**
"Bukan begitu, Ustaz?" tanya Nenek menatap Ustaz Amir.
Pria berpeci hitam itu mengangguk takzim kemudian memalingkan wajahnya ke arah Jayden.
"Benar, Jayden. Ada tiga perkara yang tidak boleh ditunda, yakni salat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah dimandikan dan dikafani, dan wanita apabila telah ada calon suaminya," terang pria itu.
Jayden mengangguk paham, sejurus kemudian menatap Bisma.
"Kamu bisa hubungi WO segera?" tanyanya. "Aku akan mengurus persyaratan pernikahan. Jadi untuk pesta aku serahkan ke kamu," lanjutnya lagi.
"Siap!" sahut Bisma antusias.
Tersenyum Jayden menatap Nenek.
"Saya akan usahakan sepuluh hari terhitung hari ini, insyaallah. Saya akan meresmikan hubungan kami," tuturnya yakin.
"Ustaz, saya tetap meminta tolong Ustaz ya. Semoga Ustaz bersedia membantu saya," mohonnya dengan wajah cerah.
Ustaz Amir tersenyum lebar, dia menepuk bahu Jayden seraya berkata, "Insyaallah saya bersedia membantu niat baikmu, Jayden. Pesan saya cuma satu, tetaplaj istikamah!"
**
Aretha menemani Zefa bermain di halaman samping. Wajah perempuan berdagu lancip itu terlihat mendung. Hanya sesekali dia melebarkan bibir ketika putrinya bercerita tentang dua kucing peliharaannya.
"Mama."
"Iya, Zefa?"
"Kata Papa, sebentar lagi Bunda Fayra akan tinggal di sini," ucapnya dengan sorot mata gembira.
"Zefa senang?" tanyanya datar.
"Senang, Ma! Kata Papa, Zefa bakal punya dua ibu yang sayang sama Zefa. Satu Mama, satu lagi Bunda!" jawabnya.
Aretha tersenyum getir.
"Zefa."
"Iya, Ma?"
"Zefa pernah dengar tentang ibu tiri?"
Bocah polos itu menggeleng lalu mendekat ke Aretha. Matanya jelas menandakan ingin tahu sesuatu.
"Ibu tiri itu apa, Ma?"
Perempuan itu tersenyum tipis. Dia menepuk ruang kosong di sampingnya memberi isyarat agar Zefanya duduk.
"Zefa mau tahu tentang ibu tiri?"
Putrinya mengangguk. Aretha kemudian menarik napas dalam-dalam dan mulai menceritakan siapa dan apa yang disebut dengan ibu tiri. Sementara Zefa tampak mendengarkan dengan penuh ketertarikan. Sesekali dia merapikan rambut tebalnya yang tertiup angin.
"Jadi ibu tiri itu bukan seperti Mama?"
Aretha menggeleng.
"Tidak seperti Mama, karena bukan dia yang melahirkan Zefa."
Sejenak Zefa berpikir.
"Jadi, nanti Zefa punya ibu tiri? Bunda Fay berarti ibu tiri Zefa?"
"Iya, Sayang."
"Mama bilang ibu tiri itu nggak sayang sama yang bukan anaknya?"
Aretha mengangguk.
"Tapi, Ma. Bunda Fayra sayang sama Zefa."
"Oh ya? Kan Zefa belum pernah tinggal lama dengan Bunda Fayra. Biasanya ibu tiri itu akan berubah ketika sudah tinggal agak lama."
"Agak lama?"
"Iya. Dia akan mulai menyuruh-nyuruh, melarang ini melarang itu. Pokoknya bikin bete deh," paparnya menatap sang putri.
Kembali Zefanya diam. Bocah kecil itu tampak berpikir.
"Nanti Zefa nggak boleh ketemu Mama dong?"
"Bisa jadi begitu."
"Tapi, Ma. Papa bilang Zefa boleh kapan pun ketemu Mama."
"Papa memang bilang begitu, tapi Zefa, kan nggak tahu apa kata ibu tiri Zefa nanti?"
Mendadak wajah bocah kecil itu berubah muram. Dia mulai resah dengan penjelasan soal ibu tiri. Melihat perubahan di paras Zefanya, Aretha tersenyum.
"Zefa, kalau Zefa nanti disuruh-surih atau dilarang ini itu, Zefa bisa bilang ke Mama. Biar Mama nanti yang tegur ibu tiri Zefa. Oke?"
Zefanya mengangguk mengerti.
**
Fayra mematut diri di depan cermin. Sebuah gaun panjang berwarna putih bersih dengan hiasan payet yang indah menambah aura kecantikannya. Meski wajah tanpa make-up, tetap saja perempuan berkulit putih itu memesona.
Seorang kurir mengantarkan gaun cantik itu untuknya. Gaun yang akan dikenakan saat pernikahannya nanti.
"Cucu Nenek cantik sekali!"
Senyum Fayra terbit dengan pipi merona.
Perempuan sepuh itu mendekat kemudian duduk di bibir ranjang, diikuti Fayra.
"Sayang, akhirnya tiba juga saat ini. Saat di mana kamu sudah waktunya Nenek lepas," tuturnya.
"Kelak setelah ijab kabul diucapkan, sepenuhnya kamu harus berbakti padanya. Dia imammu. Ingatkan dengan baik jika dia lupa. Jaga kehormatannya, bersikap lemah lembutlah padanya. Ingat, Fayra, surga seorang istri itu ada pada suaminya tentu saja selama sang suami tidak bermaksiat kepada Allah. Kamu paham itu kan, Fay?"
"Paham, Nek."
Nenek tersenyum lebar seraya mengusap pipi cucunya.
"Setiap rumah tangga akan ada masalah, kelak ketika kamu temukan batu sandungan itu, Nenek harap kamu bisa melewatinya dengan baik."
Fayra mengangguk paham.
**
Jayden tersenyum melihat Zefa berlari menyongsong kedatangannya. Sapa renyah dan celotehannya selalu mengalir setiap dia pulang kerja.
"Papa, tadi Mama ke sini."
"Oh ya?"
"Iya, Pa."
Pria itu duduk di teras melepas sepatu berikut kaus kakinya kemudian melonggarkan dasi dan melipat lengan kemeja putihnya hingga siku.
"Papa."
"Iya, Sayang?"
"Ibu tiri itu apa?"
Keningnya berkerut mendengar pertanyaan Zefanya. Sejenak dia diam kemudian tersenyum. Dari dalam muncul Bik Sundari membawa nampan berisi lemon hangat. Setelah mempersilakan majikannya minum, perempuan paruh baya itu kembali ke dapur.
"Papa."
"Iya, Zefa?"
"Ibu tiri itu apa? Siapa?" tanyanya mengulang.
Jayden meneguk minuman hangat yang terhidang kemudian meletakkannya kembali ke meja.
"Zefa tahu soal ibu tiri dari mana? Zefa baca?" Atau ...."
"Mama. Mama yang cerita soal ibu tiri."
Wajah Jayden mengeras mendengar penuturan putrinya.
"Mama bilang ibu tiri itu seperti ibunya Cinderella, Pa. Jahat, nggak sayang sama yang bukan anaknya. Betul ya, Pa?"
Pria itu menarik napas dalam-dalam kemudian bangkit. Dia lalu memberi isyarat agar Zefa masuk.
"Sudah senja. Sebentar lagi azan Maghrib. Kita masuk yuk!"
Zefanya mengangguk menyambut uluran tangan papanya.
"Papa belum jawab pertanyaan Zefa," ungkapnya seraya mendongak menatap sang papa.
"Papa mandi dulu, salat di masjid, nanti selepas Isya', Papa jelaskan. Oke?"
"Oke, Papa," balasnya mengacungkan jempol.
**

KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Rindu- Sudah Terbit.
RomancePerbedaan keyakinan membuat mereka terpisah. Kesalahan besar telah menjadikan pelajaran bagi keduanya untuk kembali menapaki jalan yang benar. Akan tetapi ... apakah keistikamahan keduanya bisa terjaga?