𝗪𝗵𝗶𝘀𝗽𝗲𝗿

223 49 30
                                    

William menapakan kaki keluar gedung. Matanya menyapu pandang ke arah langit malam yang sendu. Sambutan awan manis menghiasin purnama bagaikan sayup-sayup perantara, kisah kusut dengan berjuta teka-teki yang masih dicoba untuk dicari tahu.

Pria tinggi itu menatap darahnya sendiri, menetes ke permukaan lantai—–seolah sedang mencari pelarian. Si merah itu menyihirnya untuk segera masuk ke dalam alam bawah sadar, dia mencoba menarik William agar percaya. Bayangan Nathan sekelebat datang, sama persis rasanya ketika lampau merasuk untuk menjadi latar apa yang terjadi untuknya. Pepohonan yang lebat, purnama yang sama, dan tatapan kosong itu terlihat. Jantung berdegup ketika Wil mencoba untuk terus menggali lebih dalam. Kepalanya sakit.

Drrt.

Ponsel si pria itu berdering, mencoba membangunkan si pemilik dari imajinasinya kini. Wil mengambil benda itu kemudian mengangkat telphonnya.

"Halo? Kau menelphonku, ibu?" tanya Wil.

"William," isak wanita itu, "Jasmine..."

"Apa yang terjadi padanya?" Mendadak perasaan Wil jadi tidak enak ketika mendengar ibunya menyebutkan nama sang adik begitu jelas.

"Jasmine tewas," ibunya menangis histeris.

Pria itu membeku—–mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Benar? Apakahkah adiknya sudah meninggal?

***

Semua menjadi suram, Wil merasa jatuh untuk pertama kali dalam seumur hidupnya. Kalau saja tidak terlambat untuk meminta maaf dengan setulusnya, kalau saja dia tidak membuat adiknya marah, William tentu tidak akan menyesal.

Beberapa orang masuk ke ruangan serba putih dengan pakaian mereka. Menangisi peti mati di sana, menatap figura Jasmine antonius padam seakan benar-benar sudah tak bisa menggapai. Wil tentu bukan orang sekuat yang lain bilang, dia itu lemah.

Di gelapnya malam yang sunyi, gemerisik angin meniupi rambut si pria. Bunyi lonceng gereja terdengar bergema dari sudut kota, gaung itu seolah adalah bisikan. Wil menatap ribuan gedung Dystopia yang naik turun tak beraturan lewat jendela, pemandangan disana masih sunyi dan tetap sama seperti dulu. Entah ini adalah sugesti rasa ketika William merasa sakit untuk pertama kalinya karena kepergian seseorang, namun semakin di pertaruhkan rindu dirinya pada wanita itu.

Wil bahkan melupakan setiap kejadian aneh yang terjadi antara dirinya dengan Nathan beberapa minggu lalu. Pria itu sibuk menangisi kepergian Jasmine untuk waktu yang cukup lama.

Ribuan air mengguyur Dystopia, membuat alunan lagu dengan rintihan sunyi daribalik hujannya yang begitu cantik. Tidak ada angin atau topan, bahkan petir sedikit pun, yang ada hanyalah sebuah perumpaan lampau yang klasik. Seolahan hujan adalah dirinya—–William. Awan menggulung, bintang menghiasi langit, sangat gelap kalau di perhatikan. Itu menutupi semua memori cantik kalau terus diingat sementara.

Dengan berpegangan pada jendela kayu disana, Wil terpaku pada jalanan dibawah. Menunduk untuk menyembunyikan tangisnya, yang walau semakin ia sembunyikan kesedihan itu, si ibu tetap tahu bagaimana sakitnya untuk terus melupa.

Jasmine sudah mati, tapi dia tetap hidup di hatinya. William menaruh harapan besar untuk menebus penyesalan ini seumur hidupnya, dia yakin Jasmine akan tetap kembali. Meski itu hanya angan semata.



***



Sembari dibantu oleh Andrew untuk membereskan benda di kamar sang almarhum, Wil mencoba menegaskan untuk fokus pada apa yang dikerjakan. Memang sulit pada awalnya, namun sebuah keyakinan yang ia pegang teguh adalah dorongannnya untuk terus maju hingga saat ini. Jujur, Andrew senang ketika mengetahui William mencoba untuk bangkit dari keterpurukannya lagi.

Drink It🍷 [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang