.
.
.
.
Debur ombak selalu menenangkan. Bukankah begitu? Ia singgah untuk menyapa pasir, namun tanpa sadar mengikisnya untuk turut ke lautan. Mereka terhubung, dan saling merindukan.
Kontras berbeda denganku yang tak memiliki timbal balik dalam urusan perasaan. Teman? Orang tua? Aku sering lupa bahwa aku masih memiliki salah satunya. Ibu, apa laki-laki itu menjaganya dengan baik? Rasanya aku ingin sekali tertawa sampai menangis saat pertanyaan semacam itu terlintas di kepala.
Bukan apa-apa, hanya saja mungkin beliau sudah melupakan anak semata wayangnya ini. Lalu untuk apa aku harus berpura-pura peduli. Pada akhirnya aku hanya akan berdekih saat pertanyaan itu muncul kembali.
"Permisi."
Suara itu berhasil menginterupsi penyangga kepalaku hingga menengok ke arahnya. Meski tak berjingkat, aku cukup dibuat terkejut dengan keberadaan manusia lain di sisi kanan tubuhku yang hanya beralas pasir, entah sejak kapan pula ia berada di sana.
"Boleh duduk?"
"Kamu udah duduk," jawabku tak ramah.
Sementara pemuda yang tidak kuketahui namanya itu terkekeh, sepasang netranya menyisir pantai hingga tengah lautan. Tidak lupa mengabsen jingga di ufuk Barat yang terlampau cendayam untuk dilewatkan.
"Ingin bercerita, nona?"
"Saya tidak bercerita apapun dengan orang asing, Tuan!" Aku menegaskan.
Taruna itu mengulum ranum tipisnya, menggeser arah pandang padaku yang sialnya malah memperhatikan roman miliknya. bodoh.
"Kalau ngga mau cerita pakai bahasa manusia, kamu bisa cerita pakai bahasa angin dan hujan."
Kali ini aku yang tertawa, lebih tepatnya aku meremehkan si taruna. Selain karena aku yang tidak mengerti akan isi kepalanya, aku juga tidak berniat memperpanjang konversasi kami apalagi sampai bertukar asma dengannya.
"Laut tidak mengerti seberapa tinggi langit, sebaliknya langit tidak mengetahui seberapa dalamnya laut. Warna mereka mirip, tapi selalu ada garis yang memisahkan keduanya. Jadi, kamu tahu ngga gimana cara mereka bertemu?"
Baiklah, menurutku ini menarik. Kupikir ia hanya akan menjelaskan hal-hal yang sudah aku pahami, namun malah memberiku pertanyaan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Kepalaku menggeleng tanda tidak tahu, semata agar ia segera menjawab tanya itu.
"Angin dan hujan."
"Angin dan hujan?" ulangku.
Sirahnya mengangguk, "angin membawa uap air laut ke langit, lalu langit akan membalas cerita laut itu dengan menurunkan hujan."
"Kamu ngga pernah belajar siklus hidrologi?" Tanyanya kemudian.
Sementara aku bungkam, otakku sibuk mencerna penjelasannya. Namun selepasnya aku menjadi kesal sudah membuang waktuku untuk mendengar celotehnya. Sesaat ia tertawa, mungkin menyadari ekspresiku yang sudah berubah agak murka.
"Maaf, aku bercanda. Besok-besok kalau mau cerita pakai bahasa manusia saja, ya? Sebab aku bukan langit dan kamu bukan lautan. Aku juga tidak mengerti bahasa angin dan hujan."
"Aku yang ngga bisa bahasa manusia!"
"Meskipun dari tadi kamu jawab pertanyaanku?"
Ia menyebalkan, satu fakta yang berhasil aku kantongi saat ini tentang dirinya.
"Namaku Khairen, salam kenal Kaluna."
⏭
"Salam kenal, Khairen."
Seharusnya saat itu aku menjawab begitu padanya. Kalau saja aku bersikap lebih baik, apakah aku akan tetap memeluk penyesalan di saat sekarang? Atau seharusnya sejak itu aku mengabaikannya. Meninggalkan dia di sana sendirian dan tidak saling menggumankan nama.
Andai saja hari itu aku tidak menemui Mas Jefhan, maka Khairen dan aku pun tidak akan saling menyapa lewat pandangan mata. Andai semua itu tidak terjadi mungkin sepasang netra indah milik Khairen masih terbuka.
Bodoh! Kaluna, bodoh!!
Kini tidak ada lagi yang bisa aku lakukan, selain menghabiskan 20 menit waktuku setiap rentang dengan hanya berdiri di depan pintu ruang inap bertulis nama Khairen. Sebuah kebohongan besar jika aku bilang aku tidak merindukannya. Karena nyatanya sepercik perasaan itu terus mengetuk-ngetuk naluriku setiap detiknya.
Aku sangat ingin menerobos masuk, tapi bagaimana bisa aku berdiri lebih lama di dalam sana juga melihat banyaknya alat medis yang terhubung ke tubuh Khairen. Aku terlalu takut menerima fakta bahwa kondisi pemuda itu belum cukup membaik meskipun hari lalu Mas Jefhan mengatakan hal sebaliknya.
Bertahun-tahun mengenal Mas Jefhan sebagai sepupu, aku cukup mengerti bahwa ia hanya ingin aku untuk masuk ke dalam sana. Ia pikir akan lebih baik bila aku melihat sendiri kondisi Khairen ketimbang memapras 20 menit menatap pintu fiberglass tanpa melakukan apa-apa. Pun pintu tersebut hanya difasilitasi kaca blur kecil yang minim fungsinya.
"Na.."
Kudapati mas Wiga sudah menumpu daksanya dan mengulurkan sebotol air mineral ke arahku.
"Makasih, mas." Jawabku yang langsung dibalas anggukan sirahnya.
"Masih belum mau ketemu Khairen?"
Aku menggeleng cepat, "Aku udah ngobrol kok sama Khairen." Dan entah ada angin darimana, butir air mengucur dari netraku tanpa aba-aba. Aku baru menyadari bahwa aku lemah jika pemuda yang sedang berjuang untuk hidupnya itu tidak ada.
Aku merindukan Khairen dengan amat sangat. Dan-
"Bahasa angin dan hujan adalah diam. Sebab keberadaan mereka diam-diam memang untuk sesekali memudarkan garis pemisah antara langit dan lautan. Jadi kamu ngga perlu cerita apapun, kamu cukup diam dan biarin aku ada di sini buat bantu kamu meskipun kamu ngga memohon bantuan."
- aku sudah bercerita pada Khairen menggunakan bahasa angin dan hujan. Aku yakin Khairen mendengarnya.
¤¤¤
Kaluna, hari itu aku lupa bilang. bahwa
meski suara angin dan hujan bisa jadi
lebih gaduh dari suara di kepalamu,
dengarkan ia dan bertahanlah
lebih lama dalam hidup.-Khairen

KAMU SEDANG MEMBACA
KHAIREN
Fanfiction"alam semesta mungkin akan hancur, tapi sebelum semua itu terjadi tetaplah hidup." begitulah kiranya pita suara Khairen bergetar tepat di sisi telingaku. ft. Huang Renjun niskala. (#) 2021