Part 10 : Bola Basket

2.4K 379 30
                                    

Pulang-pulang dari toserba tengah malam, Erza disambut Hildan yang tengah duduk di sofa ruang tengah. Ucapan lembut dari pertanyaan yang dilontarkan Hildan setelah ia bangkit dari posisinya membuat Erza merasa perasaannya terselimuti rasa gundah yang entah datang dari mana. Ada rasa bersalah karena tidak memberitau pria itu kalau ia pergi tiba-tiba.

Kalau Hildan marah anak gadisnya itu pulang larut, Erza pasti cuma menjawab sekedarnya lantas segera berlalu menuju kamarnya atau mungkin mulai beradu argumen seperti yang pernah ia lakukan dengan orang tuanya.

"Kenapa pulang malam?"

Pelan dan terkesan hangat. Ucapan yang tidak akan muncul jika kamu bukan orang yang sesabar dan seperhatian itu. Cuma satu kalimat baik-baik yang terucap itu bikin Erza merasa kalau ia sebenarnya tidak benar-benar sendiri di dunia ini.

"Erza—"

Oh my god!

"Anu ... Shena bantuin temen kerja part time." Erza keceplosan menyebut namanya sendiri kalau saja raut bingung Hildan tidak muncul. Untungnya Hildan sama sekali tidak menotice kesalahan kecil yang Erza ucapkan. Yah, mau bagaimana? Erza masih berusaha menyesuaikan sebutan itu untuk dirinya sendiri.

"Kamu kerja part time buat bantuin temen? Harus?"

"Eng... Cuma selama tiga hari. Nggak lebih, sekalian belajar."

Erza bisa merasakan tenggorokannya tercekat untuk beberapa saat sebelum mampu melanjutkan ucapannya. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak pernah ia tau apa itu dari Hildan. Apa memang dari lubuk hati Erza yang paling dalam ia ingin perhatian sosok orang tua dalam hidupnya? Atau ini cuma sekedar perasaan empati setelah berada di tubuh Shena?

"Lain kali mau Ayah jemput?" Tawar Hildan.

Erza cukup terkejut dengan tawaran Hildan. Ia tidak Menyangka pria itu akan dengan senang hati menawarinya.

Kenapa baru sekarang perhatiannya? Kenapa nggak dari dulu?

"Nggak usah, Shena bisa sendiri."

"Yakin?"

"Yakin."

***

Entah keluyuran malam-malam, balapan liar, atau sekedar mengunjungi diskotik atau bar, Arhan masih sosok remaja biasa yang suka main basket di lapangan sekolah bareng temen-temennya. Tenaganya memang sebanyak itu sampai ia mampu meloloskan jam olahraga ke jam istirahat hanya untuk melanjutkan permainan basketnya.

Meski keringat mengalir mulus di kulit putihnya dan sekitar pelipis yang bikin dia tampak bukan manusia saking indahnya, cowok itu tetap bersemangat seolah tidak ada hari dimana ia bisa sesemangat ini. Pancaran matanya dan senyumnya yang mengembang kala bola itu masuk ke keranjang bikin cewek manapun bakal langsung klepek-klepek.

Memang, meninggalkan kantin hanya untuk sekedar menikmati permainan gengnya Arhan bukan masalah buat para pemujanya. Mereka bisa betah selama apapun yang penting idola sekolahnya itu bisa melirik mereka sekilas ke pinggir lapangan.

Arhan luar biasa karena tenaganya bisa segede itu. Tangannya meluncur memberikan bola pada Bryan yang sayangnya tidak mampu ditangkap cowok itu. Membiarkan bolanya terbang keluar lapangan dan malah menubruk seseorang yang lewat tanpa ampun.

"Hana!" Nabila memekik saat bola basket yang melayang tepat ke kepala Hana membuat gadis itu limbung dan ambruk ke tanah.

Seriusan, Hana nggak lebay, emang bolanya sekeras itu. Bryan yang ngerasa bola itu lolos darinya merasa bersalah dan berlari ke arah Hana. Arhan yang sama terkejutnya dengan anak-anak yang lain segera menghampiri Hana yang tergeletak.

Supernumerary : FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang