedipkan mata, ia mencondongkan tubuh ke depan, tangannya menahan ujung konter. Senyumnya terlihat tulus, membuat Hinata sedikit tersentuh.
"Tidak ada yang spesial, seperti bisanya."
"Aku tidak tahu bagaimana caranya kau bertahan di sekolah tanpa ada hal menarik," tutur Irina bosan sambil mengedikan bahu. "Well, setidaknya berpacaranlah, cari perempuan atau laki-laki yang menarik. Kau tahu yang kumaksud, kan?"
Hinata tersenyum simpul. Terkadang lucu memikirkan bagaimana mereka bisa cukup akrab begini, ini semua berkat Irina yang senang mengobrolkan banyak hal dan anehnya Hinata menikmati semua obrolannya.
"Ya, aku bisa mencarinya, tapi rasanya aku belum memerlukannya."
"Kau akan menyesalinya, Nata." Irina menyeringai.
Mungkin, tapi Hinata menjamin tidak bakal menyesalinya. Tak lama, Hinata mengeluarkan sebuah ID Card dan secarik resep obat yang hendak ia ambil. Irina lalu meraihnya dengan tatapan simpati.
Hinata paling benci tatapan itu.
"Bukan menyinggung, tapi apakah keadaannya membaik? Maksudku ibumu. Aku hanya berharap yang terbaik untuknya." Irina menatapnya lekat, kekhawatiran tersirat di mata cokelatnya. Hinata tidak mengerti kenapa beberapa orang bisa begitu luluh dan punya rasa simpati berlebih, termasuk Irina. Dia gadis muda baik hati, tetapi terkadang Hinata tidak suka menerima ungkapan rasa iba yang ditunjukannya.
Mengangkat bahunya, Hinata bermain dengan kakinya, sebenarnya ia tidak terlalu nyaman membahas hal ini. Ia lalu berjalan pelan menuju rak terdekat dimana beberapa botol multivitamin berjejer, memerhatikannya satu-persatu seolah ia akan membelinya. "Yeah, seperti yang kau lihat, dia masih membutuhkan obatnya dan aku tidak tahu berapa lama dia akan menjalani terapi tersebut." Kemudian ia berpindah ke rak yang di belakangnya hanya untuk menemukan deretan tampon. Hinata mengambil salah satunya dan kembali berjalan menuju konter.
"Kau betul, itu membutuhkan waktu," timpal Irina, masih dengan ekspresi yang sama seperti tadi.
Tentu saja hal itu membutuhkan waktu yang lumayan lama, apalagi bagi ibunya yang punya segudang masalah kecemasan akibat stres akan pekerjaan dan tanggung jawab sebagai orang tua tunggal. Sempat terlintas, di benak Hinata kalau terapi ini belum tentu berhasil menyembuhkan ibunya karena semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk melakukan sesi terapi dan menebus segala macam obat, maka semakin banyak juga uang yang dibutuhkan, artinya ibunya perlu bekerja lebih giat lagi demi mendapatkan pundi-pundi uang. Bukankah itu sangat tidak efektif? Maka dari itu Hinata benar-benar ingin cepat lulus dan mencari pekerjaan menggunakan ijazahnya. Setidaknya itu akan membantu biarpun sedikit.
"Tolong ini juga." Hinata menaruh sekotak tampon yang barusan diambilnya.
"Oke, aku akan sekalian mengambil obatnya."
Irina tersenyum, lantas berbalik dan menghilang ke ruangan lain yang ada di dalam. Sementara itu, Hinata menunggu sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepi. Namun beberapa selang kemudian seorang wanita tua membuka pintu kaca apotek, disusul bunyi bel. Tepat saat itu Irina datang membawakan sekantung plastik obat yang terdiri dari beberapa jenis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bonded Together
FanfictionHidup di salah satu wilayah kecil di Rusia, dimana semua orang saling mengenal tidak akan menjamin kehidupan yang damai tanpa mendengar adanya kasus-kasus kriminal. Hinata, gadis remaja 16 tahun, tidak bisa berbuat banyak ketika penculikan 4 tahun t...