Dimensi yang Berbeda

129 14 4
                                    

Sebelum baca klik dulu
Bintangnya
🌟🌟🌟

Tengkyuuuu buat yang udah VOTE
😘😘😘😘😘

Dimensi yang berbeda

Sorot cahaya matahari mengenai jendela kamarku, aku tersadar ternyata pagi telah tiba. Aku membuka mata dan diam untuk sesaat, tetiba memikirkan bahwa sekarang aku masih diberikan kehidupan. Kehidupan yang sesungguhnya teguran bagiku, untuk bersegera kembali menuju titah-Nya. Aku beranjak pergi, untuk membasahi setiap bagian dari tubuhku. Tanpa ku sadari buliran bening tiba-tiba menetes membasahi pipi tanpa ku pinta. Pikiran yang langsung tertuju pada foto Ayah yang terpampang jelas di meja belajar ketika aku hendak melewatinya. Aku duduk sejenak termenung memikirkan setiap adegan yang dihabiskan bersama Ayah. Mengusap-usap foto itu seakan aku bisa meraihnya.

Tok tok tok...

Ketukan segenggam tangan membuatku spontan sadar dari pikiran yang larut dalam kesedihan.
"Nay udah bangun belum?"
Suara menggema kak Farhan mencoba memanggilku.
"Hmm ini udah kok." Jawabku sembari menghapus air mata yang masih membasahi pipi.
"Oke, Kakak sama Bunda nunggu di meja makan. Kita kan harus cepat pergi." Ujar kak Farhan pelan.
"Hmm oke kak".

Aku pergi beranjak dari kursi yang membuatku berhenti sejenak, menaruh kembali pigura yang berisi Ayah, Bunda, kak Farhan, dan aku. Pigura itu berisi foto keluarga kami saat terakhir kalinya pergi berlibur ke Labuan Bajo, tempat impian sejuta umat.

*******

"Jangan sampai ada barang yang tertinggal yah." Ucap Bunda kepadaku dan kak Farhan.
Kami mengemasi barang-barang untuk dibawa pergi ke Bandung. Tempat asal kami tinggal pada awalnya.
Aku mulai menata rapih barang-barang ku untuk dimasukkan ke dalam kardus, setiap barang yang ku masukkan ternyata memiliki cerita dengan Ayah. Rasanya begitu menyakitkan, aku merasa sulit bahkan hanya untuk mengangkat barang-barang itu.

Lemahnya diriku setiap memasukkan barang-barang sembari menahan air mata. Hingga pada satu barang yang menyisakan banyak cerita. Sebuah puzzle. Sederhana sekali bukan? Yang menurut sebagian orang benda biasa tak ada bagusnya. Lain lagi bagiku, ini sangat istimewa. Aku mengingat ketika aku berumur empat tahun, merengek kepada Ayah dan Bunda karena tak memiliki puzzle seperti teman-temanku. Hingga pada satu titik di mana aku dihadiahi puzzle. Rasanya saat itu aku adalah orang yang paling bahagia. Aku dengan semangat menyusun setiap puzzle agar menjadi satu kesatuan yang utuh. Saat bangun dari tidur aku menyusun puzzle, hingga aku akan tidurpun aku menyusun puzzle. Aku melakukannya dengan Ayah, rasanya begitu indah. Seperti teka-teki di mana aku harus menemukan jawaban yang benar dengan meletakkan puzzle di tempat yang seharusnya.

Butiran kristal yang dari tadi berjuang ku bendung ternyata tak bisa. Lagi-lagi tumpah tanpa diminta.

"Nay..." Panggil kak Farhan.
"Nayla..." Kali ini tangannya mendarat di bahuku.
"Hmm iya." Aku menoleh dan terperangah.
"Udah nangisnya?" Tangan besar kak Farhan kali ini mengusap air mataku.
"Nggak kok."
Aku menepis pelan tangan kak Farhan. Dan setelahnya aku memalingkan wajahku. Aku terlalu malu jika harus membiarkan kakakku itu melihatnya.

*******

Jakarta, kota yang menjadi tempat aku tumbuh hingga sebesar ini. Memunculkan banyak cerita, hingga goresan tinta pun tak mampu untuk menjabarkannya. Kini aku dan keluarga yang tersisa harus beranjak pergi. Sebenarnya bukan keinginan diriku ataupun keluargaku. Tetapi, seolah-olah keadaan lah yang mengharuskannya.

Hal positif yang ku dapat dari perpisahan dengan rumah ini adalah kenangan. Kenangan yang tak akan bisa utuh menghantuiku. Aku bisa sedikit lebih cepat mengikhlaskan perihal kepergian Ayah. Meski rasanya sulit, seperti ada yang mengganjal hidungku yang membuatku sulit bernafas.

