dari ujung ke ujung kereta api

3 0 0
                                    

Tanganku yang masih masuk kedalam saku meremas-remas korek api sambil menatap peron yang kosong. Udara di sini tak begitu bersahabat sampai-sampai uap yang keluar melalui lubang hidungku tak begitu kentara sebab tersamarkan oleh kabut yang turun.

Kupingku masih sangat awas ketika suara peluit kereta api terdengar nyaring memecah hening di stasiun ini. Sekali lagi aku melihat apakah ada orang yang datang, begitu melihat kereta api yang pulang pergi aku hanya dapat menghela napas jengah.

Sudah tiga tahun lamanya aku menunggu ia datang kemari, layaknya seorang yang setia, setiap hari Jum'at aku datang menunggu senja menemui fajar. nihil. Ia tak pernah terlihat batang hidungnya.

Senja memang tak pernah memberiku kabar semenjak pergi ke ibu kota, ia mungkin sudah menemukan pemuda lain di sana. Atau mungkin itu hanya pikiranku saja, senja bukannya sudah melupakan aku, dia hanya sibuk dengan dunia ibu kotanya.

Sekali lagi aku menghembuskan napasku yang menguap-uap. Dari saku kantong jaketku aku merogoh kretek yang sudah sisa berapa batang saja. Kusedot ia dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, langkah kaki gontaiku mengajakku untuk pergi menjauh, dan aku menurut.

Kaki sialan ini tanpa sadar membawaku masuk kedalam gerbong kereta api, memaksaku beradaptasi dengan perasaan aneh yang hinggap karena tanpa sadar aku memilih untuk menemuinya lebih dulu, salahkan saja rindu ini, yang tak mau diajak kompromi.

Satu dua kali ku hembuskan lagi asap rokok yang kini menjadi teman perjalananku ke ibu kota. Landai, kereta ini terasa amat hampa tanpa kehadirannya, biasanya kami akan duduk berdampingan bercerita semua masalah dan tertawa tanpa beban. Kini kursi di sampingku hanya berisi bayangannya, aku tertegun menyadari tak ada rasa kantuk yang menyerangku, pandanganku ku lempar ke arah jendela kaca yang menyuguhkan pemandangan hijau dengan debur ombak menyapu pinggiran tebingnya.

Sedikit tersenyum aku teringat kala masih basah menyelam disalah satu batu karang dekat sana, bersama senja, bermain air tanpa takut waktu akan direnggut dari kami, tertawa sembari melempar lelucon garing.
Ingatan yang kini menjadi omong kosong itu membuatku sedikit terhibur. Setidaknya masih ada kenangan manis yang ada di antara kami, meski lebih dominan getir karena kenangan indah sudah bersih tersapu rindu.

Suara wanita yang keluar dari pengeras suara itu menghancurkan lamunanku, aku segera tersadar bahwa aku sudah berhenti di stasiun selanjutnya, ini adalah tempat di mana kami dulu mengunjungi museum sejarah.tentu saja, semakin diingat semakin sedih pula hati ini, tiga tahun yang terasa hambar, dalam beberapa jam mungkin aku akan sedikit merasa bahagia, bertemu dengan ia yang amat sangat kurindukan.

Dalam lamunanku aku teringat bahwa aku bahkan sama sekali tak membawa buah tangan untuknya, untuk apa? Mungkin pelukan pelepas rindu sudah cukup untuk membuat ia bahagia.
Terbayang di otakku bagaimana cantiknya ia tersenyum mengembang melihat wajahku yang lebih dulu menghampirinya.

Aku sangat rindu suara merdu yang keluar dari bibir kecilnya, sangat manis meski tiga tahun aku tak pernah mendengarnya lagi. Kami tak pernah bertukar kabar sama sekali, sesekali memang kukirimkan surat padanya, entah apakah ia membacanya atau tidak, kuharap ia membacanya.
Saat menulis surat kutuliskan kalimat-kalimat rindu yang tidak pernah kubuat-buat, aku memang sangat merindukannya.

Bagaimana dia sekarang? Apakah ia menjadi semakin cantik? Dengan rambut panjang lurusnya, wajah putih kecilnya, bibir mungilnya. Pasti ia sangat cantik sekarang, aku yakin sekali.
Dan benar saja dugaanku, saat kaki ini menginjak tempat ia pergi selama tiga tahun, tempat ia menggapai cita-cita itu, tempat ia meninggalkan ku, ia memang masih secantik dulu, dengan rambut terikat satu dan rok selutut membuat ia terlihat sangat anggun dan cantik.

Aku melangkah mendekatinya, ia yang tak sendiri itu jangankan memelukku, ia hanya melambaikan tangan yang segera kubalas dengan tatapan datar. Kutengok pemuda tampan di sampingnya, lalu kuulurkan tanganku kepada mereka berdua, mengucapkan selamat dan pamit pergi dengan undangan pernikahan yang diam-diam kuremas hancur bersama perasaan yang kujaga mati-matian tiga tahun ini.

Tiga tahun yang kucumbui rindu sendirian, tiga tahun yang mengabur bersama kenangan yang kini terinjak-injak. Semoga senja bahagia, fajar pamit setelah mengakhiri masa penantian ini dengan kata selamat.

Dari ujung ke ujung kereta apiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang