Enoshima, 1938
"Satoru!"
Teriakkan dari sebuah suara berat terdengar dari mulut seorang pria dewasa, remaja berambut putih dengan mata berwarna biru menoleh malas pada kepala keluarga Gojo.
"Apa?" Tanyanya datar.
"Di mana sopan santun mu?" Kepala keluarga Gojo menatap putra semata wayangnya dari atas sampai bawah, memperhatikan kimono cokelat pudar yang robek di bagian betisnya.
"Sudah aku buang." Jawab Satoru ketus.
"Ck." Sang ayah mendecak, Satoru berbalik.
"Mau kemana?!" Sentak sang ayah, Satoru berhenti melangkah.
"Kemana saja, yang jelas aku tidak ingin terus kau paksa masuk militer."
"Memangnya kau bisa apa?! Tidak ada bantahan, Minggu depan kau harus masuk militer. Jadilah manusia yang berguna."
Satoru menghela nafas lelah, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti ia keluar dari lingkungan rumahnya.
Satoru terlahir dari pasangan yang berprofesi sebagai dokter dan prajurit, di didik keras sejak berusia 5 tahun sampai ia tak tahan dengan kekerasan sang ayah akhirnya ia membangkang seperti sekarang.
Di tempatnya anak laki-laki yang menjadi prajurit adalah sebuah kebanggaan bagi keluarga, malah sangat di hormati di lingkungan masyarakat. Tapi, Satoru tidak membutuhkan penghormatan dari masyarakat. Ia juga tidak ingin membanggakan keluarga yang terus mengatur kehidupannya harus seperti apa.
Satoru melirik dari ujung matanya saat berpapasan dengan barisan prajurit yang sedang latihan, dalam hati ia mendecih. Dia tidak seperti mereka yang memiliki hati heroik dan membuang nyawa di Medan perang. Ia ingin hidup untuk dirinya sendiri.
Kaki telanjang Satoru menjejak pasir hitam di pesisir pantai, sensasi dingin mencecap di sana. Sembari berjalan Satoru merogoh lengan kimono yang ia kenakan, mengeluarkan sebuah jam saku bulat berwarna perak. Jarum jam menunjukkan pukul 05. 12, langit mulai menguning. Menatap ke arah barat di mana lingkaran besar berwarna jingga bergerak perlahan menuju peraduannya.
Tanpa sadar Satoru mengulum senyumnya, angin berhembus lembut. Saat menelusur ke sisi pantai lain ia melihat, satu objek yang menarik seluruh minatnya. Kakinya berayun cepat, berlari ke arah seorang pemuda yang berdiri menghadap langit sore.
"Hai!" Sapa Satoru berdiri di belakang pemuda tersebut.
Dia menoleh, memperlihatkan wajah keheranan karena merasa tak mengenal Satoru. Ia terkekeh, merasa lucu karena air muka si pemuda sangat manis untuk ukuran seorang laki-laki.
"Siapa?"
"Namaku, Gojo Satoru." Ia mengulurkan tangannya, si pemuda sempat ragu untuk membalas. Tak lama ia tersenyum lalu menyambut uluran tangan tersebut.
"Itadori Yuuji."
Satoru berdiri sejajar dengan Yuuji, mengikuti kemana manis madu itu memandang. "Aku belum pernah melihatmu di sekitar sini, orang baru?"
Yuuji menggeleng, "bukan, sudah lama aku tinggal di sini. Mungkin kau yang tidak pernah berkunjung kemari." Satoru bisa mendengar ada nada mengejek di setiap kalimatnya.
"Sejak lahir aku sudah ada di sini."
"Bukan salahku kau tidak mengenal diriku. Lagipula, apa kau sangat menganggur sampai harus mengenal setiap orang yang datang ke pantai ini?" Tuduh Yuuji berhasil menohok hati Satoru, lalu si rambut putih mendaratkan pantatnya di atas pasir. Yuuji hanya memperhatikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
05.30 PM | Sunset | Gojoita
FanfictionWarning : mengandung konten percintaan dua pria, untuk Homophobia sangat tidak di sarankan. Bahkan, ketika nuklir menghantam tanah Hiroshima dan membawa setiap detil dari hidupmu. Aku akan tetap menunggu, dan mencintaimu - Dr. Gojo Satoru ಥ‿ಥ Kita...