Bab 1

11 4 1
                                    

Kania berdiri di depan pintu gerbong dengan gelisah. Sudah pukul 08.51 WIB, itu artinya kurang dari sepuluh menit dari waktu wawancara yang telah dijadwalkan untuknya. Ia bergegas keluar dari gerbong saat kereta yang ditumpanginya berhenti di tujuan, menuruni tangga dengan tergesa. Dengan setengah berlari, ia menyusuri jalan antara stasiun menuju hotel yang jaraknya berkisar dua ratus meter.

Sesampainya di hotel, gadis itu segera mencari toilet untuk mengganti pakaian yang terkena basah keringat. Usai memastikan penampilannya telah kembali sempurna, ia langsung menuju lantai 5 hotel tempat wawancara diadakan. Kania gegas keluar dari lift tepat saat pintu terbuka, matanya yang terus tertuju ke arah jam di tangan membuat Kania kehilangan fokusnya. Di saat bersamaan seorang lelaki berpakaian khas seragam hotel hendak masuk ke lift dengan tumpukkan seprai di tangannya.

Insiden yang tak diinginkan pun terjadi. Linen yang semula rapi, kini berhamburan di lantai. Kania terperangah, bukan saja karena kejadian yang baru ia alami, tetapi juga saat melihat sosok di balik seprai yang berhamburan.

Love at first sight? Bullshit. Kata itu tertanam sejak lama di kepala Kania. Ia selalu berpikir tidak akan mungkin seseorang jatuh cinta secepat itu. Akan tetapi, sekarang Kania harus menelan ludahnya sendiri.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya lelaki di hadapan Kania saat melihatnya terpaku dengan mata yang tak berkedip.

"Hey! Kamu bengong?" Lelaki jangkung itu kembali bertanya seraya menjentikkan jarinya tepat di wajah Kania.

"Ah, iya. Bagaimana?" Kania terkesiap sedangkan sang lelaki justru tersenyum manis memamerkan lesung pipinya.

"Aku tanya, kamu enggak apa-apa?"

"Eh, enggak. Aku enggak apa-apa. Kamu sendiri?" Kania justru bertanya balik.

"Aku aman. Cuma ... barang bawaanku yang enggak baik-baik aja."

Kania meringis malu mendengar keluh lelaki di hadapannya. Terlebih saat melihat jejak kekacauan yang telah dibuatnya.

"A-aku harus gimana? Ehm, maksud aku, apa yang bisa kulakukan sebagai bentuk tanggung jawab? Tapi ... sekarang aku lagi buru-buru. Aku ada interview jam sepuluh dan ini sudah lewat hampir dua menit. Bisa enggak kalau kita bicarakan ini setelah urusanku selesai?" tawar Kania sambil menggigit bibirnya.

Lelaki berkulit putih itu terlihat berpikir, matanya meneliti Kania sebelum akhirnya mengangguk dan berkata, "Oke. Aku setuju. Lalu, apa jaminannya kalau kamu enggak akan kabur?"

"Cuma ini yang berharga. Gimana?" Tanpa berpikir panjang Kania merogoh tas dan menyerahkan ponsel miliknya.

"Baiklah. Aku tunggu kamu di lobi saat jam makan siang. Siapa namamu?"

"Kania."

"Airlangga." Lelaki itu mengulurkan tangan, mengajak Kania berjabat. "Ya sudah, kamu boleh pergi sekarang. Good luck, ya, interview-nya. Sampai jumpa nanti siang."

Setelah mengucap terima kasih, Kania bergegas pergi. Airlangga awas mengamati punggung sang gadis yang menjauh. Ia tersenyum saat mendapati Kania sempat menoleh ke belakang sebelum menghilang dari pandangannya.

"Kania, nama yang cantik, secantik wajahnya." Airlangga bergumam saat tak sengaja menyentuh layar ponsel Kania hingga menyala, menampilkan wallpaper foto dirinya.

Ia memasukkan ponsel sang gadis ke saku celananya. Lalu melanjutkan merapikan linen yang berhamburan. Airlangga terlihat berkali-kali menggeleng saat ingatannya dipenuhi wajah Kania.

***
Kania keluar dari ruang manager personalia dengan wajah semringah. Lamarannya diterima sesuai bagian yang ia ajukan—pastry chef yang masih bagian hotel tersebut. Kania melangkahkan kaki ke lobi di lantai dasar. Ia melirik jam tangannya, belum ada penampakan Airlangga di sana. Masih ada sekitar setengah jam sebelum jam makan siang. Gadis itu mendaratkan bokongnya di sofa yang berada di sudut lobi, memilih menunggu Airlangga sambil membaca novel yang sengaja ia bawa dari rumah.

"Kania," sapa seseorang yang berdiri menjulang di depannya.

Gadis itu mengalihkan pandangan dari buku di pangkuannya, lalu mendongak. "Lho, Mas, kok, ada di sini?" Mata Kania membola saat mendapati Mahesa.

"Ada seminar tadi. Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Aku ada panggilan interview."

"Belum selesai?"

"Udah, kok."

"Terus, gimana hasilnya?" tanya lelaki itu lagi.

"Alhamdulillah, aku diterima. Besok udah bisa mulai kerja di sini," jawab Kania dengan binar di matanya.

"Padahal aku berharap kamu ditolak biar mau kerja di kantorku aja."

Refleks, Kania mencubit lengan Mahesa yang sudah duduk di sebelahnya. "Harusnya kamu kasih selamat atau support aku. Ini malah mendoakan yang buruk!"

Mahesa terkekeh. Melihat gadis itu merajuk menjadi kesenangan tersendiri untuknya.

"Ish! Bukannya dibujuk malah diketawain," rajuk Kania sembari mengerucutkan bibirnya.

Kania menolak tawaran Mahesa untuk menjadi asisten pribadinya bukan tanpa alasan. Sejak lama ia bercita-cita untuk bisa berkarir di bidang yang memang dikuasai dan disenanginya. Ia juga tak ingin dicap sebagai perempuan yang memanfaatkan kedekatannya dengan Mahesa demi sebuah jabatan.

"Iya. Selamat untuk pekerjaannya, Gadis Manja. Semoga betah kerjanya, ya. Kalau bosan, boleh terima tawaranku," ucap Mahesa sambil mengacak-acak rambut Kania. "Ya, udah, gimana kalau kita makan siang dulu, baru nanti aku antar pulang? Udah enggak ke mana-mana lagi, 'kan?" tanya Mahesa kemudian.

"Aku masih ada janji sama orang. Mas, duluan aja daripada telat balik ke kantor."

"Aku enggak balik lagi ke kantor. Kamu janjian sama siapa?"

Dari mulut gadis berambut sebahu itu mengalirlah cerita kejadian pagi tadi. Ekspresi serta sorot mata penuh binar yang ditampilkan Kania membuat percikan cemburu di hati Mahesa.

"Ganteng mana sama aku?"

"Apa hubungannya, coba?" Gadis itu terkekeh.

"Ya, cuma nanya, soalnya kamu terlihat terpesona gitu sama dia."

"Kania, maaf bikin kamu lama nunggu."

Belum sempat menyanggah perkataan Mahesa, orang yang dibicarakan sudah hadir di antara mereka. Ia mengangguk sopan pada Mahesa yang hanya memberi ekspresi datar.

"Enggak, kok," sahut Kania, "jadi gimana?"

Airlangga mengembalikan ponsel milik Kania. Ia juga mengatakan bahwa Kania tak perlu melakukan apa-apa sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya tadi pagi.

"Eh, jangan gitu. Seprai tadi kan pasti kotor dan harus dicuci ulang. Seenggaknya biar aku ganti uang loundry-nya aja, deh," tawar Kania sungkan.

"Enggak usah khawatir, aku bisa loundry sendiri pakai fasilitas yang ada di hotel."

"Tapi, kan aku jadi merasa punya utang sama kamu."

"Gini aja, kalau punya waktu, gimana kalau kamu temani aku makan siang ini?"

Kania menoleh ke arah Mahesa meminta persetujuan, tetapi lelaki itu justru mengalihkan pandangan pada ponsel di tangannya. Kania tersenyum canggung pada Airlangga yang mengikuti arah pandangnya.

"Maaf, sepertinya kalau siang ini aku enggak bisa. Aku udah janji mau temani Mas Mahes makan siang," tolak Kania halus.

"Ya, sudah. Anggap saja ini utang dan lain waktu kalau kita bertemu lagi kamu bisa melunasinya."

"Deal," ucap Kania seraya menjabat tangan Airlangga.

Sentuhan yang menjadi awal timbulnya getaran di hati Kania dan Airlangga.

***
Bersambung ....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerita yang Tak UsaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang