"Hargai dari setiap inci apa yang bisa kamu pegang. Selagi bisa, pertahankan, Hyu. Hidup ini tentang berjuang, dan mengikhlaskan."
Mendiang Ayahnya berkata demikian saat Hyuri kelas 1 SMA, saat siswa yang ia taruh hati ternyata sudah menyukai orang lain. Patah hati pertama dan terakhir Hyuri bersama Ayah.
Kedengarannya sudah marak diketahui, bisa dipahami dengan pasti, tapinsaat Ayah mengatakannya, Hyuri merasa lebih mengerti dan memaknainua. Masa itu Hyuri memilih mengikhlaskan. Percaya bahwa kalau jodoh pasti kembali bertemu.
Namun Hyuri tidak akan mudah mengihlaskan lingkup pertemanannya dengan dua Choi bertetangga itu. Tidak semudah itu, masa berjuangnya masih panjang.
Sudah tiga hari mereka tidak bertegur sapa, saling memisahkan diri untuk memproses segalanya. Tidak ada yang mau jahat dengan mengolok-olok masalah, ia juga sesuatu yang mau dikenai proses.
Tapi hari ini, dengan dua bungkus perman lollipop rasa mangga, Hyuri berlari menghampiri Boemgyu yang sudah naik ke sepedanya—hendak pulang.
Hyuri tidak punya rancangan apa-apa untuk dikatakan dengan rinci kepada Boemgyu, ia hanya ingin menemuinya, berjalan bersama, untuk saling terbuka dengan pelan-pelan.
"Gyu-"
"Aku salah, aku tau," Boemgyu menuntun sepedanya dengan satu tangan, lalu tangan lain memegang lollipop dari Hyuri. "Iya, kamu salah, tapi nggak sepenuhnya. Harapan yang patah, memang sesakit itu."
Boemgyu mencerna.
Mendapat sesuatu.
Bahwa Kim Hyuri, tanpa diberi tahu sekali pun, mengerti kenapa ia membuang semua lukisannya.
Boemgyu terlalu meremehkan.
Tertunduk sedikit, Boemgyu berkata, "Seharusnya aku bisa mewajarkan, benar kan?"
"Semua yang seharusnya, nggak perlu jadi nyata secara keseluruhan," Boemgyu tersenyum seraya menarik napas panjang. Ia lega ada yang mengerti tanpa perlu dirinya bicara terang-terangan. Sebab dengan segenap rasa takut, Boemgyu sering menelan segalanya mentah-mentah. Sebagian tak dapat Ia cerna, lalu membusuk di dalam dada.
"Soobin agak aneh akhir-akhir ini."
Mereka saling mengamati—entah sadar atau tidak. Sejauh Hyuri meneliti, Soobin tidak berlagak aneh. Menjawab kalau ditanya, menekuk muka saja tidak. Apa yang aneh? Apa yang Boemgyu coba katakan?
"Biasanya dia nggak bawa buku hitam itu ke mana-mana—kamu tau kan, semua notebooknya itu bewarna?"
"Hah?"
"Tau nggak?"
Hyuri tahu, hanya heran. "Itu yang kamu anggap aneh dari Soobin?" ia mengangguk pasti. Hyuri meretakkan permennya sampai sedikit berbunyi. "Ya memang kenapa? Kamu tau kan Soobin gimana? Siapa tau dia salah ambil?"
"Buku itu persis kaya yang aku liat waktu 2 SMP, buku itu satu-satunya notebook yang nggak pernah dia tempelin stiker apa-apa."
Kim Hyuri masih tidak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
the journal
Fanfiction[f̳͉̼͉̙͔͈̂̉a̘̫͈̭͌͛͌̇̇̍n͉̠̙͉̗̺̋̋̔ͧ̊f̳͉̼͉̙͔͈̂̉i̞̟̫̺ͭ̒ͭͣc͔ͣͦ́́͂ͅt̘̟̼̉̈́͐͋͌̊i̞̟̫̺ͭ̒ͭͣo͎̜̓̇ͫ̉͊ͨ͊n͉̠̙͉̗̺̋̋̔ͧ̊] 𖣘 warna yang pokta, satu kuali aksara miliknya saja, menghitam, ia biarkan tenggelam. 𖣘 ©proxsia