Prolog

16 8 0
                                    


Ruang tamu kediaman orang tua Kania tampak indah dengan kain satin perpaduan warna marun dan emas yang menjuntai menutupi dinding. Ditambah hiasan bunga segar di beberapa sudut yang wanginya semerbak. Lampu hias bertuliskan nama Kania dan Mahesa pun turut mempercantik dekorasi.

Gadis berhidung mancung itu memutar tubuhnya, memandang ke setiap sudut ruangan. Ia menghela napas, setelah pergulatan batin Kania memutuskan menerima pinangan Mahesa, lelaki yang telah ia kenal sedari kecil dan tiga tahun belakangan menjalin gunungan dengannya.
Satu tepukan di bahu Kania membuatnya menoleh. "Kakak, Kak Air dari tadi telepon terus, nih," ucap Dena, sang adik, sembari menyodorkan ponsel miliknya.

Kania meraih ponsel dari tangan Dena, kemudian berlalu ke kamarnya usai mengucapkan terima kasih. Di kamarnya, ia melihat rentetan pesan yang dikirim Airlangga. Ia menimbang dengan ragu, haruskah membalas pesan-pesan itu ataukah mendiamkannya saja. Di satu sisi Kania merasa bersalah pada lelaki bermata bulat itu karena telah membawanya masuk ke dalam hubungannya dengan Mahesa. Namun di sisi lain, ia juga merasa kesal pada Airlangga yang dinilainya tak jelas dalam mengambil sikap.

Gadis berkulit putih itu masih ingat saat dua pekan lalu, sang kekasih melamarnya usai acara makan malam yang diadakan di kediamannya. Tanpa sempat berpikir, Kania langsung mengiakan pinangan lelaki itu terlebih saat itu disaksikan keluarga Mahesa. Ia tak sampai hati untuk menolak saat melihat wajah penuh harap milik Mahesa. Apa lagi saat keluarga Mahesa begitu mendukung keputusan lelaki itu.

"Makasih, ya, Sayang, udah mau terima lamaran Mahes. Bunda lega rasanya. Semoga setelah ini enggak ada yang uring-uringan lagi sampe enggak nafsu makan karena takut lamarannya ditolak," tutur Sandra, bunda Mahesa, seraya memeluk Kania.

"Bun, please jangan buka kartu di depan Kania." Mahesa memberengut saat mendengar olok-olok sang bunda dan itu membuat gelak tawa seluruh keluarga.

"Salam buat ayah dan ibu, ya. Sampaikan juga insyaallah dua minggu lagi Bunda dan keluarga mau silaturahmi ke rumah, ya," titah Sandra saat Kania berpamitan pulang.

"Insyaallah nanti Nia sampaikan salam dan pesan Bunda. Nia pamit," ucap Kania sembari mencium tangan calon mertuanya itu.

Sepanjang perjalanan mengantar Kania, senyum Mahesa tak lepas dari wajahnya. Bibirnya pun ikut bersenandung mengikuti lagu Janji Suci milik Yovie & Nuno dari pemutar musik di mobilnya. Kania yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu keduanya tergelak saat tatapan mata mereka tak sengaja bertemu.

"Mas, emang bener, ya, yang tadi Bunda bilang?"

"Bilang yang mana?" tanya Mahesa balik.

"Ehm, yang tadi Bunda bilang kalau Mas Mahes sampai gak nafsu makan gara-gara takut ditolak. Itu beneran?" Kania meminta penjelasan dengan senyum jahil di wajahnya.

"Apa, sih! Udah, ah, jangan dibahas lagi." Mahesa mengelak.

"Ih, jawab dulu. Beneran apa enggak?" rengek gadis berponi itu.

"Iya, Sayang, iya. Sudah puas kan sama jawabannya?!"

Mahesa menoleh sesaat ke arah Kania, tangannya mencubit pelan pipi tirus milik sang pujaan hati, lalu kembali fokus pada kemudinya. Sementara Kania tergelak, merasa puas karena telah berhasil menggoda kekasihnya itu.

Seulas senyum terbit di wajah Kania kala mengingat momen malam itu. Namun, dering panggilan masuk dari ponsel di tangannya, menarik Kania dari lamunan. Nama yang tertera di layar ponselnya membuat senyum Kania memudar. Ia membuang napas kasar, lalu menggeser tombol hijau dengan enggan.

"Wa'alaikumussalam. Maaf, Kak, aku lagi di bawah tadi ponselnya di cas kamar," kilah Kania saat Airlangga mencecarnya karena tak kunjung menjawab teleponnya.

"Besok aku libur, aku ke rumah, ya?"

"Hah? Jangan! Ehm, maaf maksud aku besok ada acara keluarga, jadi enggak akan ada orang di rumah. Lain waktu aja, ya." Kania tergagap dan dengan cepat mencari alasan, menolak ajakan Airlangga. Padahal biasanya momen itu sangat ditunggu-tunggu olehnya.

"Yah, padahal Minggu-nya sengaja aku minta tukar shift malam biar bisa puas jalan sama kamu," keluh Airlangga tak terima.

"Ya, mau gimana lagi? Enggak mungkin juga kalau aku enggak hadir," kilah gadis itu lagi.

Usai berbincang sebentar, Kania mengakhiri panggilan. Ia memijat kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Kania terjebak dalam masalah yang ia buat sendiri. Ia sadar telah salah karena mengundang Airlangga untuk masuk di antara hubungannya dengan Mahesa.

Seharusnya Kania bisa saja mengakhiri semua dengan Airlangga, tetapi ia takut akan menyakiti hati lelaki yang sudah sangat baik padanya itu.

***

Hari pertunangan yang dinanti Mahesa tiba. Lelaki itu tampak gagah dengan pakaian yang dikenakannya. Batik Lasem merah hati bermotif watu pecah berlengan panjang dipadukan dengan celana bahan berwarna krem.

"Bun, kok, Kania enggak keluar-keluar, ya? Dari tadi Mahes kirim pesan juga enggak dibalas sama dia." Mahesa berbisik di telinga bundanya. Wajahnya tampak gelisah menanti gadisnya yang tak kunjung menampakkan diri, padahal acara sebentar lagi akan dimulai.

"Sabar. Kania itu perempuan, dia pasti ingin tampil sempurna di acara sepenting ini. Apa lagi momen ini baru pertama kali untuknya."

Sepuluh menit berselang, Kania menuruni anak tangga ditemani Dena. Mengenakan kain serta kebaya modern senada dengan yang Mahesa kenakan. Gadis berusia 24 tahun terlihat anggun dengan riasan tipis di wajahnya serta rambut yang disanggul sederhana.

"Kedip, Sayang." Sandra terkekeh seraya menyenggol lengan Mahesa yang tak berkedip. Sementara Mahesa menggaruk pelipisnya yang tak gatal dengan wajah memerah.

Rangkaian acara pembuka malam itu dipimpin oleh Praka, kakak sepupu Kania. Usai orang tua dari kedua belah pihak menyetujui, kini tiba giliran Mahesa untuk menyampaikan lamarannya secara resmi pada Kania.

"Kania, mungkin aku memang tak setampan pria-pria yang pernah dekat denganmu. Tak sekaya mereka yang membawa mobil mewah saat mengantar dan menjemputmu. Tak seromantis mereka yang mebawakan bunga dan cokelat di hari ulang tahunmu. Jika mereka pernah membuat luka menganga di hatimu, maka biarkan aku yang menambalnya. Aku berjanji untuk menyayangi dan melindungimu dengan sepenuh hati, menjadikanmu wanita satu-satunya di istana hatiku. Kania Dewi, bersediakah kamu menjadi calon istri dari Mahesa Ekawira?"

Degup jantung Mahesa tak beraturan saat mengatakan itu semua. Meski Kania telah menerima lamarannya dua pekan lalu, tetapi ia belum merasa tenang karena saat itu tak ada keluarga Kania.

Ketulusan di setiap perkataannya terlihat dari sorot mata Mahesa, yang menatap lekat ke bola mata milik Kania. Sementara Kania yang mendengar penuturan Mahesa, matanya tampak berkaca-kaca. Kania menghela napas sejenak. Setelah meredakan degup yang sama tak beraturan ya seperti Mahesa, Kania menjawab dengan mantap.

"Mahesa Ekawira, aku, Kania Dewi bersedia mengisi ruang di hatimu, menjadi pelengkap tulang rusukmu, dan menjadi pendamping hidupmu sampai maut memisahkan." Ada getar dalam nada bicara Kania.

Mahesa mengusap wajah sembari melafazkan hamdalah. Segala beban di pundaknya lenyap tak bersisa. Ia tersenyum ke arah Kania yang berada tepat di seberangnya. Bibirnya mengucap terima kasih tanpa suara, lalu ia menambahkan kalimat 'i love you' yang membuat wajah Kania bersemu merah.

Sementara tanpa sepengetahuan Kania, di antara barisan tamu undangan yang hadir ada sepasang mata yang menatap nanar ke arahnya. Orang itu menyaksikan semua yang terjadi di kediaman Kania sore itu. Ia tersenyum miris, kemudian menyalakan roda dua miliknya dengan tergesa dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi.

***
Hai Dear, aku datang bawa cerita baru.
Jika berkenan, tinggalkan jejak bintang dan komennya, ya. Tengkyu.
Selamat membaca, semoga suka.

Cerita yang Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang