Aku berlari kecil ke arah pengantin. Seseorang yang tengah membawa piring yang berisi nasi dan lauk pauk menabrakku dan menumpahkan makanan itu ke lantai, bajuku terkena percikannya. Kami berdua segera merapihkan makanan yang berserakan di lantai.
“maaf, saya tidak lihat” kataku
“seharusnya saya yang minta maaf. Sebenarnya saya melihat anda, tapi saya tidak sempat menghindar.” Pengakuan seseorang yang kutabrak.
Kami saling menyalahkan diri sendiri. Hingga akhirnya akulah yang mengalah. Dan kami saling memaafkan satu sama lain. Kemudian kami saling berkenalan. Dia seorang pria bernama Luqman Mahendra, biasa di panggil Luqman. Usianya dua tahun di atasku. Ia berasal dari Palembang yang kemudian berhijrah ke Pulau Jawa untuk menimba ilmu, dan bersinggah di Bandung, tempat kelahiranku.
Setelah berkenalan dan berbincang sebentar dengan Luqman, kami membubarkan pertemuan kami dan kembali ke aktivitas masing-masing. Aku beranjak ke singasana pengantin untuk berpamitan pulang.“Nin, sepertinya kamu sedang senang sekali. Sejak tadi ku melihatmu berjalan ke arahku, wajahmu tiada hentinya mengukir senyum. Ada apa gerangan?” jelas si pengantin perempuan yang membuatku merasa malu karena di perhatikan.
“Tidak ada apa pun. Aku hanya ingin tersenyum sendiri saja.” Jelasku dengan kebohongan hati.
Karena takut di lontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti tadi, aku segera pergi dari acara pernikahan temanku itu.
***
Di pertengahan jalan menuju rumahku, selintas ku terbayang sosok pria itu.
Perasaan apa ini?
Kenapa pertemuan tadi membuatku salah tingkah?
Apa yang terjadi denganku?
Apa aku jatuh cinta?
Tapi, aku baru kenal dengannya beberapa jam yang lalu. Sudahlah aku tidak ingin memikirkannya lagi. Sebaikya ku buang jauh-jauh perasaan ini agar tak berujung ke zinah hati.
Setibanya ku di rumah, aku bergegas ke masjid untuk menenangkan pikiranku. Di masjid aku bisa meluangkan waktu bersama Al-Qur’an sembari menunggu adzan ashar berkumandang.
Seusai sholat berjama’ah, aku segera kembali ke rumah untuk bertemu ibuku. Karena sudah setengah hari ku habiskan waktuku di luar rumah. Saatnya untuk menghabiskan waktuku bersama orangtuaku.
Seperti biasa, setiap sore hari keluargaku biasa berkumpul menghabiskan waktu bersama. Biasanya kami duduk-duduk di ruang keluarga sambil menonton Televisi atau kadang di teras rumah sembari aku menyirami kembang hias milik Ibu dan Bapak meminum teh ditemani Ibuku yang senantiasa mendampinginya sambil sesekali memijit pundak atau pun kaki Bapak yang letih bekerja.
Keluarga kami memang bukanlah keluarga kaya raya yang memiliki segudang fasilitas mewah. Namun, hati kami selalu penuh kebahagiaan ketika berjumpa satu-sama lain. Keluarga sederhana yang penuh makna.
“Gimana Nak pernikahan teman mu tadi?” Tanya Ibu kepadaku.“Alhamdulillah Bu, lancar. Tamu undangannya ramai. Langit pun cerah walau udara agak dingin. Hawanya pas banget buat pesta pernikahan.” Aku menjawab sembari memandangi deretan mawar merah yang mekar merekah. Begitu cantik.
“Ibu tidak menyangka temanmu itu sudah nikah. “ujar Ibu.
“dia yang dulu suka main kesini kan ya?”
“Iya Bu.” Jawabku.
Temanku Ina. Ia teman semasa SMP. Kami tumbuh remaja bersama. Aku pun cukup terkejut mendengar kabar bahwa ia akan menikah. Aku tahu kisahnya hingga sampai berujung ke pelaminan. Ina adalah mahasiswa jurusan Politeknik kesehatan. Ia merupakan mahasiswa yang aktif dalam belajar dan berorganisasi di kampusnya. Ia terlibat dalam Badan Eksekutif Mahasiswa. Disanalah dia bertemu dengan Mas Farhan, si Ketua BEM, yang sekarang menjadi suaminya.
Ina amat terkejut ketika Mas Farhan tiba-tiba datang kerumahnya dan tengah bercengkrama begitu akrab dengan kedua orang tuanya. Ternyata Farhan adalah anak teman Ayah Ina ketika satu tempat kerja di Desa. Dan ternyata Farhan telah menyimpan perasaan kepada Ina semenjak mereka sering bertemu dalam kegiatan BEM. Ina berkata kepadaku bahwa Farhan adalah laki-laki yang gentle dan tangguh. Ia mampu meyakinkan Orang tuanya untuk menikahi Ina sesegera mungkin. Kami, teman-temannya hanya menyengir bahagia mendengar Ina bercerita panjang lebar tentang pertemuan Ia dengan sang Suami.
Aku mengulum senyum mengingat cerita Ina. Allah memang sudah menentukan garis takdir setiap hambanya. Rezeki, jodoh, bahkan kematian. Dan setiap orang ternyata punya cerita masing-masing bagaimana dipertemukan dengan jodohnya.Bagaimana ya dengan ku?
Bagaimana cara Allah mempertemukanku dengan lelaki pilihannya?
Kalau Ina dengan kakak kelas di kampusnya, apakah aku akan bertemu dengan teman SMA ku?
Atau teman SMP ku?
Atau santri pondok lain?
Ya walaupun kami tak pernah saling kenal karena tidak semua teman seangkatanku ku kenal, hanya beberapa saja yang ku kenal. Sstt…entah kenapa tiba-tiba terlintas dibenakku kejadian saling tabrak di pernikahan Ina tadi. Luqman Mahendra namanya. Aku tak mengenalnya.
“Ninda!” suara berat Bapak memanggilku.
“Iya Pak..”
“ini Bapak minta tolong..” ucapan Bapak terpotong sesaat.
Beliau memicingkan matanya melihat secarik kertas,“Bapak kemarin pesan sajadah untuk souvenir Haji Pak RT. Ini nomor rekeningnya. Coba kamu kirimin uangnya ya kerekening ini. Terus kasih ke Bapak struk nya.”
“coba mana Pak kertasnya?” aku mendekati Bapak.
Bapak mengulurkan secarik kertas berisikan kartu nama sebuah agen barang oleh-oleh Haji. Kubaca kartu nama itu, dan mataku terbelalak ketika mendapati sebuah nama yang tak asing.
“Luqman Mahendra?” Tanyaku.
“Iya, itu transfer ke Luqman Mahendra ya…”Ujar Bapak.
“Pak, yang punya toko itu namanya Luqman Mahendra?”Tanyaku penasaran.
“Bukan, yang punya toko itu teman Bapak, namanya Wahyu. Luqman itu nama anak angkatnya yang bekerja sebagai pegawai di toko itu.” Jawab Bapak.
“Lalu, kenapa transfer uangnya ke rekening Luqman, sedangkan pemiliknya Pak Wahyu?” tanyaku penasaran.
“Mungkin Pak Wahyu sedang keluar kota, sehingga Luqman yang menggantikan posisi Ayah angkatnya.” Ujar Bapak.
Aku hanya terdiam dan mengangguk patuh.
●~●~●
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera yang Padam
EspiritualCERITA INI PERNAH DILOMBAKAN DALAM ACARA PENTAS PAI TINGKAT PROVINSI JAWA BARAT. Tiga tahun Ninda berjuang untuk menuntut ilmu agama di Pondok Pesantren. Kesuksesannya tiada artinya tanpa bimbingan sahabatnya_Alma. Dialah lentera yang menerangi jala...