"Kita pergi yah!"
Suara lirih Bunda tepat berada di samping aku dan kak Farhan yang tengah memandang rumah minimalis itu.
"Boleh aku ucapkan selamat tinggal Bun?" Tak ku sangka kak Farhan mengatakan itu.
Bunda tersenyum dan menoleh kepadaku dan kak Farhan.
"Tentu saja boleh."
Seketika kak Farhan berucap dengan suaranya yang kali ini begitu rendah, tak meninggi seperti biasanya.
"Aku tak tahu rencana Mu Tuhan, tapi ingin ku katakan, aku bersyukur atas apa yang telah Kau berikan, meski itu singkat. Tolong sampaikan pada Ayah. Aku mohon maaf selama sisa hidupnya aku masih belum sempurna berbakti padanya. Terimakasih untuk setiap peluh keringat yang keluar untuk sebuah tanggung jawab. Semoga tenang di sana meski kini dimensi kita berbeda Ayah.".

Tiba-tiba saja kak Farhan menangis tersedu-sedu setelah mengutarakan isi hatinya. Aku tak menyangka dia akan seperti itu. Aku kira karena dia laki-laki yang gagah dan pemberani tak akan sampai mengeluarkan tangisannya di depan ku ataupun Bunda. Tapi ternyata terkaanku kini salah, dia juga sama seperti manusia lainnya. Ada fase di mana kak Farhan pun bisa menangis seperti ku. Hanya saja mungkin dia lebih kuat membendungnya.

Bunda spontan memeluk erat kak Farhan, aku pun ikut serta karena tak kuasa menahan kesedihanku. Air mata kami sama-sama tumpah. Tak peduli bahkan ketika orang lain melihat dan mengatakan kami lemah. Rasanya begitu menyakitkan, seperti ada ratusan jarum yang tertancap di hati kami.

*******

Perjalanan menuju Bandung cukup memakan waktu banyak. Di mobil aku menatap jendela dengan membayangkan begitu tak percayanya akan hari ini. Hari yang tak pernah terbersit sedikit pun dalam pikiranku. Kembali ke tempat asal di mana aku dilahirkan. Kembali ke sana tanpa Ayah yang menaungi ku.

Rasanya baru kemarin aku bersenda gurau dengan Ayah. Menyusun setiap mimpi yang ku rangkai dengan Ayah. Kini tak lagi, dua minggu telah ku lalui tanpa Ayah. Tempat keluh kesah yang ku andalkan telah pergi. Suka duka yang menanti ku di masa yang akan datang harus ku tangani sendiri. Sudah tak ada lagi campur tangan Ayah disitu.

Jika aku tak terima takdir Tuhan pasti aku akan gila. Segudang pertanyaan memenuhi otak ku, membuatku ingin menyerah melanjutkan hidup ini. Kenapa harus Ayah? Kenapa penyakit diabetes itu harus menjadi jalan kematiannya? Kenapa Tuhan mengambil Ayah ketika aku berada di titik terendah hidupku? Kenapa Ayah pergi ketika caraku berbakti kepadanya terasa belum pantas? Kenapa rasanya begitu berat? Kenapa luka ini masih saja tersemat? Kenapa perpisahan terasa amat menyakitkan, hingga untuk berdiri pun rasanya aku tak mampu?

Sekarang, segudang pertanyaan itu aku berusaha tutup rapat-rapat. Menerima setiap alur cerita yang telah ditentukan oleh-Nya. Beserah diri atas ketentuan yang diberikan oleh-Nya. Meski sulit, seiring berjalannya waktu pasti mampu. Meyakinkan dalam jiwa bahwa semua orang diuji dengan batas kemampuan dan porsinya masing-masing.

Dimensi yang berbeda
Bukan sebatas tiga kata yang terlukis begitu saja. Makna yang tersirat cukup tak terkira.

Ayah....

Meski dimensi kita telah berbeda bukan berarti aku tak akan menemui mu lagi. Hanya saja persinggahan kita tak sama. Aku berdo'a dan berharap pada Tuhan kita akan bertemu, berkumpul, bersama kembali. Ya meski aku sadar itu tak mudah. Tak cukup hanya dengan merayu Tuhan dalam do'a. Aku pun harus barengi dengan usaha. Usaha yang tak hanya ucapan belaka, usaha yang memang aku raih dengan berbagai cobaan, bantingan, pelintiran, lipatan, guntingan, dan tangisan.
Mari bertemu kembali di tempat abadi yang bukan persinggahan seperti bumi. Tempat yang memang diperuntukkan untuk mereka yang mau berjuang. Hari ini, saat ini, detik ini, aku ikhlas melepas kepergianmu Ayah, meski aku melakukannya dengan perlahan.

Jum'at, 13 Agustus 2021

Hargai karya gw
Dengan klik
VOTE
🌟

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang