Prolog

3.5K 334 3
                                    

Halo, Teman-teman ... aku datang dengan kisah baru. Ini kisah sedang dalam proses editing. Kisah ini ikut dalam parade menulis di grup penulisan di Facebook.

Oh iya, sekadar tahu, bahwa kisah ini berhasil berada di peringkat dua. Alhamdulillah 😍

Langsung aja dibaca yuk 😘

**

**

Prolog

Tubuh Aretha bergetar, keringat dingin keluar membasahi tubuh. Matanya nanar menatap alat pendeteksi kehamilan di tangannya. Jelas terlihat dua garis merah di sana.

"Nggak! Ini pasti salah! Nggak!" pekiknya dengan air mata mengalir.

"Aretha, buka pintunya! Katakan ada apa?" Terdengar suara khawatir dari depan pintu.

Seolah tersadar, dia segera mengusap air mata kemudian membuka pintu.

"Jayden!" panggilnya seraya mengangkat testpack ke arah lelaki di depannya.

"Aku hamil ...."

Sejenak pria itu diam, tetapi tak lama ia segera merengkuh tubuh perempuan di depannya. Matanya menyiratkan beragam perasaan. Dia pun sama seperti Aretha, kaget dan cemas.

Aretha dan Jayden adalah sepasang anak muda yang di mabuk cinta. Tiga tahun berpacaran mengabaikan norma yang seharusnya, mereka larut dalam pergaulan bebas. Hingga terjadilah hal yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Jayden, pria dari keluarga berada dengan semua kemewahan yang dimiliki, tak susah untuk memiliki apa pun yang dia inginkan. Kesibukan orang tuanya membuat dirinya menjadi remaja yang lepas kendali. Meski sang papa adalah salah satu donatur sebuah yayasan besar di kotanya, tak menjadikan Jayden merubah kebiasaannya.

Setali tiga uang dengan Aretha. Tinggal dengan orang tua yang sibuk dan selalu bepergian ke luar kota untuk bisnis, menjadikan dia remaja yang manja dan mencari perhatian dengan hal-hal yang negatif.

"Aku akan tanggung jawab! Kamu nggak perlu bimbang," bisiknya yakin.

Meski besar dengan limpahan materi tanpa perhatian dan belaian kasih orang tua, tak menjadikannya abai atas semua kesalahan yang telah dia lakukan.

Aretha mengurai pelukan, matanya menyipit kemudian menggeleng.

"Kamu sadar nggak sih, Jayden! Itu nggak mungkin!"

"Kenapa nggak mungkin? Aku nggak meminta kamu untuk melenyapkan calon anak aku!"

"Jayden! Iman kita beda! Aku nggak mungkin ikut apa yang kamu imani!"

Jayden mengusap wajahnya kasar mendengar penjelasan Aretha.

"Lalu? Apa membiarkanmu hamil tanpa suami itu hal yang baik?" tanyanya geram.

Aretha tak menjawab. Bayangan kemarahan orang tuanya menari di kepala. Namun, bukankah apa yang dia lakukan karena cinta? Jika iya, kenapa dia tak mempertahankan cintanya?

"Jayden."

"Ya?"

"Aku takut. Aku takut kalau sampai mereka tahu. Aku pasti ...." Aretha tak meneruskan ucapannya. Dia kembali menenggelamkan wajah ke dalam pelukan pria berdada bidang itu.

Berhura-hura adalah kebiasaannya, kuliah hanya dibuat alasan agar leluasa meminta apa pun pada mama papanya. Kedua orang tuanya itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sang putri. Mereka hanya tahu, Aretha anak rajin kuliah dan selalu mengerjakan tugas dari kampusnya.

"Ada aku, Aretha. Aku, kan sudah bilang kalau akan bertanggung jawab."

"Iya, Jay, aku paham. Tapi nggak semudah itu!" Aretha mendongakkan wajahnya menatap Jayden.

"Hei! Ayolah! Kita diberi kemudahan dalam hidup, kenapa harus berpikir rumit?"  Pria itu mengusap pipi Aretha.

Perempuan berambut cokelat itu mendengkus.

"Kamu selalu begitu, Jay! Semua kamu anggap enteng!"

"Lalu? Menurutmu apa yang harus aku lakukan? Berteriak panik? Atau ...."

"Aborsi! Aku mau aborsi!"

"What! Aborsi? Kamu gila, Retha!"

Aretha mengurai pelukan kemudian membuat jarak. Sambil melipat tangan ke dada dia berkata, "Aku akan lebih gila lagi kalau mereka tahu, Jayden! Aku bisa mati!"

"Nggak! Buang ide gilamu itu! Kamu tahu resiko aborsi?" Jayden melangkah mendekat. Perlahan dia membingkai wajah Retha dengan tangannya.

"Aku tahu apa yang kita lakukan salah. Agamaku juga melarang itu, tapi pasti ada jalan keluar! Dan jalan keluar itu bukan seperti yang kamu pikirkan barusan, Aretha."

Lagi-lagi perempuan bercelana denim itu mendengkus.

"Lalu? Apa kamu mau masuk agamaku?" tanyanya dengan mimik muka serius.

"What?" Jayden sedikit memekik dengan kening berkerut. "Masuk agamamu? Supaya apa?"

Retha mendecak kesal.

"Satu-satunya agar kita bisa menikah adalah seagama! Karena di agamaku nggak boleh menikah dengan pria yang beda agama, begitu juga sebaliknya!" paparnya.

Pria berhidung mancung dengan cambang tipis itu dengan cepat menggeleng.

"Nggak, Retha! Aku nggak mungkin mengubah keyakinanku semudah itu! Aku nggak mau mempermainkan keyakinan karena kesalahan ini! Aku rasa kamu tahu itu!"

Aretha tersenyum getir. Penyesalan memang selalu di akhir. Kini dirinya hanya bisa meratapi nasib sambil berpikir bagaimana menyelesaikan masalahnya. Dia tahu tidak semudah itu mengajak Jayden mengubah keyakinan, tetapi dia juga tidak bisa bertahan dengan janin di rahim yang disebabkan kesalahan mereka.

"Sori, Aretha. Aku nggak bisa mengikuti apa yang kamu yakini. Aku ...."

"Aku tahu, Jay. Itu sebabnya aku berpikir untuk menggugurkan kandungan ini sebelum dia semakin berkembang!"

Jayden mengambil korek api lalu menyalakan rokok yang sejak tadi berada di antara telunjuk dan jari tengahnya. Kepulan asap seperti menggambarkan kegalauan perasaan mereka berdua.

"Aretha, aborsi itu artinya membuang apa yang diberikan Tuhan pada kita. Selain itu, apa kamu pikir dengan melakukan hal itu masalah selesai? Nggak semudah itu, Retha!"

"Tapi setidaknya masalah janin ini selesai, Jayden!"

"Kamu pikir nggak ada efeknya?"

Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Iring-iringan burung bergerak bersama di awan sebagai penanda senja.

"Kita harus bertemu orang tuamu!" cetus Jayden mengakhiri perdebatan.

**

Pipi Aretha memerah setelah mendapat tamparan dari sang ayah. Seperti yang diduga, kedua orang tuanya murka. Jayden pun tak luput dari bogem Pak Iwan ayah Retha. Namun, pria itu tak gentar, dengan dia berulang kali meminta maaf.

"Kamu pikir semudah itu anak muda? Kamu telah merusak anak saya!"

"Tapi saya bertanggung jawab, Om."

"Cukup! Kamu harus gugurkan kandungan itu!"

**

Di Ujung Rindu- Sudah Terbit. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang