Bab 1

27 3 1
                                    

~ 1988 ~


Aku Ninda Rahmatunnisa. Ini tahun pertamaku menjalani pendidikan di sebuah pondok pesantren daerah Gresik, Jawa Timur saat usiaku genap delapan belas tahun. Mungkin menurut orang-orang, usiaku sudah telat dalam menuntut ilmu. Namun, bagiku tiada kata terlambat untuk menuntut ilmu, karena dalam islam kita diwajibkan untuk menuntut ilmu. Apalagi menuntut ilmu agama. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda "menuntut ilmu diwajibkan kepada setiap muslim dan muslimah".

Aku terlahir dan terdidik diantara orang-orang yang sangat awam dalam ilmu agama, yang hanya mengikuti ajaran leluhur mereka. Maka setelah tamat dari SMA, aku bertekad untuk mendalami ilmu agama dan mengamalkannya kepada mereka yang sangat awam dalam ilmu agama, dan di tempat inilah aku berjuang dan kembali lagi ke masa SMA. Walaupun aku menjadi yang tertua diantara teman-temanku.

Aku memilih Jawa Timur sebagai tempat untuk menimba ilmu, karena Pulau Jawa dikenal dengan ajaran islamnya yang disalurkan langsung oleh para wali, dan belum dicampurtangankan dengan kesesatan. Materi yang diajarkan di pesantren pada dasarnya tentang agama, adapun kajian atau mata pelajarannya adalah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran yang biasa dikaji yaitu Al Qur'an dengan tajwid dan tafsirnya, ilmu kalam, fiqih, hadist, tarikh, mantiq. Metode yang digunakan sejak dibangunnya pesantren di jawa adalah wetonan, sorogan, hafalan.

Pondok Pesantren Al Hikmah, sebuah pondok tradisional yang menggunakan metode para wali (wetonan, sorogan, hafalan). Pondok ini dikhususkan untuk putri, sehingga para penuntut ilmu fokus dalam mencari ilmu di pondok ini. Luas pondok ini berkisar lima hektar, ukuran yang standar, tidak besar dan tidak kecil. Bangunan-bangunan dibangun sangat tradisional, sehingga nuansa budaya jawa sangat terasa ketika pengunjung masuk ke pondok ini.


Hari-hariku tidak semulus jalan tol. Pertanyaan-pertanyaan mengantri rapih di kepalaku, mereka menunggu jawaban-jawaban itu datang. Setiap saat mulutku tidak ada hentinya melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada teman karibku, Zakiyyah Almahira.
Kami biasa menyapanya Alma. Dia berasal dari Lamongan, kemudian pindah ke Palembang. Dia seorang murid yang cerdas dan terpandang di pondok ini. Di usianya yang lebih muda tiga tahun dibawahku, ia berhasil menghafal dan mentadaburi Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, ia juga telah menguasai empat Mazhab. Kecerdasannya menurun dari Kakek buyutnya yang berguru dengan Syeikh Raden Qasim yang memiliki keunikan dalam menyebarkan Islam di Lamongan, yaitu menabuhkan gamelan sebelum beliau menyampaikan dakwahnya. Diriku sangat beruntung dapat berteman dengan Alma yang silsilah keluarganya berperan dalam menyebarkan Islam. Begitu pula dengan Alma, ia bertekad untuk meneruskan perjuangan kakek buyutnya yang terputus jauh dari keturunan sebelum ia lahir. Bahkan Ayahnya pula tidak meneruskan dakwah itu. Maka dakwah itu akan diteruskan oleh Alma.

Cita-citaku sama sepertinya, aku ingin menjadi seorang Mubalighah. Maka, aku akan berjuang keras dalam menggali ilmu di pondok ini. Aku tidak ingin mengecewakan keluargaku, dan warga desaku yang menunggu kepulanganku dan mengharapkanku agar membawa perubahan kepada desa itu.

***


Di bawah terik matahari yang panasnya sedikit menurun dari hari-hari sebelumnya karena musim kemarau, aku duduk di bangku taman depan asramaku. Aku termenung memikirkan masa depanku nanti. Apakah semua impianku akan terwujud? Pertanyaan itu terus-menerus datang secara tiba-tiba. Sehingga membuatku terus melamun memikirkannya.

"Nin, sedang apa kamu?" Tanya Alma yang berhasil menyadarkanku dari lamunanku.

"ehh,Alma. Sejak kapan kamu disini?"Tanyaku balik.

"huft. Aku bertanya, kamu balik tanya."

"maaf, Alma."

"yasudah lupakan saja. Daripada kamu melamun memikirkan sesuatu yang hanya membuang waktumu sia-sia, lebih baik kamu ikut aku yuk!" ajak Alma kepadaku.

"kemana?"Tanyaku.

"ke tempat yang bermanfaat." Jawabnya singkat dan beranjak pergi dari taman menuju koridor asrama.

Aku mengikuti langkahnya dari belakang. Kami melewati koridor asrama yang berujung ke masjid. Hatiku bertanya-tanya 'kenapa Alma membawaku ke masjid?, padahal ini waktu istirahat siang'. Kami memasuki masjid yang terdapat beberapa orang yang telah duduk melingkar, di tengah mereka terdapat seorang kyai terpandang di pondok ini, yaitu Kyai Ahmad. Alma menempati lingkaran yang kosong, lalu aku ikut duduk di sampingnya.

"luangkan waktu kalian untuk belajar. Liqo ini terbuka untuk umum. Beruntunglah kalian yang hadir disini. Pahala dapat, ilmu dapat." Sekilas pembukaan dari Kyai Ahmad.

"Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang jihad. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Hajj:78 "Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya..." Jihad artinya berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah. Perlu kalian ketahui, jihad tidak hanya dalam medan perang. Jihad bermakna luas. Berdirinya kalian di pondok ini untuk menuntut ilmu termasuk jihad. Melawan hawa nafsu termasuk jihad. Jadi, jika kalian ingin berjihad, tidak harus ke medan perang. Cukup kalian bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama dan melawan hawa nafsu kalian... Mungkin ada yang ingin bertanya soal jihad, sebelum saya tutup majelis ini"

Alma menyenggol bahuku. Aku tahu yang dimaksudnya. Ia ingin aku melontarkan pertanyaan kepada Kyai Ahmad. Tapi, tidak ada pertanyaan yang muncul di kepalaku. Mungkin aku sudah paham apa yang di jelaskan Kyai Ahmad, jadi aku hanya terdiam.

Detik demi detik berlalu. Tidak ada seorang pun yang melontarkan pertanyaan, termasuk Alma karena dia lebih paham di antara kami. Kyai Ahmad menutup majelisnya dan kebetulan adzan ashar berkumandang. Para santri merapat ke masjid untuk menunaikan Sholat Ashar berjamaah. Aku dan yang lainnya tidak kembali ke asrama karena kami sudah bersiap untuk sholat. Selagi menunggu semua kumpul, Alma mengajakku muraja'ah dengan surat yang sudah aku hafal secara bersamaan.

Sholat Ashar berjamaah berlangsung dengan sempurna. Para santri kembali ke asrama dan menjalankan aktivitas mereka masing-masing. Lain denganku dan Alma, kami menetap di masjid bersama Al Qur'an. Aktivitasku selama setahun ini teratur dengan keberadaannya Alma di sampingku. Aku sangat bersyukur memiliki teman seperti dia yang membawaku dalam kebaikan.


***


Hari-hari berikutnya, islam semakin melekat di jiwaku. Aku semakin mengenal islam beserta faham-fahamnya yang berbeda. Semua itu karena Alma yang terus membimbingku menuntut ilmu di tempat ini. Dia juga yang mengajariku semua mata pelajaran yang tidak aku mengerti. Dia pula yang menyemangatiku saat-saat sulitku menghafal semua mata pelajaran dan Al Qur'an. Ia memberikan kepadaku metode-metode agar mudah menghafal. Peran Alma sangat penting dalam masa depanku. Aku sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluargaku. Bagiku Alma adalah mawar yang mekar indah seperti wajahnya yang cantik, mawar yang harum seperti akhlaknya. Hingga semua orang tertarik untuk mendekatinya. Itulah Zakiyyah Almahira, mawar kesayanganku yang akan aku jaga agar tidak layu.


●~●~●

Lentera yang PadamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang