○○ melukis tanpa kuas

74 22 35
                                    

.

.

.

.

.

Hari ini masih sama, belum ada tanda-tanda bahwa netra berkonstelasi bintang milik Khairen akan terbuka. Dia mungkin cukup mencintai kegiatan tidurnya yang sekarang. Aku ingat, dulu Khairen pernah mengatakan padaku bahwa setengah dari kehidupan manusia dihabiskan dengan tidur. Dia juga berpesan untuk menjaga kebersihan kasurku agar kulitas tidurku bagus.

Hanya dengan mengulang kalimat itu saja sepertinya rinduku untuk Khairen sudah menumpuk semakin penuh. Kalau ditinjau kembali, sebenarnya aku dan Khairen tidak pernah benar-benar saling mengikat dengan utuh. Sebab alibi umur perkenalan kami yang baru seumur jagung.

Selepas empat atau lima kali berbagi isi kepala dengan Khairen aku sudah menggenggam beberapa fakta tentangnya, salah satunya adalah ia suka melukis. Hari itu dia membawa buku gambar juga cat lukis akrilik, pun dengan polosnya malah melupakan keberadaan kuas yang seharusnya menjadi alat terpenting.

"Kamu salah, Kaluna. Bagian terpenting dari melukis adalah cat, kamu bisa melukis di manapun, dan dengan alat apapun asal ia memiliki warna."

"Sama kaya kamu yang secara abstrak ngasih warna di hidup aku?"

Ia tertawa disusul gestur menggeleng oleh tempurungnya, "Sekarang tutup mata, gambar apapun yang ada dibayangan kamu."

Kemudian ia membubuhkan cat rona biru tua ke jari telunjukku. Setelah menutup katup cat, tangannya beralih membuat gelap sepasang peningalku usai sebelumnya mengikis jarak anantara kami.

Rasanya sekarang pun aku masih mampu menghirup aroma parfum yang digunakan Khairen hari itu. Manis dan candu. Segala hal tentang Khairen selalu menarik buatku. Meski awalnya aku mengira ia si minim suara nan dungu. Nyatanya Khairen bisa lebih ampuh ketimbang psikiater yang dahulunya sering aku kunjungi satu kali dalam seminggu.

Ya, kesehatan mentalku tidak cukup bagus. Di awal aku sudah sedikit menyinggung perihal ibu. Begitulah. Kupikir setelah kehadiran Khairen aku tidak lagi membutuhkan apapun. Kesadaran akan dunia yang sebenarnya kosong dan memuakkan pula seiring muncul.

Tapi Khairen juga yang mengajariku cara bertahan, melawan, dan menang atas egoku sendiri. Khairen memahami dan menyimpan banyak hal di kepalanya yang mungil. Mungkin juga masih ada jutaan pemikirannya yang menakjubkan dan belum aku ketahui.

Aku selalu tersenyum ketika potongan-potongan kenang yang sudah kulewati bersama Khairen berputar bak piringan hitam. Ia masih di bumi, tapi kami seperti dipisahkan jarak puluhan juta mil hingga hanya bisa saling merindukan. Ah, apa Khairen juga merindukanku di dalam tidurnya?

Dering ponsel membuat fokus netraku yang semula memudar ditutupi liquid menjadi jernih kembali, nama Mas Jefhan tertera sebagai pelaku lantas membuatku menggeser ikon hijau tanda menerima panggilan.

"Halo, mas."

"Kaluna masih di Rumah Sakit?"

Aku mengangguk walau tahu mas Jefhan tak bisa memerhati gesturku. "Mas Wiga masih pergi, katanya ada urusan. Jadi aku di sini."

"Mas bawain makanan ya, kamu pasti belum makan, kan?"

"Engga usah, mas. Aku belum laper."

"Tapi kamu harus—"

"Aku kangen Khairen," suaraku tercekat, rasanya menyakitkan ketika menyuarakan kerinduan yang selama ini kupaksa bisu. Mengucilkan ia seolah Khairen masih selalu ada mengiringi setiap langkah kakiku, enggan percaya bahwa pada kenyataannya pemuda yang amat tidak menyukai terik itu sedang berjuang untuk mempertahankan hidupnya.

"Khairen kapan bangunnya ya, mas? Mas Wiga cerita ke Mas Jefhan ngga soal donor jantung buat Khairen? Kapan ada donornya, mas?"

Aku terus menembaki Mas Jefhan dengan berbagai pertanyaan, sementara di ujung utas sana Mas Jefhan memilih bungkam. Hanya deru napasnya yang terdengar gelisah, bisa jadi juga sebab iba yang kembali berulah.

"Maafin mas, Kaluna. Kamu boleh nangis sekarang, tapi nanti setelah mas sampai di sana jangan nangis lagi ya."

Aku tertegun. Telapak tangan yang terbebas kugunakan untuk sepintas mengusap pipi. Mas Jefhan benar, aku menangis. Aku bahkan tidak menyadari hujan terjun bebas dari netraku yang pernah dibuat gelap oleh telapak milik Khairen. Dan sialnya hari ini menjadi semakin gelap padahal tak ada telapak pemuda itu yang menutupinya.

Selama ini, 20 menit yang kuhabiskan untuk duduk di sini memang tidak pernah terlewat begitu saja tanpa terisak. Tidak pernah berlalu tanpa putaran cepat ingatan dan waktu. Aku seperti bertaruh, akan seperti apa jadinya bila nanti Khairen telah sembuh? dan akan bagaimana diriku bila terjadi kemungkinan terburuk?

Apakah sayap baruku masih harus merasakan patah untuk kesekian kali?

Penat bergulat dengan kemelut luka yang agaknya tidak berniat meninggalkan sembuh. Berusaha mendorong ragaku sendiri untuk bangkit, berjalan mendekati pintu.

Awalnya aku berniat membukanya sedikit, namun sepertinya tanganku tak sanggup. Ia hanya meremat kuat tuas itu tanpa menimbulkan derit sedikitpun. Tangisku semakin pecah, tidak terkendali dengan suara yang hampir terdengar bak meraung-raung.

"Ren..."

Aku harap ia menjawab.

"Khairen..."

Nihil, di dalam sana terdengar sangat tenang.

"Bisa bu‐kain pintunya d‐ari dal‐am, kan? A‐aku ga‐ bis‐a buka dari sini,.... Ren."

"Arghhhh," kedua tungkaiku melemas, aku tetap tertatih walau sudah berulang kali mencoba tegar. Berakhir dengan bersandarnya keningku pada daun pintu, merapal doa agar setidaknya Khairen tak merasa kesepian dalam mimpinya.

Ya Tuhan, aku tahu Khairen juga milikmu, tapi ia juga alasan aku masih bertahan hidup dan mempercayai keberadaanmu sekarang. Aku mohon kembalikan Khairen dan kirim banyak bahagia untuknya.

"Khairen kapan bangun?"

Aku pasti sudah benar-benar gila sebab masih mengharapkan suara Khairen akan terdengar.

"Khairen," jemariku mengetuk pintu satu dua kali, "Ajak aku melukis tanpa kuas lagi."








◇◇◇












bagaimana perasaannya?
mohon dijawab yaaa~
ngomong-ngomong, aku baru up
visualisasi mereka di chapter "pemeran."
silahkan di cek :)

tapi kalau misal kalian ada
visualisasi sendiri, tidak
apa-apa hehe.

KHAIRENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang