Konsep dunia itu memusingkan. Alasan, alasan, dan alasan. Segala sesuatu yang ada selalu diikuti oleh alasan di belakangnya. Begitu cara berfikir Mai, sahabat [Name] sejak sekolah menengah akhir.
[Name] tidak membantah cara Mai berfikir, bahkan terkesan membenarkan. Cara berfikir keduanya itu tergolong hampir sama, mereka bukan wanita dengan cara berfikir lembek hingga mudah dipengaruhi.
Isi kepala mereka tidaklah cocok diinjak-injak oleh masalah sepele seperti laki-laki dan asmara. Mereka wanita kuat dengan ideologi tergolong ideal untuk wanita jaman sekarang. Tapi apakah semua wanita memiliki cara berfikir yang sama seperti mereka? Apakah mental semua wanita sekuat itu? Dan juga, apakah harga diri wanita setinggi Mai dan [Name]?
Tapi terkadang, kebanyakan orang salah menilai harga diri tinggi mereka hingga terlihat seperti orang angkuh.
Faktanya, sejak dulu Mai dan [Name] menjadi duo perebut lampu sorot sosial. Mereka berdua termasuk orang yang terkenal semasa jaman sekolah. Karena apa? Isi kepala mereka, tentu saja. Walau sebagian orang bodoh mengatakan, [Name] ikut terkenal karena kecantikan dan kepopuleran Mai saja.
Padahal orang itu tidak tahu bagaimana situasi aslinya.
Percaya, tidak percaya, Mai itu sangat mengagumi sosok [Name]. Bukan sebaliknya.
"Kau pasti bercanda ... itu tidak mungkin!" Nada bicara Mai nampak tak santai. Sama terkejutnya dengan orang yang sedang tertaut sambungan telepon, [Name].
[Name] menghela nafas kasar, "Aku serius, Mai. Aku tak akan membicarakan lelucon seperti itu. Aku jelas-jelas melihat putranya dengan mata kepalaku sendiri!"
Pusat dada [Name] berdenyut sakit untuk kesekian kalinya, mengingat rupa anak itu yang serupa dengan ayahnya. Hanya saja warna rambut dan netranya tidak sama.
Wanita itu terisak. Akhirnya sesuatu yang sudah ia tahan pecah begitu saja. Dia tak habis pikir, kenapa bisa dirinya masih terpuruk menunggu kedatangan belahan jiwa padahal sang tercinta sudah sumringah bahagia meniti rumah tangga bersama orang baru.
"Mai ... aku harus apa?"
Pikir [Name] melayang, ia kembali mengingat sosok wanita yang sudah bersanding dengan pria kesayangannya.
Wajah wanita tadi sangat tenang, lembut sekali. Surainya hijau gelap seperti milik anak laki-laki itu. Tubuhnya tegap, mengenakan pakaian rumah berbalut apron kuning mustard.
[Name] mengaku, dia dan wanita itu tidak sama. Dia seperti tipe wanita yang tunduk pada suami, melayaninya sepenuh hati, lembut dan penyayang. Cocok sekali menjadi pendamping hidup yang Kita idam-idamkan.
Lalu bagaimana dengan dirinya? Dia angkuh, harga dirinya terlalu tinggi hingga tak seorangpun bisa membuatnya tunduk. Dia wanita tegas dan mandiri, [Name] yakin cara mendidik anak versinya akan tiga ratus enam puluh derajat berbeda dari wanita pilihan Kita Shinsuke.
Bahkan, sosok Kita yang sempurna seperti itu sama sekali tidak mau menerima dirinya apa adanya.
Harusnya dia sadar, tak seorang pun di muka bumi ini mau mengalah hanya untuk pasangannya. Mengalah yang dia maksud bukanlah mengalah atas masalah kecil seperti makanan, namun mengalah mengorbankan hidupnya -kebahagiaannya- untuk pasangan hidup. Tidak ada.
Itu sukar.
[Name] harusnya mengerti lebih awal. Dia harusnya membicarakan hal ini dengan Kita lebih awal.
Nafasnya sesak, otaknya memutar memori saat istri Kita menawarkan untuk makan malam bersama mereka. Mungkin karena wanita itu mengenal [Name] sebagai kakak kelasnya. Benar, dia adik kelas [Name] dan seharusnya wanita itu mengerti jika dirinya adalah mantan kekasih sang suami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hiraeth - Kita Shinsuke x reader | FAP
FanfictionLinimasa berperistiwa simpan baik-baik kenangan masa hijau layaknya air yang menyimpan emosi bahtera. Usik ia, bawa ia kembali, paksa ia duduk manis saksikan kilas balik kisahnya sendiri. Biarkan musim gugur putarkan pita film, hiraukan usahanya 'tu...